ANALISIS PAJAK

Mengadopsi Pajak Pelindung Cashback?

DDTC Consulting
Senin, 30 September 2019 | 14.55 WIB
ddtc-loaderMengadopsi Pajak Pelindung Cashback?

BAGI generasi saat ini, bertransaksi secara online merupakan cara berbelanja yang praktis, ringkas, dan menyenangkan. Hal itu didukung oleh fasilitas tambahan yang sering diberikan oleh perusahaan e-commerce untuk memanjakan pembelinya. Salah satu fasilitas tersebut adalah cashback.

Chad, et al, (2014) mendefinisikan cashback sebagai bentuk pengembalian dari penjual atas sebagian nominal transaksi yang dilakukan pembeli. Saat ini, cashback merupakan strategi pemasaran yang banyak digunakan oleh perusahaan e-commerce demi meningkatkan volume penjualan.

Jika dilihat sekilas, definisi dan tujuan tersebut menjadikan cashback mirip dengan diskon. Jika demikian, mengapa muncul istilah cashback dan mengapa tidak menggunakan istilah diskon? Untuk mengetahui perbedaan dari kedua hal tersebut, perlu kita ketahui terlebih dahulu definisi dari diskon.

Berdasarkan Kotler (2003), diskon merupakan bentuk penghematan yang ditawarkan pada konsumen dari harga normal suatu produk, yang tertera di label atau kemasan produk tersebut. Penghematan ini berupa pemotongan atas harga jual produk yang ditawarkan kepada pembeli.

Berdasarkan kedua definisi tersebut, terlihat perbedaan antara cashback dan diskon dari sisi timing manfaat yang diterima pembeli. Jika manfaat diskon diterima di awal transaksi melalui pengurangan harga produk, manfaat cashback diterima di akhir transaksi setelah transaksi selesai dilakukan.

Timing manfaat ini terlihat dari alur transaksi. Pada diskon, alur transaksi terjadi dalam dua alur, yakni pembeli menerima barang dari penjual dan penjual menerima pembayaran dari pembeli. Dalam pembayaran itu, penjual sudah melakukan pemotongan harga atas produk yang dijual.

Sementara itu, pada cashback, alur transaksi terjadi dalam tiga alur, yakni pembeli menerima barang dari penjual dan penjual menerima pembayaran dari pembeli. Sebagai tambahan, pembeli menerima uang dari penjual, baik dalam bentuk fisik maupun elektronik, setelah transaksi selesai dilakukan.

Kemudian, apakah uang yang diterima pembeli itu dapat dikategorikan sebagai penghasilan? Seligman (1914) mendefinisikan penghasilan sebagai aliran kekayaan bersih dan tersedia untuk dapat dikonsumsi secara pribadi. Jika mengacu definisi tersebut, cashback jelas dapat dianggap penghasilan.

Skema Penipuan Cashback
PADA 2018, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri melakukan penangkapan atas aktivitas penipuan melalui penggunaan fasilitas cashback. Perusahaan yang jadi korban antara lain Tokopedia dan Bukalapak. Skema penipuan dilakukan melalui kerja sama antara penjual dan pembeli produk.

Pembeli melakukan pembelian fiktif dengan mengikuti syarat agar mendapatkan cashback. Padahal, produk tidak pernah benar-benar terjual dan uang yang ditransaksikan pun dikembalikan penjual kepada pembeli. Melalui skema tersebut, pembeli akan menerima cashback sebesar yang ditentukan, umumnya berdasarkan persentase dari nilai harga jual produk.

Skema ini dapat terus dilakukan hingga akhirnya program cashback berakhir atau pihak e-commerce mengetahui skema ini. Dengan demikian, selama program cashback terus ada dan pihak e-commerce tidak mengetahui hal ini, skema penipuan dapat terus berlanjut tanpa ada batas waktu.

Skema penipuan tersebut tentu tidak akan terjadi jika fasilitas yang disediakan oleh penjual tersebut merupakan diskon atau potongan harga produk. Hal iIni semakin memperkuat definisi cashback sebagai suatu penghasilan yang diberikan penjual kepada pembeli.

Pajak sebagai Pelindung
JIKA risiko kecurangan dapat muncul dari fasilitas cashback, apa yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi hal tersebut? Merujuk pada pengertian cashback yang dapat dikategorikan sebagai penghasilan, pengenaan pajak atas fasilitas tersebut dapat menjadi salah satu cara mengantisipasi penipuan yang mungkin terjadi.

India merupakan salah satu negara yang menerapkan pajak atas cashback. Otoritas pajak India melakukan penerapan melalui pengenaan pajak atas hadiah atau gift tax. Pengenaan pajak dilakukan untuk nilai cashback yang melebihi Rs50.000 dalam satu tahun. Penerapan ini mengharuskan penyedia cashback melaporkan pihak-pihak yang menerima cashback dan penerima cashback diwajibkan melaporkan penghasilan cashback tersebut.

Jika kita mengadopsi pendekatan yang dilakukan India, cashback sebaiknya hanya diberikan kepada pembeli yang memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Melalui syarat tersebut, skema penipuan yang mungkin terjadi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dihindari melalui penyampaian jumlah penghasilan yang jelas.

Persyaratan ini mengharuskan wajib pajak melakukan rekapitulasi atas penghasilan cashback yang didapatnya setiap tahun, serta melampirkan bukti potong yang diterimanya dari perusahaan penyedia fasilitas cashback dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Selain itu, dengan wajibnya memiliki NPWP untuk dapat menikmati fasilitas cashback, sedikit banyak dapat meningkatkan penerimaan pajak yang disebabkan meluasnya basis pembayar pajak (Wahyu, 2007). Setelah ini, mungkin sekarang saat yang tepat memeriksa saldo cashback kita masing-masing. (Admar Jamal Junior)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.