HUBUNGAN wajib pajak dan otoritas pajak sering digambarkan sebagai hubungan antara polisi dan penjahat, pemburu dan buruan, serta predator dan mangsa (Caro and Bird, 2011). Hal ini cukup beralasan karena kepatuhan pajak sering menjadi momok bagi wajib pajak dan otoritas pajak.
Bahkan, tendensi wajib pajak untuk tidak patuh dan memperkecil jumlah pajak yang dibayar sudah ada jauh sebelum abad ke-20 (Bronzewska, 2014). Paradigma tersebut pada dasarnya merefleksikan ketidakpercayaan (distrust) antarpihak dan sudah tidak sesuai lagi diterapkan saat ini.
Wajib pajak dan otoritas pajak pada dasarnya saling membutuhkan satu sama lain. Otoritas pajak membutuhkan data dan informasi ketika melakukan pengawasan. Sementara itu, wajib pajak pada dasarnya membutuhkan kepastian atas pajak yang dilaporkannya.
Hubungan otoritas pajak dan wajib pajak seharusnya didasarkan pada kepercayaan. Dengan demikian, wajib pajak dapat bersikap transparan atas pajak yang dilaporkannya dan otoritas pajak juga dapat dengan mudah melakukan pengawasan atas kepatuhan wajib pajak.
Untuk itu, Organisation for Economic Cooperation and Developent (OECD) memperkenalkan pendekatan baru yang dinamakan cooperative compliance (OECD, 2013). Pendekatan ini menekankan pada kepercayaan dan keterbukaan antara otoritas pajak dan wajib pajak.
Untuk menerapkan cooperative compliance ini, salah satu alat bantu yang diperkenalkan dalam laporan tersebut adalah Kerangka Pengendalian Pajak/Tax Control Framework (TCF). TCF ini kemudian dijabarkan lebih lengkap dalam laporan tersendiri yang diterbitkan OECD pada 2016.
TCF adalah bagian dari sistem internal kontrol perusahaan yang memberikan keakuratan dan kelengkapan laporan pajak atau pengungkapan yang dilakukan wajib pajak (OECD, 2016). Secara sederhana, TCF akan menjelaskan pengelolaan risiko pajak yang dilakukan perusahaan.
Pengelolaan risiko itu menggambarkan apakah prosedur, manajemen risiko, strategi pajak, dan kebijakan informasi sejalan dengan pemenuhan kepatuhan pajak. Risiko ketidaksesuaian operasi bisnis dan kepatuhan pajak tergambar melalui profil risiko, termasuk cara menangani risiko tersebut.
TCF yang disiapkan wajib pajak itu seharusnya dapat memberikan gambaran profil pajak perusahaan, sehingga memudahkan otoritas pajak ketika melakukan pengawasan. Hal ini disebabkan informasi tentang tata kelola pajak di perusahaan telah disediakan wajib pajak secara komprehensif.
Enam Poin Krusial
UNTUK memastikan TCF yang dihasilkan memenuhi ekspektasi otoritas pajak, dalam panduan yang diterbitkan OECD, setidaknya terdapat enam poin esensial TCF yaitu (i) dokumentasi strategi pajak, (ii) TCF telah mencakup seluruh transaksi perusahaan.
Kemudian (iii) TCF menggambarkan pengurus yang bertanggung jawab atas implementasi TCF, (iv) seluruh sistem operasi perusahaan telah terdokumentasi, (v) telah dilakukan pengujian internal atas TCF, dan (vi) kesiapan perusahaan atas risiko pajak yang telah terdokumentasi.
TCF yang disiapkan wajib pajak diserahkan ke otoritas pajak yang menilai dan menguji implementasi TCF tersebut. Ketika hasil pengujian menunjukkan ketidaksesuaian, wajib pajak diberikan pengarahan dan otoritas pajak harus secara intens melakukan komunikasi (OECD, 2016).
Hal ini disebabkan TCF pada dasarnya merupakan alat bagi otoritas pajak untuk melakukan kerja sama dengan wajib pajak. Jadi, wajib pajak tidak langsung diberikan hukuman ketika hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasi otoritas pajak.
Salah satu negara yang sudah mewajibkan adanya TCF adalah Australia (Australian Tax Officer/ATO, 2018). ATO menerbitkan kewajiban penyerahan TCF sejak 19 Juni 2018. Kemudian, pada 25 Juni 2018 menerbitkan petunjuk tambahan terkait dengan penerapan TCF.
TCF yang diserahkan wajib pajak diuji dan digunakan ATO untuk menjustifikasi apakah wajib pajak dapat ‘dipercaya’ atau tidak. Hasil justifikasi tersebut akan menentukan risk rating perusahaan dan berpengaruh pada langkah pemeriksaan pajak yang dilakukan (PwC, 2017).
Sehubungan dengan penerapan yang terbilang baru di Australia, penulis belum menemukan apakah TCF dapat benar-benar mewujudkan cooperative compliance atau tidak. Masih diperlukan studi yang komprehensif dan mendalam untuk menjawab hal tersebut.
Namun, bukan tidak mungkin apabila TCF ini nantinya juga diterapkan di Indonesia. Tujuannya tidak lain untuk mendekatkan hubungan wajib pajak dan otoritas pajak. Dengan demikian, hubungan itu tidak lagi seperti polisi dan penjahat, pemburu dan buruan, atau predator dan mangsa.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.