TIGA tahun lebih berlalu sejak PMK-213/2016 tentang jenis dokumentasi transfer pricing dan tata cara pengelolaannya diberlakukan pada Desember 2016.
Salah satu penekanan utama dari PMK-213/2016 adalah dokumentasi transfer pricing dipersiapkan sejak sebelum transaksi afiliasi dilakukan (ex-ante). Ketentuan ini juga sejalan dengan panduan OECD. Namun begitu, dalam praktik, masih ditemukan dokumentasi transfer pricing yang dibuat setelah tahun pajak berakhir atau setelah transaksi afiliasi dilakukan (ex-post).
Praktik tersebut dapat mengakibatkan wajib pajak dianggap tidak menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sesuai Pasal 3 ayat (3) PMK-213/2016. Selain itu, risiko dilakukannya pemeriksaan pajak juga meningkat, lihat Menimbang Pemeriksaan Pajak Berbasis Risiko.
Lantas, apa yang dapat dilakukan oleh wajib pajak agar dokumentasi transfer pricing sesuai dengan ketentuan?
Jawabannya adalah dengan mulai menerapkan Transfer Pricing Control Framework (TPCF). Salah satu mata ajar yang penulis dapatkan selama perkuliahan di WU Wien adalah Tax Assurance. Mata ajar ini berisikan materi pendekatan kepatuhan kooperatif, termasuk Tax Control Framework (TCF). Terkait tax assurance dan TCF ini, dapat dilihat juga tulisan Tax Assurance dalam Menjaga Reputasi Perusahaan dan Hubungan Antara Transparansi Kepastian, dan Tax Control Framework.
Kepatuhan kooperatif merupakan pendekatan yang menekankan pada kepercayaan dan keterbukaan antara otoritas pajak dan wajib pajak (OECD, 2013). Semakin wajib pajak dapat ‘dipercaya’ oleh otoritas pajak maka peluang terjadinya sengketa pajak semakin kecil (van der Eenden dan Bronzewska, 2014).
Predikat ‘percaya’ atau ‘tidaknya’ otoritas pajak terhadap wajib pajak berangkat dari penerapan TCF. TCF merupakan bagian dari sistem internal kontrol perusahaan untuk memastikan keakuratan dan kelengkapan laporan pajak serta pengungkapan informasi yang dilakukan oleh wajib pajak (OECD, 2016). Sehubungan dengan TCF, dapat membaca tulisan Implementasi Cooperative Compliance Melalui TCF.
Kepatuhan kooperatif sudah diterapkan di berbagai negara seperti Belanda, Italia, Inggris, hingga Australia. Pendekatan kepatuhan kooperatif di Indonesia sendiri ditandai dengan adanya compliance risk management (CRM) sesuai dengan SE-24/PJ/2019 yang merupakan proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak.
Terlepas dari adanya kepatuhan kooperatif atau tidak, penerapan TCF dapat bermanfaat bagi wajib pajak dalam mempertanggungjawabkan baik strategi maupun laporan pajak yang dihasilkan (van der Eenden dan Bronzewska, 2014). Terlebih, CRM membutuhkan penerapan TCF oleh wajib pajak itu sendiri untuk menjamin keakuratan dan kelengkapan dokumentasi yang berkaitan dengan pajak (Darussalam, 2019).
Hal ini pun juga berlaku dalam pengelolaan dokumentasi transfer pricing dan transaksi hubungan istimewa melalui penerapan TPCF. Pada dasarnya, TPCF merupakan bagian integral dari TCF. Sebagaimana TCF yang memiliki enam poin krusial (OECD, 2016), TPCF juga dapat diterapkan dengan mempertimbangkan poin penting sebagai berikut.
Pertama, menentukan dan mendokumentasikan strategi pajak. Umumnya, sebuah perusahaan memiliki strategi pajak berupa visi dan misi yang ingin dicapai perusahaan dalam konteks pajak (van der Eenden, 2020). Meskipun transfer pricing tidak sepenuhnya bagian dari ranah pajak, tetapi transfer pricing memiliki konsekuensi pajak.
Dengan demikian, strategi pajak suatu perusahaan secara umum juga memuat strategi transfer pricing. Penentuan strategi transfer pricing juga mencakup analisis terhadap risiko yang melekat.
Sebagai contoh, apabila wajib pajak memutuskan untuk memberikan jasa manajemen dan kemudian mengenakan biaya jasa kepada anak perusahaan, pertimbangan adanya skema ini dan analisis risiko yang melekat terhadap skema afiliasi perlu untuk didokumentasikan.
Contoh lain, seringkali wajib pajak melakukan transaksi afiliasi sesuai dengan kebijakan grup usaha. Terkait dengan transaksi afiliasi ini, wajib pajak perlu untuk berkomunikasi dengan entitas induk untuk mendapatkan dokumentasi yang relevan.
Sebagai catatan, komunikasi dengan entitas induk dan/atau entitas yang menjadi perwakilan induk di level regional merupakan salah satu elemen penting keberhasilan penerapan TPCF, terutama sehubungan dengan kebijakan penentuan harga transfer (setting price) grup usaha, dokumen induk, notifikasi laporan per negara dan/atau laporan per negara itu sendiri. Hal ini mengingat sebagian besar wajib pajak di Indonesia merupakan bagian dari grup usaha yang memiliki entitas induk berkedudukan di luar negeri.
Kedua, adanya skema atau transaksi afiliasi akan berdampak pada besaran perhitungan beban pajak dan kewajiban perpajakan suatu perusahaan. Agar kedua dampak ini dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, perusahaan perlu untuk mengadopsi pendekatan berorientasi proses (process-oriented) dengan mendokumentasikan keseluruhan proses (mulai dari strategi, penerapan, hingga monitor dan review) dan kewajiban perpajakan yang melekat. Selain itu, output dari poin ini juga berupa alur dan prosedur implementasi kebijakan transfer pricing itu sendiri.
Ketiga, mengalokasikan peran dan tanggungjawab kepada personil atau pihak terkait sehubungan dengan transaksi afiliasi yang akan dilakukan. Transfer pricing bukan hanya menjadi tanggungjawab personil departemen pajak suatu perusahaan. Dalam mempersiapkan dokumentasi yang akurat dan dapat dipercaya, perlu adanya keterlibatan departemen atau pihak lain yang terkait.
Dengan adanya dokumen alur dan prosedur pelaksanaan yang telah dirancang, personil internal yang terlibat dapat mengetahui apa yang harus dilakukan, dokumen apa yang harus dipersiapkan, dan bagaimana alur pelaporan.
Sebagai contoh, transaksi penyediaan jasa manajemen kepada afiliasi membutuhkan dokumentasi dari personil yang terlibat dalam pemberian jasa. Dokumentasi ini dapat berupa laporan hasil pemberian jasa yang kemudian diserahkan kepada pihak yang relevan untuk keperluan dokumentasi transfer pricing.
Keempat, tata kelola perusahaan. Tata kelola perusahaan menjadi poin krusial dalam keberhasilan TPCF, terutama tata kelola perusahaan sehubungan dengan pajak. Tata kelola ini mengatur tentang manajemen risiko pajak, pelaporan, pembagian peran dan tanggungjawab, key performance indicator (KPI), metode komunikasi vertikal maupun horizontal, monitor dan review, hingga pengujian TPCF.
Tanpa adanya tata kelola perusahaan yang baik, perusahaan akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan dan menghasilkan output yang dapat dipercaya dari TPCF.
Kelima, adanya mekanisme monitor dan pengujian atas implementasi TPCF yang dilakukan secara berkala. Poin ini juga memuat dokumentasi mengenai kendala yang dihadapi dalam penerapan TPCF serta bagaimana langkah perusahaan dalam menanggulanginya.
Keenam, TPCF memberikan jaminan kepada pemangku kepentingan, termasuk otoritas pajak bahwa perusahaan memiliki kontrol atas risiko yang melekat, kewajiban perpajakan terlaksana dengan baik, serta seluruh dokumentasi sebagai bagian dari TPCF yang akurat dan dapat dipercaya.
Dokumentasi menyeluruh ini merupakan output dari proses TPCF yang menjadi ‘bekal’ bagi wajib pajak untuk membuktikan bahwa wajib pajak telah menerapkan tata kelola yang baik dalam praktik transfer pricing, tidak memiliki skema tertentu yang perlu ditutupi dari otoritas pajak, dan yang terpenting, sebagai bukti bahwa wajib pajak dapat dipercaya oleh otoritas pajak. (Disclaimer)