SELAMA terjadi resesi ekonomi, menjadi hal yang wajar jika kinerja penerimaan pajak menurun. Meski demikian, sudah menjadi banyak temuan juga bahwa pajak berbasis konsumsi biasanya paling sedikit terdampak (OECD, 2018).
Menyadari temuan ini, analis dan ekonom senior OECD Hannah Simmon dan Michelle Harding menyelidiki bagaimana hal tersebut dapat terjadi serta mencari tahu apakah tren tersebut dapat diandalkan di masa mendatang.
Dalam temuan yang dipublikasi dalam OECD Taxation Working Papers berjudul ‘What Drives Consumption Tax Revenues? Disentangling Policy and Macroeconomic Drivers’ tahun ini, mereka beranggapan bahwa bisa saja ‘kekebalan’ tersebut sudah menurun sehingga perlu kebijakan tertentu untuk mengembalikannya.
Mereka memulai dengan anggapan bahwa setiap negara OECD sudah mengandalkan pajak berbasis konsumsi, terutama pajak pertambahan nilai (PPN) pada saat terjadi guncangan ekonomi. Sebab, mereka menyadari bahwa dari suatu krisis ekonomi, tingkat konsumsi rumah tanggalah yang biasanya akan paling terakhir terdampak.
Maka dari itu, penting untuk dicari tahu kebenaran ini untuk jangka panjang, terutama jika krisis ekonomi kembali terjadi. Pertama-tama, penelitian dilakukan dengan melihat faktor apa saja yang membuat PPN tahan terhadap goncangan.
Dari analisis terhadap seluruh negara anggota OECD dari1995 hingga 2017, ada dua faktor utama yang memengaruhi kinerja PPN. Keduanya adalah perubahan tarif implisit (implicit tax rate/ITR) PPN dan rasio basis pajak PPN terhadap produk domestik bruto (PDB).
Analisis ini tentunya dilakukan dengan turut memperhitungkan perubahan kebijakan pajak yang diambil pemerintah terkait dalam konteks PPN.
Khusus pada masa krisis, tarif implisit PPN tersebut mengalami penurunan akibat perubahan pergeseran pola konsumsi masyarakat. Dapat diinterpretasikan bahwa hal ini karena konsumsi masyarakat menjadi lebih terfokus pada barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN. Dari sini, tentu terdapat dampak negatif terhadap kinerja PPN.
Kontra dengan dampak tersebut, ternyata proporsi basis PPN terhadap keseluruhan PDB tetap tumbuh positif. Dengan demikian, meski terdapat pergeseran pola konsumsi, tingkat permintaan terhadap barang dan jasa objek PPN tetap relatif stabil. Simmon dan Michelle menilai hal ini menjadi faktor utama kinerja PPN tetap relatif stabil dibanding jenis pajak lainnya.
Untuk melihat apakah pola ini dapat berlangsung jangka panjang, mereka juga melihat faktor lain yang cukup penting, yaitu efisiensi sistem PPN yang direpresentasikan dengan variabel VAT-Revenue Ratio (VRR).
Pascakrisis 2007-2009, mereka melihat bahwa meskipun kinerja PPN kembali membaik (bahkan melebihi kinerja sebelum terjadinya krisis), VRR juga membaik tapi dengan sangat lamban. Ditemukan bahwa perubahan pola konsumsi masyarakat yang tidak diikuti dengan perubahan kebijakan yang kontekstual menurunkan efisiensi kinerja PPN.
Beruntung VRR di negara anggota OECD masih dapat membaik karena adanya respons cepat dari pemerintah negara-negara tersebut untuk menyesuaikan tarif beserta objek PPN.
Selama distribusi beban PPN tidak menyesuaikan dengan pola konsumsi masyarakat yang baru, dikhawatirkan kinerja PPN akan memburuk. Oleh karena itu, disarankan dalam Working Paper tersebut agar pemerintah jeli dalam mengidentifikasi distribusi beban PPN, baik selama krisis maupun setelahnya.
Lebih jauh lagi, perluasan basis pajak PPN juga menjadi krusial. Ueda (2017) serta Sancak, Velloso, dan King (2020), seperti dikutip dalam penelitian tersebut, menyatakan terdapat korelasi negatif antara pertumbuhan produktivitas ekonomi dengan kepatuhan PPN.
Dengan adanya sektor tertentu yang relatif tidak terdampak dari krisis sehingga terus tumbuh positif, diperlukan adanya efektivitas administrasi yang menjamin termonitornya barang dan jasa tersebut dalam sistem PPN.
Working paper ini muncul pada waktu yang sangat tepat, terutama bagi negara-negara yang tengah menyesuaikan sistem pajaknya untuk menghadapi pandemi Covid-19. Di Indonesia sendiri, proporsi PPN dan PPnBM dalam penerimaan pajak mencapai lebih dari 40% selama tiga tahun terakhir. Oleh karena itu, menjadi hal yang mendesak bagi pemerintah untuk menjaga keandalan PPN selama masa krisis dan selanjutnya.*