Gilang Kusumabangsa,
REFORMASI perpajakan holistik pertama di Indonesia terjadi pada 1983. Saat itu, reformasi perpajakan memperkenalkan self-assessment regime.
Dengan peraturan dan kewenangan pemeriksaan, otoritas pajak berupaya memberikan deterrence effect guna mencapai target penerimaan negara. Sementara itu, wajib pajak selalu berusaha meminimalkan pembayaran pajaknya untuk memaksimalkan profit (Bawazier, 2011).
Situasi tersebut tak jarang berujung pada munculnya sengketa pajak. Jika sengketa pajak terjadi, biaya kepatuhan (compliance cost) akan besar. Pada saat bersamaan, ada risiko penurunan kepercayaan (trust), baik dari sisi wajib pajak maupun otoritas pajak.
Saat ini sudah 40 tahun pascareformasi perpajakan 1983. Self-assessment regime pada kenyataannya belum mampu menggerek tax ratio Indonesia secara optimal. Pada 2022, tax ratio Indonesia mandek pada angka 10,4%, jauh di bawah rata-rata negara Asean yang tercatat sebesar 15%.
Penambahan jumlah pemeriksa pajak belum sebanding dengan audit coverage ratio (ACR) yang hanya 0,88% pada 2022. Kualitas pemeriksaan pajak yang diuji lewat mekanisme banding oleh pengadilan pajak menghasilkan peningkatan jumlah perkara hingga mencapai 15.561. Putusan yang memenangkan otoritas pajak hanya sebanyak 29,77%.
Berbagai strategi sejatinya telah diterapkan guna menggenjot kepatuhan material wajib pajak. Namun, paradigma otoritas yang selama ini berfokus pada tahap penerimaan dan pengelolaan Surat Pemberitahuan (SPT) perlu dilengkapi.
Pelengkapnya adalah strategi pada tahap persiapan pelaporan pajak jauh ke dalam natural system wajib pajak. Salah satu best practice yang direkomendasikan OECD (2016) dan sejalan dengan tren perpajakan global—mengarah pada berakhirnya era deterrence—adalah Tax Control Framework (TCF).
TCF merupakan bagian integral dari sistem pengendalian internal yang berkaitan dengan pengelolaan risiko pajak. Pentingnya TCF terletak pada kemampuannya untuk memberikan jaminan yang dapat diverifikasi bahwa SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak bersifat akurat dan lengkap (OECD, 2016).
Secara empiris dalam penelitian terdahulu, penerapan TCF terbukti meningkatkan kualitas SPT, mengurangi risiko fraud pada internal wajib pajak, serta memitigasi dampak risiko pajak (Choi & Park, 2022; Siglé et al., 2022).
Secara praktik, 18 negara menjadikan TCF sebagai instrumen prasyarat (prerequisite) yang mampu menyeimbangkan transformasi dan mengejawantahkan roh transparansi yang dipertukarkan dengan kepastian dalam program kepatuhan kooperatif (cooperative compliance program).
Banyak contoh keberhasilan 37 negara, termasuk di antaranya Belanda dan Australia, yang telah mengimplementasikan TCF dalam bingkai cooperative compliance program. Keberhasilan itu diukur melalui perbaikan tata kelola pajak perusahaan serta peningkatan akurasi SPT yang dilaporkan, kepatuhan material, dan penerimaan pajak.
Namun, keberhasilan implementasi TCF yang paling berharga adalah membangun ekosistem perpajakan yang positif dan kolaboratif dengan mengedepankan kepercayaan. Bagaimanapun, TCF menawarkan solusi jangka panjang yang nyata (tangible) bagi perusahaan dalam pembangunan tata kelola dan manajemen risiko perpajakan. Situasi ini pada akhirnya turut meningkatkan reputasi perusahaan.
Sementara bagi otoritas pajak, pemahaman komprehensif terhadap proses bisnis wajib pajak akan menjadi katalis dalam pengelolaan kepatuhan pajak secara berkelanjutan (Choi & Park, 2022; Härteis, 2017; Siglé et al., 2022).
Keberhasilan tersebut adalah keniscayaan apabila triple helix, yakni otoritas pajak, wajib pajak, serta pihak ketiga, bersinergi mengubah sudut pandang. Tujuannya tidak lain adalah untuk pembangunan iklim yang kolaboratif.
Wajib pajak tidak curiga dalam keterbukaan informasi keuangan dan deklarasi strategi pajak. Kemudian, otoritas menunjukkan komitmen dengan penyediaan landasan legal dan perumusan kepastian (certainty) yang berkontribusi pada stabilitas ekonomi sebagai stimulus wajib pajak yang transparan. Akhirnya, pihak ketiga, baik konsultan pajak maupun PJAP, akan lebih berkontribusi pada lingkup mitigasi bukan litigasi.
Pertanyaan yang paling fundamental, siapkah Indonesia memasuki era baru perpajakan?
* Artikel opini ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.