DDTCNEWS TAX COMPETITION 2019

Rangkul Start Up Teknologi untuk Reformasi Perpajakan

Redaksi DDTCNews
Selasa, 17 September 2019 | 11.55 WIB
ddtc-loaderRangkul Start Up Teknologi untuk Reformasi Perpajakan
Ade Chintia Octaviani & Putri Nurul Fadhillah,
Universitas Trisakti

REFORMASI perpajakan merupakan perubahan sistem perpajakan secara signifikan dan komprehensif yang mencakup pembenahan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi perpajakan, dan peningkatan basis pajak. Reformasi perpajakan telah berlangsung lebih dari 36 tahun dan menghasilkan banyak perubahan dalam sistem perpajakan.

Namun, langkah tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat atas layanan yang dapat dipercaya, cepat, efektif, dan efisien. Mulai 2017, Ditjen Pajak (DJP) melakukan reformasi perpajakan jilid III yang dicanangkan akan berlangsung hingga 2020. Salah satu wujud reformasi ini adalah pembenahan sistem informasi dan basis data yang kredibel melalui digitalisasi.

Digitalisasi tersebut bagaikan dua sisi mata pisau. Sisi yang tajam menggambarkan pemanfaatan digitalisasi sehingga memberikan banyak keuntungan dan efek positif. Sementara, sisi yang tumpul menggambarkan tidak digunakannya digitalisasi secara optimal sehingga menyebabkan ketertinggalan dan menjadi penghalang untuk bergerak maju.

Dalam sebuah seminar bertajuk 'Taxation on Digital Economy', Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan pesatnya perkembangan digitalisasi tidak bisa dilepaskan dari tantangan untuk DJP. Tantangan itu salah satunya terkait dengan administrasi pajak yang seharusnya mampu menjangkau aktivitas ekonomi digital. Sistem administrasi yang mumpuni akan menguntungkan semua pihak.

Dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, sistem teknologi informasi perpajakan di Indonesia dapat dikatakan sudah ketinggalan zaman. Hal ini yang mendorong otoritas melakukan pembaruan Core Tax System.

Pembaruan Core Tax System dirancang untuk mendigitalisasi interaksi dengan wajib pajak. Nantinya, sistem ini akan memungkinkan DJP menjadikan marketplace sebagai kanal pembayaran pajak, seperti yang telah dilakukan untuk pajak daerah di beberapa wilayah.

Core Tax System dianggarkan senilai Rp 2,04 triliun. Proses pengadaan Core Tax System sedang berjalan tahun ini dan diperkirakan akan dikembangkan dan diterapkan pada 2023. Dengan demikian, sistem ini diharapkan sudah siap dimanfaatkan pada 2024.

Proyeksi anggaran belanja tersebut dibagi kedalam empat paket pekerjaan yaitu pengadaan agen pengadaan (procurement agent), pengadaan sistem integrator, pengadaan jasa konsultasi (owners agent-project management and quality assurance), dan pengadaan jasa konsultasi (owners agent change-change management).

Otoritas menilai pembaharuan tersebut merupakan proyek tahun jamak hingga 2024 yang bersifat kompleks dan bernilai besar. Adanya pembaharuan Core Tax System diharapkan mampu mengantisipasi perubahan rekayasa keuangan dan bisnis juga teknologi informasi dengan kecerdasan buatan (artificial intellegence).

Kemudahan

BARU-baru ini, melalui Surat Keputusan Dirjen Perbendaharaan No. 170/2019 dan No. 179/2019, pemerintah menunjuk Tokopedia dan Bukalapak sebagai lembaga persepsi lainnya yang melaksanakan sistem penerimaan negara secara elektronik. Tokopedia telah merilis fitur pembayaran lebih dari 900 jenis penerimaan negara, seperti PPh 21, PPh 22, PPh 23, PPh 25, PPh 26, PPh 29, PPh Final, dan lainnya.

Lewat Tokopedia, masyarakat cukup mendapatkan kode bayar (billing) dari portal masing-masing institusi pengumpul pajak. Selain Tokopedia, Bukalapak juga telah menjadi salah satu start up unicorn yang menyediakan layanan pajak bea cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pertemuannya dengan Founder dan CEO Bukalapak Achmad Zaky di Kantor Kementerian Keuangan belum lama ini mengatakan sektor e-commerce dapat menjadi jembatan antara sektor industri dengan dunia pendidikan dalam melaksanakan riset yang lebih efektif dan tepat guna, sehingga hasilnya dapat langsung bermanfaat bagi masyarakat.

Wajib pajak juga mendapat kemudahan dalam menunaikan kewajiban, terutama dengan bantuan digitalisasi reformasi perpajakan. Diharapkan, semakin banyak lembaga persepsi lain yang dapat turut bekerja sama membantu pelaksanaan sistem penerimaan negara secara elektronik. Sehingga, keinginan agar proses pembayaran pajak dapat semudah membeli pulsa bisa terwujud.

Kemudahan ini diharapkan dapat mendorong partisipasi wajib pajak dalam membayar pajak. Selain itu, kemudahan juga mampu meningkatkan potensi perpajakan di era digitalisasi yang berdampak positif pada peningkatan perekonomian negara.

Pemajakan Transaksi E-Commerce

TINGGINYA minat masyarakat Indonesia dalam bisnis digital tentu memunculkan potensi pajak. Dengan demikian, pemerintah juga perlu mengatur regulasi perpajakan yang berkaitan dengan dunia digital. Sayangnya, pemerintah belum menetapkan ketentuan untuk transaksi bisnis digital (e-commerce).

Kementerian Keuangan melalui DJP telah menerbitkan Surat Edaran No. SE-62/PJ/2013 yang menegaskan ketentuan atas transaksi e-commerce. Namun, surat edaran ini hanya memuat informasi umum terkait sistem perpajakan e-commerce dan tidak mencakup tentang mekanisme pemungutan pajak e-commerce.

Mari lihat Australia dan Korea Selatan. Australia menetapkan pajak e-commerce terhadap semua transaksi yang bernilai diatas AUD10.000 sebesar 10% dari total nilai transaksi. Australia juga mewajibkan seluruh perusahaan e-commerce dengan pendapatan di atas AUD75.000 untuk mendaftarkan ke Kantor Pajak Ausralia serta wajib memungut pajak atas konsumsi sesuai aturan perpajakan yang berlaku di Negeri Kanguru.

Berbeda dengan Korea Selatan, negara ini mewajibkan seluruh perusahaan e-commerce melakukan registrasi PPN ke dalam sistem pelayanan elektronik perpajakan, berapapun nilai transaksinya. Hal ini juga berlaku bagi perusahaan yang tidak memiliki perwakilan bisnis di negara tersebut, termasuk apabila barang yang dijual tidak memiliki wujud fisik.

Mengacu pada kebijakan di dua negara itu, diperlukan ketegasan dalam pemungutan pajak bagi e-commerce. Pertama, seperti Australia, setiap perusahaan e-commerce dengan pendapatan bruto di atas 1,8 Miliar wajib mendaftarkan diri ke KPP.

Untuk wajib pajak orang pribadi, pemerintah dapat mengenakan pajak apabila nilai transakasi lebih dari Rp54 juta. Kedua, Indonesia dapat membuat sistem perpajakan elektronik yang mewajibkan seluruh pelaku ekonomi digital untuk melakukan registrasi sebelum memulai bisnis digital mereka, seperti yang dilakukan Korea Selatan.

Sebagai langkah awal, DJP harus bekerja sama dengan seluruh start up unicorn yang ada di Indonesia. DJP dapat merealisasikan sebuah program digital yang secara otomatis dapat menghitung omzet dari tiap-tiap pelaku bisnis digital.

Dalam konteks tersebut, DJP dapat melakukan uji coba pengenaan pajak terhadap pelaku bisnis digital tertentu, membuat regulasi lebih lanjut mengenai mekanisme pengenaan pajak bagi e-commerce serta meresmikannya, dan melakukan publikasi besar-besaran agar diketahui khalayak ramai. Selanjutnya, DJP dapat memaksa pelaku bisnis digital untuk memungut pajak atas barang dan jasa yang dijual.

Berbagai langkah tersebut diharapkan dapat mengobati ‘penyakit’ shortfall – selisih kurang antara realisasi dan target – penerimaan pajak yang telah terjadi lebih dari satu dekade. Dengan demikian, dengan penerimaan yang optimal, pemerintah dapat mewujudkan pembangunan Indonesia ke arah yang lebih maju. *

*Esai ini merupakan salah satu dari 12 esai terpilih yang lolos seleksi awal DDTCNews Tax Competition 2019 bertajuk ‘Tax Challenges in the Digital Era: It's Time for Youth to Speak Up!’.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.