PERANG negara-negara di dunia dalam melawan pandemi Covid-19 belum usai. Eskalasi penyebaran virus Corona hingga saat ini masih meningkat di berbagai negara. Untuk mengantisipasi ancaman resesi ekonomi tersebut, berbagai negara mengambil langkah yang lebih proaktif dari sebelumnya.
Meskipun instrumen pajak semakin menjadi andalan dari berbagai negara atau yurisdiksi, perlu dicatat bahwa kinerja penerimaan pajak sendiri juga terancam mengalami pertumbuhan negatif. Per Maret 2020 saja, berdasarkan data yang dirilis Kementerian Keuangan, penerimaan pajak masih tumbuh negatif 2,5%.
Berdasarkan perubahan APBN 2020 (sesuai outlook pemerintah) yang tertuang dalam Peraturan Presiden No.54/2020, penerimaan pajak diprediksi akan mengalami penurunan 5,9% dibandingkan realisasi tahun 2019 atau sekitar Rp1254,1 triliun.
Sementara itu, jika berkaca pada kinerja pajak kuartal pertama dan tren tahun-tahun sebelumnya, DDTC Fiscal Research juga menghasilkan prediksi sementara, yaitu berkisar antara Rp1.218,3 hingga Rp1223,2 triliun atau 97,2% hingga 97,6% dari outlook pemerintah. Dengan kata lain, kinerja penerimaan pajak tahun ini diestimasi tumbuh antara -8,5% hingga -8,2%.
Pajak penghasilan, baik yang berasal dari orang pribadi maupun badan memang ditengarai paling terdampak. Sebab, aktivitas ekonomi para pelaku usaha banyak yang terhambat akibat keterbatasan mobilitas, baik dalam maupun antarnegara. Selain itu, tidak mengherankan pajak berbasis kegiatan impor juga berpotensi paling terdampak.
Meski demikian, PPh Pasal 21 berpotensi masih menjadi andalan. Sebagaimana tercatat per Maret 2020, PPh yang berasal dari karyawan masih tumbuh 4,94% meskipun menurun dibandingkan pada 2019 yang tumbuh sebesar 14,7%. Jika pemerintah mampu mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja, PPh Pasal 21 diproyeksi masih dapat menjadi salah satu andalan sumber penerimaan.
Selain itu, PPN juga dapat menjadi andalan selama tingkat konsumsi masyarakat domestik terjaga. Hingga Maret 2020, penerimaan PPN masih tumbuh sebesar 10,27%. Hal ini tercermin dari outlook perekonomian pemerintah yang menilai tingkat konsumsi rumah tangga masih akan tumbuh berkisar 3,2% sepanjang tahun. Hanya saja, PPN berbasis impor tampaknya akan menghasilkan pertumbuhan yang negatif akibat menurunnya perdagangan internasional.
Studi Global
DALAM konteks global, berdasarkan pengamatan DDTC Fiscal Research hingga 17 April 2020, setidaknya terdapat 129 negara atau yurisdiksi yang merespons ancaman tersebut dengan instrumen pajak. Telah diidentifikasi sebanyak 749 instrumen pajak yang telah (atau akan segera) dilaksanakan, dengan rata-rata sebanyak 6 instrumen pajak untuk setiap negara atau yurisdiksi.
Berdasarkan jenisnya, pajak penghasilan masih menjadi jenis pajak yang paling banyak digunakan oleh berbagai yurisdiksi. Hasil perhitungan DDTC Fiscal Research menunjukkan sebanyak 83 yurisdiksi telah merespons potensi dampak pandemi Covid-19 melalui fitur pajak PPh Badan dan 79 yurisdiksi menggunakan fitur PPh pribadi. Berbagai instrumen pajak baru tersebut digunakan untuk mencapai berbagai macam tujuan tertentu. Meski demikian, sebagian besar dapat dikategorikan menjadi empat kelompok tujuan.
Pertama, membantu arus kas para pelaku bisnis. Pada umumnya, respons ini diberikan agar kegiatan ekonomi dapat terus berlangsung dan terhindar dari pengambilan keputusan pemutusan hubungan kerja. Cara ini bisa dilakukan dalam bentuk penundaan pembayaran pajak, percepatan restitusi atau menambah komponen pengurang biaya tertentu atas penghasilan.
Kedua, memberikan keringanan administrasi pajak. Cara ini diberikan melalui penundaan penyampaian SPT, pengunduran tenggat waktu pelaporan beberapa dokumen, penghapusan sanksi. Bentuk keringanan ini paling banyak ditemukan dalam studi DDTC Fiscal Research, yaitu mencapai 89 negara atau yurisdiksi.
Ketiga, menginsentif pemberian donasi. Cara ini dilakukan dengan memperbolehkan berbagai sumbangan tertentu untuk mengurangi pajak penghasilan, baik individu maupun badan. Beberapa contoh negara yang melakukan langkah ini termasuk Jepang, Malaysia, Polandia, dan Fiji.
Keempat, instrumen pajak juga semakin banyak diandalkan untuk menunjang sistem kesehatan. Berdasarkan data DDTC Fiscal Research, terdapat 24 negara yang menggunakan berbagai fitur pajak untuk sebagai dukungan untuk kesehatan masyarakat dan penanganan medis.
Selain keempat poin di atas, masih terdapat beberapa tujuan yang melandasi insentif lainnya, seperti menunjang konsumsi masyarakat, menjaga arus kas rumah tangga, menunjang investasi, dan lain-lain yang tersebar hanya di sebagian kecil negara atau yurisdiksi.
Beberapa Catatan
HINGGA kini, kita belum tahu pasti sampai kapan pandemi Covid-19 akan berlangsung dan apa saja dampak-dampak yang ditimbulkan. Dengan demikian, respons intrumen pajak sepertinya masih akan terus berlanjut hingga beberapa waktu ke depan, terutama relaksasi yang bersifat administrasi.
Meski demikian, terdapat beberapa catatan yang bisa kita lihat berdasarkan situasi saat ini.
Pertama, instrumen pajak yang diluncurkan pemerintah Indonesia sejalan dengan tren global saat ini. Dari kelonggaran administrasi, relaksasi withholding tax, hingga pembebasan pajak atas barang dan jasa tertentu juga umum dilakukan oleh berbagai negara lainnya.
Kedua, jumlah respons pajak suatu negara berkorelasi positif dengan jumlah kasus Covid-19 yang terjadi di negara tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap negara responsif terhadap perkembangan situasi. Semakin serius dampak yang ditimbulkan pandemi tersebut, semakin komprehensif pula respons instrumen pajak yang diberikan pemerintah.
Dengan kata lain, langkah-langkah pemerintah yang sudah diberikan hingga saat ini belum dapat dikatakan final. Selama pandemi ini belum mencapai puncak, diperkirakan instrumen pajak akan masih terus bertambah dan dinamis.
Ketiga, hampir seluruh relaksasi pajak yang diberikan bersifat temporer. Dengan kata lain, berbagai respons instrumen pajak yang diberikan akan secara bertahap berakhir jika dampak dari pandemi ini sudah mulai menurun. Perpanjangan masa relaksasi akan tetap menjadi kemungkinan selama dampak yang ditimbulkan masih berkepanjangan.
Keempat, perbaikan kinerja penerimaan tetap dibutuhkan. Dengan semakin dibutuhkannya peran pemerintah melalui subsidi atau belanja langsung, sumber-sumber penerimaan pajak tertentu perlu tetap dioptimalkan. Hal ini sejalan dengan studi yang dilakukan OECD (2020) dan Brondolo (2009), di mana pemetaan terhadap sumber-sumber penerimaan dan redistribusi beban pajak perlu dilakukan secara hati-hati agar relaksasi diberikan secara tepat sasaran.
Melihat keempat hal di atas, dapat disimpulkan kinerja pajak yang optimal tetap dibutuhkan di tengah adanya kebutuhan atas berbagai relaksasi. Sebab, hilangnya penerimaan pajak akibat berbagai keringanan pajak yang diberikan perlu diseimbangkan dengan kesadaran wajib pajak. Oleh karena itu, kesadaran membayar pajak masyarakat luas justru menjadi semakin krusial di tengah besarnya kebutuhan pendanaan dari pemerintah. (Disclaimer)
Artikel ini juga disajikan secara langsung dalam Webinar dengan topik ‘Pandemi Covid-19 & Prospek Pajak ke Depan’ yang digelar oleh DDTC Academy, Selasa (21/4/2020). Penulis, Research Coordinator DDTC Fiscal Research Denny Vissaro, menjadi pembicara bersama Partner Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji.*