Ilustrasi. (extraclasses.co.za)
PEKAN lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi tahunan April yang melaju 4,17%. Capaian ini lebih tinggi dari posisi Maret 3,61%. Secara bulanan, laju inflasi April tercatat 0,09%, atau di atas capaian bulan sebelumnya yang minus (deflasi) 0,02%. Inflasi April ini juga sedikit di atas prediksi Bank Indonesia (BI) dan konsensus para ekonom.
Hanya berselang 3 hari, BPS kembali mengeluarkan pengumuman. Kali ini pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/ PDB) kuartal I 2017 yang tercatat 5,01%. Angka tersebut lebih tinggi dari capaian sama tahun sebelumnya 4,92%. Laju PDB kuartal I ini masih dalam kisaran prediksi BI dan konsensus para ekonom, dan hanya sedikit di bawah target keseluruhan tahun ini 5,2%.
Sebetulnya tidak ada yang terlalu mengejutkan dari dua pengumuman itu. Kenaikan tarif listrik, yang mengerek inflasi April hingga menjadi yang tertinggi dalam 12 bulan terakhir, toh sudah direncanakan dan diketahui khalayak sejak Desember. Begitu pula dengan prediksi mundurnya masa panen dari Maret ke April yang menahan tekanan inflasi tersebut.
Di sisi lain, laju PDB yang terakselerasi juga sudah diyakini menyusul membaiknya harga komoditas terutama tembaga dan batu bara sejak kuartal IV 2016. Perbaikan ini semakin menjanjikan karena pada awal Januari 2017, pemerintah sekonyong-konyong memperpanjang masa relaksasi ekspor mineral dan konsentrat yang seharusnya berakhir.
Sebetapapun tidak menyimpan kejutan, namun ada paling tidak tiga pesan penting dari dua pengumuman tersebut yang barangkali sedikit tersembunyi. Dalam konteks perbaikan pengelolaan ekonomi, pesan dari data BPS itu tentu penting dan perlu mendapatkan perhatian, terutama dari para pengambil kebijakan ekonomi.
Pesan penting itu adalah, pertama, dampak kenaikan tarif listrik untuk pelanggan 900 VA tahap III Mei ini. BPS mengungkapkan kenaikan tarif listrik tahap II Maret lalu telah memberikan andil inflasi April sebesar 0,20%. Beruntung, masa panen raya yang mundur dari biasanya Maret ke April memberikan andil deflasi 0,24%.
Namun, saat dampak kenaikan tarif listrik tahap III Mei terjadi Juni nanti, tekanan deflasi dari faktor panen raya praktis sudah tidak ada lagi. Sebaliknya, yang ada adalah dorongan inflasi akibat faktor puasa dan lebaran. Ingat apa yang terjadi ketika pemerintah nekat menaikkan harga BBM menjelang momen puasa tahun 2013.
Karena itu, opsi untuk menunda pelaksanaan kenaikan tarif listrik tahap III, atau juga mengurangi besaran kenaikan tarif listrik dengan menambah tahapan pelaksanaannya tahun ini, layak dikaji. Opsi ini juga relatif managable karena memang ia bukan jenis operasi yang masif laiknya operasi pasar beras.
Memang, opsi ini ada ongkosnya. Akan tetapi, membiarkan lonjakan inflasi noninti, dalam hal ini inflasi administered price akibat kenaikan tarif listrik dan lonjakan harga volatile food akibat faktor momentum puasa-lebaran di tengah belum pulihnya permintaan domestik, jelas makan ongkos dan risiko yang lebih besar.
Kedua, membesarnya tekanan permintaan domestik. Tren penurunan laju inflasi inti sepanjang Januari-April 2017 telah menunjukkan perlambatan apabila dibandingkan dengan capaian periode sama tahun lalu. Hal ini berarti, tekanan permintaan domestik pada 4 bulan pertama tahun ini secara relatif lebih besar ketimbang tahun lalu.
Membesarnya tekanan pada daya beli masyarakat itu dikonfirmasi oleh melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal I 2017. Konfirmasi yang lain juga datang dari laju pertumbuhan kredit yang justru berlawanan dengan laju pertumbuhan suku bunga acuan sekaligus suku bunga kredit sepanjang periode tersebut.
Pemerintah memang telah melakukan berbagai perbaikan, termasuk dari sisi fiskal yang posturnya kini sudah lebih ‘berpijak ke bumi’. Akan tetapi, membesarnya tekanan permintaan itu jelas merefleksikan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah secara umum, misalnya melalui paket-paket kebijakan ekonomi, sejauh ini tidak terlalu efektif.
Apabila situasi ini dibiarkan, dianggap business as usual, atau yang lebih parah, diingkari sedemikian rupa oleh para pengambil kebijakan atas nama pencitraan, maka hasilnya tidak lain adalah semakin lamanya waktu dan semakin banyaknya energi yang kita butuhkan untuk dapat membalikkan permintaan domestik yang terus tertekan dalam 2 tahun ini.
Ketiga, kinerja ekspor yang tak kunjung merefleksikan perbaikan struktural. Harus diakui kinclongnya kinerja ekspor sepanjang kuartal I 2017 praktis berangkat dari faktor kenaikan harga batu bara dan tembaga serta perpanjangan masa relaksasi ekspor konsentrat yang kontroversial, bukan dari perbaikan struktural.
Lagi-lagi, pemerintah juga sudah melakukan banyak hal. Namun, permasalahan yang agaknya sudah menjadi klasik ini tetap perlu diungkapkan, terutama karena dalam 10 tahun ini perbaikan struktural kinerja ekspor itu nyatanya bisa hadir di Filipina dan Vietnam. Absennya perbaikan struktural tentu membuat lompatan kinerja ekspor kita menjadi rawan terkoreksi.
Jangan lupakan bagaimana cemerlangnya ekspor kita saat commodity booming 2008 hingga membuat kita kebal dari krisis, tapi 3 tahun berikutnya saat era booming itu berakhir, perekonomian kita serta-merta tersandera oleh defisit neraca transaksi berjalan yang tak kunjung berakhir bahkan sampai sekarang.
Pesan ini menjadi kian relevan sebab boleh jadi siklus harga komoditas kini tengah merangkak menuju puncaknya. Kita tahu, seperti yang terjadi pada 2008, di puncak pencapaian, godaan untuk menikmati dan membusungkan dada akan selalu lebih besar ketimbang kesadaran untuk memperbaiki diri. Kita tentu tidak berharap akan kembali terperosok pada lubang yang sama.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.