LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2019

Quo Vadis Kebijakan Pemajakan Sektor Keuangan?

Redaksi DDTCNews | Selasa, 21 Januari 2020 | 17:01 WIB
Quo Vadis Kebijakan Pemajakan Sektor Keuangan?
Benny Gunawan Ardiansyah
Duren Sawit
, Jakarta Timur

BERDASARKAN Statistik Perbankan Indonesia, dana pihak ketiga (DPK) perbankan tumbuh rata-rata 8% per tahun sejak 2015. Namun, angka tersebut justru melambat dibandingkan dengan periode 2004-2014 dengan tingkat pertumbuhan dua digit, bahkan mencapai 20% pada 2010-2011.

DPK yang berkurang itu diakibatkan masyarakat mengalihkan simpanannya ke pasar uang atau ke lembaga keuangan nonbank. Data Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan selama 2014-2019 terdapat kenaikan investasi domestik dalam bentuk saham, obligasi dan reksadana.

Peningkatannya sangat signifikan hingga mencapai 100%, dari Rp1.436 triliun menjadi Rp2.859 triliun dalam kurun 5 tahun. Hal ini bisa dikatakan menunjukkan peningkatan literasi keuangan masyarakat, meski Indonesia sesungguhnya masih tertinggal dalam pendalaman keuangan (financial deepening).

Sri Mulyani Indarwati (2016) menyatakan pendalaman pasar keuangan sangat penting bagi Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di tengah kelesuan perekonomian global. Kedalaman pasar keuangan Indonesia relatif rendah, bahkan jika dibandingkan dengan negara utama ASEAN.

Ketika ukuran pasar finansial Singapura mencapai 200% dari produk domestik bruto (PDB), Malaysia, Thailand dan Filipina secara berurutan mencapai 100%, 90% dan 80%. Pasar keuangan Indonesia masih termasuk dangkal, hanya sekitar 50%.

Hadad dan Maftuchah (2015) menyimpulkan peran sektor keuangan di Indonesia sangat besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, meski hanya terdiri atas industri perbankan (41%), industri pasar modal (48%) dan industri keuangan nonbank sebesar 11%.

Indonesia harus mempercepat transformasi industri keuangan, khususnya industri keuangan non-bank, misalnya dengan kerja sama internasional. Tanda ketidaksiapan industri keuangan domestik dapat terlihat dari rendahnya repatriasi tax amnesty, yang hanya 15% dari target Rp1.000 triliun.

Capaian tax amnesty yang hanya 60% dari target seharusnya menjadi tonggak penentuan perbaikan sistem dan administrasi pajak, termasuk sektor keuangan. Sorotannya adalah belum berkembangnya pasar finansial, terutama bentuk yang tidak diperkenankan seperti trust (Hart and Schulze, 2016).

Netralitas & Kedaulatan Pajak
PEMAJAKAN sektor keuangan sangat terkait dengan perpajakan internasional dan setidaknya terdapat dua hal bertentangan, yaitu netralitas dan kedaulatan pajak (tax sovereignity). Akibatnya, persoalan yang sering muncul adalah tax discrimination, seperti diungkapkan Gruber (1996) dan Pato (2008).

Keduanya mengungkapkan pembedaan perlakuan pajak (tax discrimination) juga terjadi pada investment fund di kawasan yang lebih maju seperti Jerman. Karena itu, ada keharusan untuk merekomendasikan perlakuan pajak yang netral, dengan tujuan menciptakan level playing field yang setara.

Implikasi tax sovereignty juga mengakibatkan perlakuan perpajakan berbeda antarnegara, misalnya funds termasuk subjek pajak atau tidak; ada tidaknya pengenaan withholding tax; pembebasan pajak capital gain serta kemauan setiap negara mengadopsi OECD Common Reporting Standard.

Di Indonesia, perlakuan perpajakan atas transaksi sektor keuangan di Indonesia dikelompokkan menjadi dua. Pertama, pajak atas transaksi instrumen keuangan, seperti saham, obligasi, dan surat berharga lain yang diperdagangkan di pasar uang maupun pasar modal.

Kedua, pajak atas transaksi derivatif, derivasi instrumen keuangan pokok yang dinilai dari fluktuasi underlying asset. Pemajakan transaksi itu dikenakan pajak penghasilan (PPh) final dengan tarif yang variatif. PPh final ini memengaruhi keputusan investor karena berdampak pada return investasinya.

Selain itu, bagaimana perlakuan perpajakan di Indonesia juga akan memengaruhi keputusan investor, misalnya setiap ada Kontrak Investasi Kolektif (KIK/fund) harus dianggap sebagai entitas tersendiri dan diperlakukan sama sama seperti badan.

Sejauh ini, belum semua mendapat insentif tertentu seperti DIRE (Dana Investasi Real Estate). Industri reksadana pun mengalami stagnasi selama 5 tahun terakhir. Diperkirakan hanya ada 120 agen, termasuk manajer investasi dan bank kustodian, sangat jauh dibandingkan Thailand dengan 1.322 agen.

Meski pajak bukan merupakan satu-satunya faktor ketertinggalan, tetapi sekarang saatnya untuk mengusulkan perubahan dalam RUU Omnibus Law Perpajakan. Harmonisasi perlakuan perpajakan sektor keuangan dengan mendesaknya amendemen UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Sementara itu, negara lain telah bersiapi menghadapi pasar keuangan global yang kian terintegrasi. Singapura, Malaysia dan Thailand sudah lama menyepakati ASEAN Collective Investment Scheme, sehingga memiliki infrastruktur perpajakan yang fleksibel baik di tingkat investor maupun fund.

Usulan perubahan dalam RUU Omnibus Law Perpajakan berupa relaksasi penghapusan PPh atas dividen dari dalam negeri dan luar negeri kurang komprehensif, dan justru menyisakan ruang untuk terjadinya penggelapan pajak (tax evasion).

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

26 Januari 2020 | 22:28 WIB

penyajian artikel yang sangat menarik dengan mengangkat isu terkini mengenai perpajakan di Indonesia. Semoga bermanfaat bagi berbagai pihak untuk dapat melihat prospek sistem perpajakan di Indonesia dari sisi yang berbeda. Mantap Pak Benny.

25 Januari 2020 | 14:15 WIB

Sangat menarik untuk diulas. Dalam menganalisis suatu kebijakan, diperlukan data-data konkret, baik data-data terkait kebijakan masa lalu mupun data dari negara lain sebagai pembanding untuk membuat kebijakan yang lebih terukur dan realistis. Apalagi terkait sektor perpajakan, yang terus bergerak secara dinamis menyesuaikan kondisi perekonomian, baik dalam negeri maupun global. Pemerhati ekonomi perlu melihat dampak-dampak lain dari suatu kebijakan, tidak hanya terkait tercapainya tujuan dari terbitnya kebijakan tersebut. Hal ini penting, mengingat implementasi dari suatu kebijakan bisa memengaruhi sektor-sektor lainnya dan bisa juga memengaruhi perilaku-perilaku dari masyarakat itu sendiri. Sehingga diperlukan pengawasan yang optimal juga agar implementasi dari kebijakan tersebut dapat berjalan efektif. Data-data konkret yg ditampilkan secara gamblang dalam artikel ini sangat membantu pembaca dalam memahami perosalan yang terjadi. Terima kasih atas artikelnya Pak #MariBicara

24 Januari 2020 | 22:41 WIB

Artikel ini menarik dan sangat bermanfaat Pak. Terima kasih Pak.

23 Januari 2020 | 21:50 WIB

Artikel ini menarik, Pak

23 Januari 2020 | 19:15 WIB

Sangat bermanfaat Pak 🙂

22 Januari 2020 | 14:21 WIB

Mantap pak, lanjut terus

22 Januari 2020 | 14:16 WIB

good job Pak 😇

22 Januari 2020 | 12:44 WIB

ya

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 28 Februari 2024 | 08:57 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Ada Peralihan Kewenangan, Bappebti Minta Pajak Kripto Dievaluasi

Selasa, 19 Desember 2023 | 19:00 WIB PENERIMAAN PAJAK

Dinamisasi Tidak Berulang, Setoran Pajak dari Sektor Tambang Melambat

Senin, 11 September 2023 | 09:45 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Lomba Menulis Artikel Pajak dan Politik, DDTCNews Terima 214 Karya

BERITA PILIHAN