TERLEPAS dari penempatan rumusannya yang “hanya” setingkat Penjelasan di dalam UU KUP, asas ultimum remedium telah dipercaya oleh banyak pihak sebagai asas hukum utama dalam koridor penegakan hukum pajak.
Dalam asas ultimum remedium, hukum pidana pajak diberlakukan sebagai upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan melalui penegakan hukum. Dengan begitu, tindakan administrasi seharusnya dilakukan sebelum pelaksanaan hukum pidana pajak.
Dalam interaksi antara ketentuan tindak pidana pajak dengan tindak administrasi pajak, suatu kasus pajak yang sudah diputus oleh Hakim pidana pajak dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, masih tetap dapat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT). Dua surat ketetapan diterbitkan untuk menagih pajak yang tidak atau kurang dibayar, dengan ditambah sanksi administrasi, berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 15 ayat (4) UU KUP.
Penerbitan SKPKB dan SKPKBT tersebut merupakan tindakan administrasi yang dilakukan setelah pelaksanaan hukum pidana pajak. Dengan demikian, penerbitannya menjadi tidak sejalan dengan asas ultimum remedium.
Penjelasan Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 15 ayat (4) UU KUP menyatakan penerbitan SKPKB dan SKPKBT bertujuan untuk memperoleh kembali pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar. Mengacu pada Penjelasan Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, dalam hal tindak pidana perpajakan yang disangkakan, misalnya terkait Pasal 39 UU KUP, pengertian jumlah kerugian pada pendapatan negara meliputi pajak yang tidak atau kurang dibayar.
Dapat disimpulkan bahwa “pajak yang tidak atau kurang dibayar” yang ditagih dengan penerbitan SKPKB dan SKPKBT berdasarkan Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 15 ayat (4) UU KUP berasal dari permasalahan/pelanggaran dengan fakta yang sama dengan permasalahan/pelanggaran terkait “pajak yang tidak atau kurang dibayar” atau kerugian pada pendapatan negara sebagaimana yang dimaksud oleh Hakim pidana pajak dalam putusannya.
Dengan diterbitkannya SKPKB dan SKPKBT terkait putusan Hakim pidana pajak yang telah berkekuatan hukum tetap, ada dua kali penghukuman untuk suatu permasalahan/pelanggaran dengan fakta yang sama. Jika SKPKB atau SKPKBT tersebut disengketakan oleh wajib pajak ke Pengadilan Pajak maka atas suatu permasalahan/pelanggaran yang sama akan diadili dua kali.
Asas Litis Finiri Oportet dan Asas Ne bis in Idem
TERKAIT dengan interaksi antara tindak pidana pajak dan tindak administrasi pajak, Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 menekankan pentingnya mengakhiri upaya penegakan hukum pajak dengan memberlakukan asas litis finiri oportet.
Apabila suatu permasalahan perpajakan telah diadili dan diputus oleh suatu putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap, tidak dapat dibenarkan lagi melakukan tindakan-tindakan penegakan hukum lain, baik di luar ataupun di depan pengadilan.
Penerapan asas litis finiri oportet tersebut sejalan dengan asas ultimum remedium. Karena, putusan hakim pidana dalam tindak pidana pajak bertujuan untuk mengakhiri suatu upaya penegakan hukum.
Ditilik lebih jauh, selain tidak selaras dengan asas litis finiri oportet, ketentuan penerbitan SKPKB dan SKPKBT dalam Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 15 ayat (4) UU KUP juga tidak sesuai dengan asas nemo debet bis puniri pro ono uno delicto dan asas nemo debet bis vexari pro eadem causa.
Menurut Black Law Dictionary (2004), asas nemo debet bis puniri pro ono uno delicto berarti seseorang tidak boleh dihukum dua kali atas pelanggaran yang sama. Sementara asas nemo debet bis vexari pro eadem causa, berarti seseorang tidak boleh diadili dua kali atas pelanggaran yang sama.
Wattel (2016) menyatakan kedua asas tersebut, yaitu nemo debet bis puniri pro ono uno delicto dan nemo debet bis vexari pro eadem causa, merupakan komponen pembentuk asas ne bis in idem (the prohibition of double jeopardy). Menurut Wattel (2016), asas nemo debet bis puniri pro ono uno delicto dapat dilaksanakan dengan 2 alternatif. Pertama, berupa “sistem kredit”, yaitu atas pelanggaran yang sama, sanksi sebelumnya diperhitungkan atau dikreditkan dalam perhitungan sanksi berikutnya.
Kedua, “sistem pembatalan”, yaitu sanksi sebelumnya dibatalkan jika lembaga peradilan berikutnya menghasilkan putusan berupa wajib pajak dibebaskan dari pengenaan hukuman. “Sistem pembatalan” ini hanya berlaku untuk sanksi yang dikenakan dalam bentuk moneter/uang sehingga harus dikembalikan, tetapi tidak berlaku untuk hukuman penjara, kecuali belum dijalankan.
Sementara asas nemo debet bis vexari pro eadem causa juga dilaksanakan dengan 2 alternatif (Wattel, 2016). Pertama, “sistem finalitas”, yaitu jika telah terdapat suatu putusan pengadilan baik administrasi atau pidana pajak yang sudah tidak dapat lagi diajukan upaya hukum selanjutnya maka prosedur administrasi atau pidana pajak setelahnya dengan tujuan untuk menghukum permasalahan/pelanggaran yang sama, harus dihentikan atau tidak boleh diinisiasi.
Kedua, penerapan asas electa una via non datur recursus ad alteram atau asas una via, yaitu ketika suatu jalan telah dipilih, tidak boleh ada jalan lain lagi yang dapat diberikan (Black Law Dictionary, 2004). Dalam penerapan asas una via ini, tidak boleh ada proses untuk mengenakan sanksi administrasi jika surat untuk memulai prosedur pidana pajak telah diterbitkan. Sebaliknya, surat untuk memulai prosedur pidana pajak tidak dapat diterbitkan jika proses administrasi telah menetapkan dan mengenakan sanksi untuk permasalahan/pelanggaran pajak yang sama.
Malherbe dan Peeters (2016) menggambarkan penerapan asas una via ini di Belgia, yaitu terlebih dahulu dilakukan konsultasi bersama antara pihak pelaksana proses administrasi pajak dengan pihak pelaksana proses pidana pajak. Tujuannya, untuk menentukan tindakan apa yang akan ditempuh untuk suatu dugaan pelanggaran pajak.
Pemberlakuan asas una via di Belgia disertai dengan alokasi fungsi dan pelaksanaan diantara para pihak. Jika prosedur pidana yang dipilih, pihak pelaksana administrasi pajak harus menyerahkan data fiskal yang dimilikinya kepada pihak penegak hukum pidana pajak. Atas hal-hal yang bersifat pemaksaan, seperti penggeledahan dan penyitaan, pelaksanaannya akan dilakukan oleh pihak penegak hukum pidana pajak. Sementara untuk hal-hal yang sifatnya tanpa pemaksaan, pelaksanaannya dilakukan oleh pihak pelaksana administrasi pajak.
Jika dibandingkan dengan sistem hukum di Indonesia, ketentuan Pasal 76 KUH Pidana dan Pasal 1917 KUH Perdata menunjukkan sistem hukum pidana dan perdata di Indonesia mengadopsi asas ne bis in idem. Sedangkan dalam sistem hukum pajak di Indonesia, yang diyakini oleh banyak pihak bercirikan ultimum remedium, nyatanya masih terdapat aturan yang membuka kemungkinan penerbitan SKPKB dan SKPKBT.
Penerbitan SKPKB dan SKPKBT tersebut untuk menagih pajak yang tidak atau kurang dibayar atas permasalahan/pelanggaran dengan fakta yang sama yang sebelumnya sudah diputus oleh Hakim pidana pajak. Padahal, hukuman denda atas “pajak yang tidak atau kurang dibayar” sesuai putusan Hakim pidana pajak wajib dilunasi oleh wajib pajak berdasarkan Pasal 273 KUHAP.
Selain itu, beberapa putusan dari lembaga peradilan di Indonesia menunjukkan ketidakseragaman putusan atas penerbitan SKPKB terkait putusan hakim pidana pajak yang telah berkekuatan hukum tetap. Misalnya, dalam 2 putusan pengadilan terkait penerbitan SKPKB berdasarkan Pasal 13 ayat (5) UU KUP sebagai tindak lanjut atas Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 1861 Tahun 2015 dalam kasus tindak pidana pajak.
Dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor 111984 Tahun 2018, Majelis Hakim Pajak memperbolehkan penerbitan SKPKB berdasarkan Pasal 13 ayat (5) UU KUP, meskipun wajib pajak telah mendalilkan bahwa sesuai dengan asas ne bis in idem, pajak yang sudah diperiksa dan diputus dalam oleh Hakim pidana pajak dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor 1861 Tahun 2015 tidak tepat untuk diperiksa lagi atau diterbitkan SKPKB.
Sedangkan Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor 3 Tahun 2016 sehubungan dengan gugatan kurator atas proses pemeriksaan pajak dalam rangka penerbitan SKPKB sebagai tindakan lanjutan atas Putusan Pengadilan Negeri Nomor 1861 Tahun 2015, memutuskan tidak memperbolehkan SKPKB Pasal 13 ayat (5) UU KUP diterbitkan.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Niaga menyatakan bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor 1861 Tahun 2015 telah memperhitungkan utang pajak sebagai kerugian pada pendapatan negara. Dengan demikian, hukuman dalam SKPKB tidak dapat dikenakan lagi atas utang pajak yang sama, dan proses pemeriksaan untuk tujuan penerbitan SKPKB tersebut harus dibatalkan.
Asas Litis Finiri Oportet dan Ne bis in Idem
MEMPERTIMBANGKAN hal-hal di atas, sudah sepantasnya dan sepatutnya untuk dapat meninjau kembali penerbitan SKPKB atau SKPKBT atas permasalahan/pelanggaran yang telah diputus oleh Hakim pidana pajak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 15 ayat (4) UU KUP.
Serta, secara lebih luas, dapat meninjau kembali penerapan hukum pajak yang dapat dilakukan dengan prosedur administrasi pajak dan prosedur pidana pajak terhadap permasalahan/pelanggaran dengan fakta yang sama. Hal itu penting untuk memberikan perlindungan bagi wajib pajak dari kemungkinan akan adanya dua kali penghukuman atas permasalahan/pelanggaran yang sama.
Menurut Baker dan Pistone (2015), asas ne bis in idem (the prohibition of double jeopardy) dalam hukum pajak merupakan bagian dari asas-asas hukum yang menjadi pondasi bagi perlindungan atas hak-hak wajib pajak, selain asas audi altera partem, asas proporsionalitas, dan asas nemo tenetur (nonself-incrimination).
Asas ne bis in idem sekaligus merupakan hak dasar (fundamental right) wajib pajak yang harus dijamin perlindungannya. Tujuannya, agar wajib pajak terhindar dari kewajiban untuk membela diri dua kali atas permasalahan/pelanggaran pajak yang sama.
Hak wajib pajak merupakan hak asasi yang melekat pada manusia sebagai wajib pajak (Olson, 2013). Hak wajib pajak juga merupakan hak konstitusional bagi wajib pajak, di mana konstitusi melindungi dan menjamin kekayaan pribadi untuk tidak boleh diambil secara sewenang-wenang (Kasim, 2013).
Perlindungan hukum atas hak-hak wajib pajak adalah untuk memastikan wajib pajak diperlakukan dengan cara-cara yang wajar yang tidak melanggar hak-hak dasarnya, seperti hak untuk tidak dikenakan hukuman dua kali atas permasalahan/pelanggaran yang sama (Baker dan Pistone, 2015).
Selain dapat meningkatkan kepastian atas hukuman yang dikenakan, adopsi asas ne bis in idem dalam hukum pajak dapat menghadirkan sistem pemungutan pajak yang memberikan pertimbangan dan penghargaan kepada hak asasi, dan sejalan dengan norma hukum universal yang ditemukan dalam sistem hukum pidana atau perdata di Indonesia.
Uraian tentang asas litis finiri oportet dan asas ne bis in idem di atas diharapkan dapat memperluas khazanah dalam praktik di lapangan maupun legislasi terkait sanksi perpajakan. Pemberlakuan asas litis finiri oportet dapat dilakukan dengan mempersempit ruang lingkup penerbitan SKPKB atau SKPKBT dalam Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 15 ayat (4) UU KUP hanya untuk putusan Hakim tindak pidana lain selain tindak pidana pajak yang telah berkekuatan hukum tetap.
Hal tersebut akan sejalan dengan asas ultimum remedium dalam hukum pajak, di mana putusan pidana pajak adalah untuk menutup atau sebagai upaya terakhir dalam proses penyelesaian sengketa pajak dan penegakan hukum pajak. (Disclaimer)