RISIKO transfer pricing merupakan bagian integral dari fungsi perpajakan suatu Perusahaan. Risiko transfer pricing memerlukan manajemen dan pengendalian yang cermat.
Proyek Anti-BEPS Aksi 9 menekankan pentingnya mengidentifikasi risiko; membagi alokasi risiko, peran yang dijalankan, atau tanggung jawab setiap entitas dalam grup perusahaan multinasional; serta memastikan kesesuaian tingkat pengembalian atau imbal hasil yang berhak diterima dari masing-masing pihak afiliasi.
Dengan revisi terbaru ketentuan terkait dengan risiko dalam Proyek Anti-BEPS Aksi 9, wajib pajak akan membutuhkan analisis dengan lebih mendetail dan komprehensif. Untuk efektivitas pengelolaan, wajib pajak perlu mendokumentasikan segala bentuk manajemen risiko transfer pricing dalam transfer pricing control framework (TPCF).
Implementasi TPCF dalam rangka mengidentifikasi risiko transfer pricing dapat dilakukan dengan sejumlah cara. Pertama, melakukan analisis fungsional untuk mengidentifikasi fungsi, aset, dan risiko kunci dari pihak-pihak terkait yang terlibat dalam transaksi.
Kedua, melakukan analisis risiko sebagai bagian integral dari analisis fungsional menggunakan kerangka analitis enam langkah (lihat laporan BEPS Action 8-10).
Ketiga, mempertimbangkan bukti dari semua karakteristik ekonomi yang relevan (economically relevant characteristics) dari transaksi untuk menentukan transaksi dan risiko secara akurat (accurately delineate).
Adapun mitigasi risiko transfer pricing dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, mengembangkan kebijakan transfer pricing yang sejalan dengan kebijakan pajak internal Perusahaan serta diterapkan dalam proses dan pengendalian transfer pricing.
Kedua, membangun kerangka transfer pricing yang kuat yang memungkinkan para pemangku kepentingan lintas divisi dapat memahaminya secara komprehensif dengan ketersediaan berbagai informasi yang mudah diakses. Pasalnya, kebijakan transfer pricing tersebar tidak hanya tersentralisasi pada divisi pajak perusahaan.
Ketiga, menerapkan alat dan proses yang memungkinkan kerja sama lintas fungsi untuk merespons perubahan ketentuan pajak domestik maupun internasional.
Pada akhirnya, dengan operasionalisasi TPCF yang efektif, perusahaan akan mendapatkan sejumlah manfaat. Pertama, memenuhi persyaratan pelaporan dokumentasi transfer pricing dengan cara yang lebih tepat waktu dan optimal.
Kedua, mengurangi beban kerja departemen/fungsi pajak perusahaan dalam melakuan perhitungan dan dukungan yang diperlukan selama kontrol pajak. Ketiga, menetapkan harga transfer yang lebih tepat pada tingkat transaksional sehingga mengurangi risiko pajak.
Keempat, mendukung komunikasi dengan otoritas pajak di tingkat mana pun sehingga diharapkan mengurangi risiko pemeriksaan pajak dan mengurangi sumber daya (waktu dan biaya) dalam menghadapi pemeriksaan pajak.
Kelima, meningkatkan efisiensi dalam pengendalian internal dan koordinasi antardepartemen. Keenam, menstandardisasi proses pengumpulan data dan perhitungan harga transfer. Ketujuh, melakukan analisis skenario transfer pricing yang efisien.
Memang, saat ini belum banyak yurisdiksi di berbagai negara yang memiliki kebijakan khusus terkait dengan peninjauan atas ketersediaan TPCF yang dimiliki suatu perusahaan. Namun, dengan melihat perkembangan dari adanya program kepatuhan kooperatif yang dimiliki otoritas pajak di beberapa yurisdiksi, TPCF sebagai bagian integral dari TCF menjadi sangat penting untuk didokumentasikan oleh perusahaan ke depannya.
Pasalnya, ketersediaan dari TCF merupakan syarat utama di beberapa yurisdiksi yang memiliki program kepatuhan kooperatif tersebut. Selain itu, tanpa adanya program kepatuhan kooperatif pun, TPCF yang terdokumentasi memiliki banyak manfaat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Salah satu manfaat yang bisa dikatakan sangat krusial adalah perusahaan dapat membangun kepercayaan dari otoritas pajak atas skema dan posisi penetapan harga yang dimilikinya bukanlah untuk tujuan manipulasi transfer pricing semata.
Lebih jauh, biaya kepatuhan wajib pajak diharapkan dapat menurun. Aspek ini bisa dilihat dari sisi berkurangnya audit oleh otoritas pajak terhadap wajib pajak yang memiliki dokumentasi TPCF yang robust dan soundness.
Terkait dengan TPCF, Anda juga dapat pendalaman lebih lanjut pada webinar yang diselenggarakan DDTC Academy berjudul TP Control Framework: Konsep dan Implementasinya.
Anda akan memahami bagaimana konsep TPCF hingga cara penerapannya untuk bisnis atau perusahaan Anda. Yuk, daftar sekarang sebelum kuota peserta habis! Klik tautan berikut untuk mendaftar https://academy.ddtc.co.id/free_event.
Materi ini dibawakan oleh Manager of DDTC Consulting Riyhan Juli Asyir. Riyhan merupakan profesional DDTC yang telah mengantongi berbagai sertifikat serta lisensi domestik dan internasional, di antaranya Advanced Diploma in International Taxation (ADIT) dari Chartered Institute of Taxation (CIOT), Inggris. Riyhan juga telah berizin konsultan pajak.
Tak cuma itu, master thesis yang diperolehnya dari WU, Vienna, juga diterbitkan dalam buku Series on International Tax Law Volume 131 berjudul Justice, Equality, and Tax Law. Riyhan berkontribusi dengan tulisannya bertajuk Improving Justice and Equality through Improved Audit Procedures – The Case of Joint Tax Audits. (sap)