ANALISIS PAJAK

Meninjau Desain Pajak Nordic Countries, Wilayah Paling Bahagia Sedunia

Redaksi DDTCNews
Kamis, 29 Agustus 2024 | 15.21 WIB
ddtc-loaderMeninjau Desain Pajak Nordic Countries, Wilayah Paling Bahagia Sedunia
Manager of DDTC Consulting

APA yang umumnya orang ketahui tentang negara-negara Nordik (Nordic countries)? Ada beberapa aspek yang sering dikaitkan dengan Nordic countries. Misal, ‘juara bertahan’ negara-negara paling bahagia di dunia (world's happiest country) dalam World Happiness Report. Ada pula keindahan northern lights atau yang populer disebut aurora borealis.

Kemudian, kepuasaan masyarakat atas pelayanan publik dan kesejahteraan sosial. Lalu, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (tax ratio) yang lebih tinggi dibandingkan tax ratio rata-rata negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Bisa juga tentang tingginya biaya hidup, termasuk pajak.

Soal tingginya biaya hidup, boleh dibilang tidak salah. Finlandia, Denmark, Islandia, Swedia, Norwegia, atau negara di Kawasan Eropa Utara (Northern Europe) ini memang dikenal memiliki tarif pajak yang tinggi.

Finlandia misalnya, memiliki tarif progresif tertinggi untuk pajak penghasilan (PPh) orang pribadi sebesar 55%. Denmark mempunyai tarif PPh orang pribadi hingga 55.90%, baik melalui skema progresif maupun tambahan pungutan pajak lain. Adapun pungutan pajak lain itu seperti labour market contributions atau dikenal dengan sebutan AM-bidrag.

Belum lagi jika bicara soal PPN. Dengan tarif berkisar 25%, Nordic countries masuk ke dalam jajaran peringkat negara-negara dengan tarif PPN tertinggi di dunia.

Menariknya, dalam hasil riset bertajuk Tax and Wellbeing: The impact of taxation on economic wellbeing (The Australia Institute, 2020), tingginya pajak di Nordic countries berjalan beriringan dengan tingginya kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Riset tersebut memang tidak menyimpulkan adanya kausalitas langsung antara pajak dan kesejahteraan ekonomi. Namun, terdapat tren yang konsisten ketika membandingkan negara-negara di seluruh dunia. Trennya adalah negara-negara dengan tingkat perpajakan yang tinggi juga melaporkan tingkat kesejahteraan ekonomi tertinggi.

Tingkat kesejahteraan ekonomi dalam hal ini dikaji melalui dimensi tingkat pendapatan rata-rata, angka harapan hidup, human development index, inequality rate, hingga tingkat kebahagiaan.

Lantas, apa saja sebetulnya wawasan atau perspektif menarik yang dapat kita lihat dari desain perpajakan di Nordic countries? Setidaknya ada 3 aspek yang bisa dilihat. Pertama, beban pajak yang dikaitkan dengan kesejahteraan sosial. Kedua, kepastian hukum. Ketiga, kepatuhan kooperatif.

High Taxes, High Social Welfare

TAXES are what we pay for civilized society.” Sebuah kutipan terkenal dari mantan Hakim Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes Jr. tersebut memuat sebuah perspektif positif dari konsep pemungutan pajak.

Perspektif yang dimaksud adalah pajak memiliki peran dalam membiayai layanan publik serta meredistribusi kekayaan untuk pengurangan kesenjangan ekonomi sehingga setiap orang memiliki akses terhadap peluang dan kesejahteraan sosial.

Nordic countries mencoba untuk mengadopsi konsep ideal tersebut melalui pemberian akses gratis dan setara kepada seluruh lapisan masyarakat terhadap sendi-sendi layanan publik yang vital. Berbagai fasilitas atau layanan publik disediakan dengan pendanaan dari pajak yang dipungut dari masyarakat.

Beberapa fasilitas tersebut antara lain childcare atau parental fee, layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas gratis atau dengan subsidi yang tinggi, unemployment insurance hingga maksimum 30 bulan dengan nilai hampir 90% dari gaji sebelumnya (dengan maximum capped), serta tabungan pensiun.

Dengan demikian, ada manfaat langsung yang dirasakan oleh masyarakat di tengah tingginya pajak yang dibayarkan. Hal ini mendorong teori bahwa ketika nilai manfaat dari pajak dihitung, pajak di Nordic countries menjadi tidak terlalu tinggi.

Beban pajak tersebut bisa jadi tidak lebih tinggi, bahkan mungkin lebih rendah ketimbang di Amerika Serikat atau negara lain yang masyarakatnya harus membayar secara terpisah untuk dapat mengakses berbagai manfaat tersebut (Michael A. Livingston, 2016).

Kepastian Hukum

PRINSIP kepastian hukum merupakan aspek mendasar dalam pemungutan pajak. Tentu kita ingat gagasan yang dikemukakan Adam Smith bahwa kepastian hukum dalam pajak merupakan bagian dari individual liberty atau hak asasi manusia.

Hak yang dimaksud mencakup hak untuk mendapatkan kepastian proses administrasi pajak, termasuk waktu, cara, dan jumlah pembayaran pajak (Adam Smith, 2010).

Adapun salah satu prosedur yang umum berlaku di Nordic countries—atau secara luas diterapkan di negara-negara Uni Eropa – untuk memberikan kepastian hukum adalah adanya advance ruling yang diterbitkan oleh otoritas pajak.

Melalui advance ruling, wajib pajak dapat memperoleh kepastian tentang implementasi suatu ketentuan perpajakan sebelum melakukan transaksi atau setelah transaksi dilakukan tetapi belum dilakukan pemeriksaan. Hal ini dapat meminimalisasi potensi sengketa antara wajib pajak dan otoritas pajak.

Penerapan binding effect atas advance ruling dapat berbeda karena tergantung materi yang diajukan. Namun, secara umum, advance ruling akan mengikat pajak otoritas pajak tersebut. Keterikatan berlaku selama periode berlakunya advance ruling dan sepanjang tidak terdapat perubahan atas fakta-fakta yang menjadi dasar penetapan tersebut tidak berubah.

Di Finlandia dan Swedia, binding effect atas advance ruling bukan hanya mengikat bagi otoritas pajak, melainkan juga mengikat secara hukum hingga tingkat pengadilan pajak dengan tunduk pada ketentuan teknis tertentu (Carlo Romano, 2002).

Kepastian hukum hingga tingkat pengadilan atau dalam proses penegakan hukum makin diperkuat dengan konsep putusan yang mempertimbangkan preseden atau putusan pengadilan yang telah terbit sebelumnya.

Di Swedia misalnya, meskipun prinsip yurisprudensi atau stare decisis tidak secara formal diadopsi, Mahkamah Agung (Supreme Administrative Court) memegang prinsip bahwa preseden seharusnya dipertahankan.

Sebab, Mahkamah Agung bertugas untuk memastikan penerapan hukum yang seragam dan berkepastian hukum. Dengan demikian, dalam hal Mahkamah Agung mempertimbangkan untuk menolak preseden maka sidang harus dilakukan dengan pengadilan penuh (en banc) (Roger Persson Österman, 2024).

Kepatuhan Kooperatif

MASIH dengan objektif untuk menjamin kepastian hukum dalam pajak, konsep kepatuhan kooperatif telah lama diadopsi dalam desain hubungan antara wajib pajak dan otoritas pajak di Nordic countries. Beberapa instrumen kunci konsep kepatuhan kooperatif terefleksi dalam program-program yang didesain oleh otoritas pajak.

Di Denmark misalnya, sejak 2008, otoritas pajak telah menerapkan program kepatuhan kooperatif. Program ini khususnya untuk segmen wajib pajak korporasi besar dengan berbasis voluntary.

Wajib pajak korporasi besar yang ikut serta dalam program program kepatuhan kooperatif di Denmark akan melakukan penilaian risiko pajak dan mendokumentasikan pengendalian internal mereka. Kemudian, ada penilaian dan pemantauan oleh otoritas pajak (FairTax Working Paper, 2018).

Mendahului Denmark, konsep kepatuhan kooperatif yang diterapkan lewat kolaborasi dengan wajib pajak korporasi besar sudah dilakukan sejak 1992 oleh Norwegia. Hal ini dikenal dengan Central Tax Office for Large Enterprises (LTO). Melalui LTO, ada penerapan instrumen seperti analisis risiko, one point of contact, serta dialog yang transparan antara wajib pajak dan otoritas pajak.

Meskipun belum sempurna, beberapa piloting project atas desain hubungan kepatuhan kooperatif di atas paling tidak telah coba dibangun dengan berbasis pada objektif fundamental dari kepatuhan kooperatif.

Adapun objektif fundamental dari kepatuhan kooperatif yang dimaksud adalah untuk menciptakan situasi yang saling menguntungkan antara wajib pajak dan otoritas pajak melalui peningkatan pertukaran informasi di antara keduanya (Katarzyna Bronżewska, 2016).

Tentu saja membandingkan desain pajak Indonesia dengan Nordic countries bukanlah pendekatan yang tepat mengingat adanya variabel multidimensi yang perlu dipertimbangkan.

Namun, ketiga aspek di atas patut dipertimbangkan sebagai catatan untuk refleksi desain pajak di Indonesia. Pajak dan perannya dalam menciptakan kesejahteraan sosial, tuntutan kepastian hukum dalam pajak, serta desain bentuk hubungan antara wajib pajak dan otoritas pajak, merupakan hal-hal yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia dalam konteks reformasi pajak yang berkelanjutan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.