Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Syarat pengajuan keberatan yang diatur dalam PMK 118/2024 relatif tidak mengalami perubahan dari ketentuan terdahulu. Sebelumnya, syarat pengajuan keberatan diatur dalam PMK 9/2013 s.t.d.d PMK 202/2015.
Perbedaan hanya terdapat pada ditambahkannya pengaturan seputar syarat pengajuan keberatan atas pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dikelola pemerintah pusat. Seperti halnya keberatan atas jenis pajak lain, wajib pajak dapat mengajukan keberatan PBB kepada direktur jenderal pajak.
“Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada dirjen pajak,” bunyi penggalan Pasal 9 ayat (1) PMK 118/2024, dikutip pada Jumat (17/1/2025).
Secara lebih terperinci, wajib pajak bisa mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) Kurang Bayar (SKPKB), SKPKB Tambahan (SKPKBT), SKP Nihil (SKPN), SKP Lebih Bayar (SKPLB), pemotongan pemungutan oleh pihak ketiga, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), dan SKP PBB.
Seperti ketentuan sebelumnya, wajib pajak hanya dapat mengajukan keberatan atas materi atau isi dari SKP yang meliputi jumlah rugi sesuai dengan ketentuan dan/atau jumlah besarnya pajak.
Selain itu, wajib pajak juga dapat mengajukan keberatan atas materi atau isi dari pemotongan atau pemungutan pajak.
Apabila terdapat alasan keberatan selain terkait dengan materi atau isi maka alasan tersebut tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan. Keberatan tersebut diajukan oleh wajib pajak dengan menyampaikan surat keberatan.
Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) PMK 118/2024, ada 6 syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan keberatan. Pertama, wajib pajak tidak mengajukan permohonan Pasal 36 UU KUP dan/atau Pasal 19 serta Pasal 20 UU PBB, atas SKP, SPPT, atau SKP PBB yang sama.
Permohonan Pasal 36 UU KUP berarti permohonan terkait dengan: (i) pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi; (ii) pengurangan atau pembatalan SKP yang tidak benar; (iii) pengurangan atau pembatalan STP yang tidak benar, serta (iv) penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP) dan pembahasan akhir hasil pemeriksaan (PAHP) dengan wajib pajak.
Sementara itu, permohonan Pasal 19 UU PBB berkaitan dengan pengurangan pajak yang terutang karena: (i) kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau sebab lainnya; serta (ii) apabila objek pajak terkena bencana alam. Kemudian, Pasal 20 UU PBB menyangkut permintaan pengurangan denda administrasi karena hal tertentu.
Kedua, keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, jumlah rugi, atau jumlah PBB yang terutang menurut penghitungan wajib pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
Ketiga, 1 keberatan diajukan hanya untuk 1 SKP, pemotongan pajak, pemungutan pajak, SPPT, atau SKP PBB. Keempat, apabila wajib pajak mengajukan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT maka wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar minimal sejumlah yang telah disetujui wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan (PAHP).
Kelima, keberatan diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal: (i) SKP dikirim; (ii) pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga; (iii) SPPT diterima; (iv) atau SKP PBB diterima.
Batas waktu pengajuan keberatan maksimal 3 bulan tersebut dikecualikan apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan wajib pajak (force majeure). Keenam, surat keberatan ditandatangani oleh wajib pajak, wakil, atau kuasa.
Apabila disandingkan dengan ketentuan PMK 9/2013 s.t.d.d PMK 202/2015, syarat-syarat tersebut masih sama. Perbedaannya lebih pada PMK 9/2013 s.t.d.d PMK 202/2015 belum mengatur syarat terkait dengan pengajuan keberatan atas PBB. (rig)