DI tengah tekanan terhadap penerimaan pajak yang semakin besar akibat perlemahan ekonomi, berbagai bentuk relaksasi fiskal akhirnya menjadi tuntutan. Selain rancangan omnibus law perpajakan, urgensi berbagai keringanan administrasi maupun beban pajak juga digelontorkan pemerintah di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini. Akibatnya, penerimaan pajak kembali tergerus.
Pada situasi seperti ini, perluasan basis pajak justru semakin genting untuk dilakukan. Ketika kemampuan ekonomi berkontribusi terhadap pajak menurun, dibutuhkan adanya pemerataan beban pajak melalui strategi yang tepat sasaran (Brondolo, 2009). Selain mempertahankan penerimaan, pendekatan tersebut juga penting untuk meredistribusi beban pajak secara lebih adil sesuai dengan kemampuan membayar (OECD, 2018).
Sebelum mengidentifikasi apa saja opsi yang dapat dilakukan, ada baiknya kita pelajari terlebih dahulu indikasi minimnya basis pajak di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat setidaknya dari empat indikator berikut.
Pertama, tingginya shadow economy atau akvitivas ekonomi yang tidak tercatat. Berdasarkan perhitungan Medina dan Schneider (2018), besaran ‘sektor’ tersebut mencapai 26,6% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia dalam periode 2005-2015.
Kedua, struktur penerimaan pajak yang tidak berimbang (Kristiaji, 2018). Sumbangan penerimaan pajak yang didominasi oleh pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) badan (50%-60%) selama beberapa tahun terakhir memberikan sinyal kontribusi PPh orang pribadi masih jauh dari maksimal. Selain itu, struktur seperti saat ini menyebabkan penerimaan pajak rentan terhadap perlemahan ekonomi.
Padahal, PPh orang pribadi dapat menjadi bantalan untuk meredam dampak dari gejolak ekonomi. Sebagai informasi, pada tahun 2019, penerimaan PPh yang berasal dari karyawan (PPh Pasal 21) berkisar 11,2%. Kemudian, PPh Pasal 25 Orang Pribadi yang justru berasal dari masyarakat berpenghasilan tinggi hanya sebesar 0,8%.
Ketiga, kecilnya partisipasi jumlah wajib pajak. Per 2019, jumlah wajib pajak terdaftar baru mencapai 31,4% dari total angkatan kerja.
Keempat, deviasi aturan sistem pajak yang menyebabkan berkurangnya penerimaan atas dasar tujuan tertentu, misalnya untuk menggerakkan ekonomi atau investasi. Dengan kata lain, langkah ini memang sengaja didesain demikian sehingga menciptakan belanja secara tidak langsung atau yang disebut juga belanja perpajakan. Sebagai informasi, pada 2018, belanja pajak tersebut sudah mencapai Rp221,1 triliun.
Dari keempat persoalan di atas, jelas bahwa basis pajak masih menjadi persoalan yang mendasar di Indonesia.
Lima Langkah
LANTAS, strategi apa yang dapat diupayakan untuk memperluas basis pajak? Setidaknya ada lima langkah yang perlu diperhatikan.
Pertama, mengurangi kebergantungan penerimaan pajak dari lapisan wajib pajak tertentu. Brondolo dan John (2009) menjelaskan reorganisasi tugas kantor pajak serta realokasi proporsi wajib pajak yang ditangani kantor pajak akan berkontribusi pada meningkatnya basis pajak secara lebih inklusif di tiap lapisan masyarakat.
Terkait dengan hal tersebut, belum lama ini kita sudah dapat melihat bahwa pemerintah ingin mengurangi kebergantungan penerimaan pajak dari segelintir wajib pajak. Melalui pengawasan berbasis kewilayahan yang diatur dalam Surat Edaran Nomor SE-07/PJ/2020, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama akan menyasar kelompok wajib pajak yang belum masuk ke dalam pendataan.
Fungsi KPP Pratama diubah melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak KEP No. 75/PJ/2020 diarahkan untuk meningkatkan efektivitas kinerja pengawasan serta penggalian potensi pajak. Dengan fungsi tersebut, KPP Pratama memiliki tugas tambahan untuk melakukan pengumpulan dan penjaminan kualitas data dan informasi perpajakan. Dengan langkah ini diharapkan distribusi aliran penerimaan pajak menjadi lebih luas.
Kedua, kemudahan administrasi pajak. OECD (2019) dalam laporannya Tax Admnistration 2019 menyebutkan upaya perluasan basis pajak juga dilakukan berbagai negara. Salah satu yang digunakan adalah mengurangi administrasi pajak yang dianggap terlalu membebani, terutama yang menyasar pada wajib pajak individu. Kemudahan tersebut dianggap akan mencegah kelalaian wajib pajak dalam melaksanakan administrasinya.
Penerapan langkah kedua tersebut akan turut berdampak pada upaya yang ketiga, yaitu meningkatkan moral pajak untuk membangun kepatuhan pajak sukarela. Dalam publikasi terbitan OECD (2019) berjudul Tax Morale: What Drives People and Business to Pay Tax? disebutkan kualitas moral pajak menentukan sejauh mana basis pajak dapat mencapai mayoritas wajib pajak, terutama yang berasal dari sektor informal.
Dengan moral pajak yang lebih baik, diharapkan kontribusi pajak penghasilan yang bersifat angsuran atau kurang bayar dari orang pribadi (PPh Pasal 25/29 orang pribadi) dapat dioptimalkan.
Keempat, memonitor dan mengevaluasi belanja perpajakan. Setiap perlemahan ekonomi memiliki sumber yang berbeda-beda sehingga membutuhkan relaksasi pajak yang berbeda pula. Dengan semakin tingginya kebutuhan fasilitas pajak, ada baiknya pemerintah mengurangi belanja pajak yang tidak menjadi prioritas saat ini (Lenjosek, 2004).
Kelima, mempertimbangkan jenis objek pajak baru, misalnya warisan (Darussalam, Kristiaji, dan Yustisia, 2019) atau pajak berbasis kekayaan lainnya. Ketika tekanan untuk menurunkan tarif pajak semakin besar, maka perumusan objek pajak baru dapat menjadi opsi (DDTC Fiscal Research, 2019). Penambahan objek pajak baru memang belum tentu serta merta memberikan dampak dalam waktu dekat, tetapi akan sangat berguna untuk jangka panjang.
Terlepas dari berbagai opsi di atas, perluasan basis pajak hendaknya tidak dilakukan semata-mata untuk pengumpulan penerimaan. Lebih penting lagi, langkah tersebut perlu dilakukan dalam perspektif menciptakan kontrak fiskal yang lebih baik, adil, dan berkesinambungan dengan masyarakat.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.