PADA tanggal 17 Mei 2018 ini, United Nations (UN) merilis pembaruan dari model P3B yang disebut dengan UN Model 2017. Pembaruan ini mengandung beberapa modifikasi dan tambahan, khususnya sehubungan dengan rekomendasi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam menangkal praktik Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).
Salah satu ketentuan yang ditambahkan pada UN Model 2017 ini adalah Pasal 12A yang secara khusus ‘menangani’ aspek pemajakan atas pembayaran dari jasa teknis atau disebut pula dengan pasal mengenai “Fees for Technical Services”(Carvalho, 2018). Menurut Arnold (2017), penambahan Pasal 12A dalam UN Model 2017 merupakan perubahan yang ‘dramatis’ dalam pengalokasian hak pemajakan antara negara domisili dengan negara sumber sehubungan dengan penghasilan atas jasa teknis.
Sebelum diterbitkannya UN Model 2017, pemajakan atas pembayaran jasa teknis termasuk dalam cakupan Pasal 7 mengenai Laba Usaha atau Pasal 14 mengenai Penghasilan dari Pekerjaan Bebas. Pasal 7 diberlakukan apabila penerima penghasilan dari jasa teknis adalah badan, sedangkan Pasal 14 digunakan ketika penerima penghasilan atas jasa tersebut adalah orang pribadi.
Sesuai dengan rumusan Pasal 7 UN Model, hak pemajakan atas pembayaran dari jasa teknis hanya akan diberikan kepada negara domisili dari perusahaan penyedia jasa, kecuali perusahaan penyedia jasa menjalankan usahanya di negara sumber melalui suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT). Dalam kasus ini, negara sumber juga diberikan hak pemajakan atas penghasilan jasa yang diterima oleh perusahaan tersebut. Sama halnya dengan Pasal 7, Pasal 14 UN Model juga menetapkan bahwa pemajakan di negara sumber bergantung pada ada atau tidaknya suatu tempat tetap yang dimiliki oleh individu penerima penghasilan di negara sumber.
Ketentuan dalam Pasal 7 dan Pasal 14 UN Model menyiratkan bahwa hak pemajakan di negara sumber ditentukan dengan suatu ambang batas (minimum treshold) berupa keberadaan BUT atau suatu tempat tetap. Dengan kata lain, tanpa adanya BUT atau tempat tetap di negara sumber, penghasilan yang diterima oleh perusahaan atau individu dari pemberian jasa teknis, tidak akan dapat dikenai pajak di negara sumber.
Adanya batasan tersebut dinilai dapat menciptakan peluang bagi wajib pajak penyedia jasa untuk ‘menghindari’ pemajakan di negara sumber. Salah satunya dengan mencegah terbentuknya BUT atau tempat tetap di negara sumber. Akibatnya, negara sumber akan kehilangan basis pemajakan atas pembayaran jasa teknis tersebut.
Melihat kondisi ini serta ditambah dengan fakta semakin berkembangnya jasa lintas batas menyedot perhatian kalangan internasional mengenai bagaimana seharusnya ketentuan pemajakan atas pembayaran jasa teknis sehingga dapat menutup celah terjadinya penghindaran pajak yang merugikan negara sumber (T. Liao, 2013). Saat itu, UN yang diwakili oleh komite ahlinya, ‘bergerak’ di baris terdepan dalam menyusun rancangan pemajakan atas penghasilan dari jasa lintas batas, khususnya mengenai jasa teknis. Menggandeng Profesor Arnold sebagai konsultannya, komite UN kemudian membentuk sub-komite yang secara khusus menangani isu ini yang disebut dengan “services project” (Moreno, 2015).
Pada tahun 2013, “services project” yang dibentuk UN Model mengusulkan suatu draf terkait pemajakan atas jasa lintas batas. Draf tersebut merekomendasikan agar ketentuan pemajakan atas pembayaran jasa teknis diatur secara khusus dan terpisah. Tidak hanya itu, dari tiga usulan yang diberikan Profesor Arnold, komite UN memutuskan untuk memilih opsi yang paling “ambisius” terkait pemajakan atas pembayaran jasa teknis sebagai berikut (UN Committee, 2013).
“source country would be allowed to tax any payments to residents of the other contracting state for technicalservices on a gross basis (at a rate to be determined between contracting states), irrespective of whether the services had been physically rendered inside or outside the source country and without any threshold.”
(dengan penambahan penekanan)
Berdasarkan opsi yang dipilih komite UN, berikut tiga poin penting terkait hak pemajakan negara sumber atas pembayaran jasa teknis yang terjadi secara lintas batas. Pertama, negara sumber dapat mengenakan pajak atas segala pembayaran terkait dengan jasa teknis yang diterima oleh subjek pajak dalam negeri dari negara domisili.
Kedua, besarnya pajak yang dikenakan di negara sumber dihitung berdasarkan gross basis dikalikan dengan tarif yang ditentukan antara negara-negara yang bertransaksi melalui Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Ketiga, hak pemajakan negara sumber tidak memperhatikan apakah jasa teknis tersebut dikerjakan secara fisik di dalam atau di luar negara sumber dan tidak dibatasi oleh apapun.
Opsi yang dipilih komite UN inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Pasal 12A dalam UN Model 2107 yang berlaku saat ini. Berikut rumusan Pasal 12A ayat (1) dan ayat (2) yang merefleksikan keputusan komite UN di atas.
“(1) Fees for technical services arising in a Contracting State and paid to a resident of the other Contracting Statemay be taxed in that other State.
(2) However, notwithstanding the provisions of Article 14 and subject to the provisions of Articles 8, 16 and 17, fees for technical services arising in a Contracting State may also be taxed in the Contracting State in which they arise and according to the laws of that State, but if the beneficial owner of the fees is a resident of the other Contracting State, the tax so charged shall not exceed ___ percent of the gross amount of the fees [the percentage to be established through bilateral negotiations].
(dengan penambahan penekanan)
Selain mengatur alokasi hak pemajakan, Pasal 12A UN Model 2017 juga menjelaskan bahwa cakupan “fees fortechnical services” meliputi setiap pembayaran sehubungan dengan jasa manajemen, teknik, dan konsultasi, kecuali pembayaran dilakukan kepada karyawan, untuk pengajar di institusi pendidikan, atau kepada individu untuk kepentingan pribadi. Namun, dalam Commentary UN Model 2017 atas Pasal 12A dijelaskan lebih lanjut bahwa definisi jasa teknismemiliki cakupan yang luas dan tidak dapat didefinisikan dengan mengacu pada ketentuan domestik. Alasannya, definisi berdasarkan ketentuan domestik dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakpastian. Selain itu, perubahan ketentuan domestik dapat mempengaruhi ketentuan P3B. Oleh karenanya, dalam UN Model, referensi yang mengacu pada ketentuan domestik harus dihindari.
Terlepas dari isu mengenai definisi jasa teknis di atas, diberikannya hak pemajakan atas pembayaran jasa teknis kepada negara sumber tanpa adanya minimum threshold berupa BUT atau tempat tetap, menjadi salah satu bentuk pemecahan masalah atas adanya base erosion di negara sumber. Selain itu, dengan dirilisnya Pasal 12A UN Model 2017 dinilai dapat menjadi solusi yang “fair” untuk mengalokasikan hak pemajakan kepada negara sumber tanpa harus membutuhkan kehadiran fisik bagi penyedia jasa untuk memajaki penghasilan jasa tersebut (Comitee of Expert on International Cooperation in Tax Matter, Fifteen Session, 2017).
Alasan di atas sekaligus merespon rekomendasi Aksi 1 BEPS dalam menangkal terjadinya penggerusan basis pajak mengingat maraknya kehadiran jasa elektronik dan digital yang tidak memerlukan kehadiran fisik dalam pengerjaannya.