Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Jawaban wajib pajak atas Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) akan diteliti pegawai KPP. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (18/2/2022).
Jawaban atau penjelasan dari wajib pajak atas SP2DK akan terlebih dahulu diteliti pegawai kantor pelayanan pajak (KPP) yang memiliki tugas pengawasan. Penelitian dilakukan sebelum penentuan simpulan dan rekomendasi tindak lanjut.
“Pegawai KPP yang memiliki tugas dan fungsi pengawasan/tim pengawasan perpajakan melakukan penelitian atas penjelasan yang diterima dari wajib pajak dengan berdasarkan pada pengetahuan, keahlian, dan sikap profesional," bunyi penggalan materi dalam SE-05/PJ/2022.
Penelitian dilakukan dengan cara membandingkan hasil penelitian kepatuhan material oleh Ditjen Pajak (DJP), penjelasan dari wajib pajak beserta bukti pendukungnya, dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilakukan wajib pajak.
Selain mengenai SP2DK, ada pula bahasan tentang agenda terkait dengan perpajakan pada Jalur Keuangan yang dibahas dalam Presidensi G-20 Indonesia. Kemudian, ada pula bahasan mengenai pajak karbon.
Untuk melakukan validasi penjelasan atas SP2DK, pegawai KPP dapat mengunjungi wajib pajak. Bila penelitian atas jawaban wajib pajak belum menghasilkan simpulan dan rekomendasi tindak lanjut, kepala KPP berwenang mengundang wajib pajak untuk melakukan pembahasan.
Terdapat beberapa simpulan dan tindak lanjut yang dapat dituangkan dalam Laporan Hasil Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (LHP2DK). Rekomendasi tindak lanjut akan ditentukan berdasarkan simpulan. Simak pula Fokus Kunjungan Dijalankan, ‘Surat Cinta’ Disampaikan. (DDTCNews)
KPP dapat menyimpulkan wajib pajak tidak memiliki indikasi ketidakpatuhan; wajib pajak tidak menyampaikan penjelasan atas SP2DK; wajib pajak menyampaikan penjelasan sesuai hasil penelitian dan mau melakukan pembetulan SPT; wajib pajak memiliki data yang tak sesuai dengan kondisi sebenarnya; hingga wajib pajak terindikasi melakukan tindak pidana.
Dari simpulan tersebut, rekomendasi tindak lanjut yang diambil bisa berupa penyelesaian kegiatan P2DK; pengusulan pengawasan atas penyampaian atau pembetulan SPT; pengusulan pemeriksaan; pengusulan penelitian kepatuhan material ulang; hingga pengusulan untuk pemeriksaan bukti permulaan.
Selanjutnya, LHP2DK harus diselesaikan oleh KPP paling lama 60 hari kalender sejak tanggal disampaikannya SP2DK. Berdasarkan pertimbangan kepala KPP, penyusunan LHP2DK dapat diperpanjang hingga 30 hari. (DDTCNews)
DJP menyatakan setidaknya ada 3 terkait dengan perpajakan internasional yang dibahas dalam Presidensi G-20 Indonesia. Pertama, mempercepat implementasi konsensus global mengenai solusi mengatasi tantangan pajak yang timbul dari digitalisasi ekonomi yang diinisiasi oleh OECD dan G-20.
Kedua, mengarahkan implementasi insentif pajak dan kebijakan pajak untuk negara berkembang dalam rangka pemulihan pascapandemi. Simak pula Fokus Selangkah Lagi Mencapai Konsensus Global Pajak Digital.
Ketiga, mengarahkan potensi kontribusi skema pajak karbon/ environmental tax. Baca pula ‘Simak, Ini Skema Pengenaan Pajak Karbon dalam UU HPP’. (DDTCNews)
Peneliti Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto mengatakan pemerintah telah merancang roadmap pengenaan pajak karbon yang dilakukan bertahap. Pada April tahun ini, pajak karbon mulai dikenakan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
“Setelah 2024, 2025 akan dimulai pungutan atas pajak karbon untuk sektor yang lain, misalnya sektor transportasi, bangunan, sektor berbasis lahan,” jelas Joko. (Bisnis Indonesia)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai munculnya Covid-19 varian Omicron telah meningkatkan ketidakpastian global pada saat ini. Semua negara harus bekerja sama untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi global walaupun prosesnya tidak merata dan tidak mudah.
"Varian Omicron berkontribusi menambah ketidakpastian global. Sama seperti varian Covid sebelumnya, dampak yang dirasakan setiap negara juga berbeda-beda," katanya dalam Opening of the 1st Finance Minister and Central Bank Governor Meeting. (DDTCNews)
Sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (1), pemotong/pemungut PPh yang sudah membuat bukti pot/put unifikasi dan menyampaikan SPT Masa PPh unifikasi berdasarkan PER-23/PJ/2020 harus mengikuti ketentuan PER-24/PJ/2021 mulai masa pajak Januari 2022.
Selain wajib pajak tersebut, pembuatan bukti pot/put unifikasi dan penyampaian SPT Masa PPh unifikasi dapat dilaksanakan mulai masa pajak Januari 2022 (bersifat opsional), tetapi harus dilaksanakan mulai masa pajak April 2022 (bersifat kewajiban).
“Pemotong/pemungut PPh yang telah membuat bukti pemotongan/pemungutan unifikasi … tidak dapat membuat bukti pemotongan/pemungutan dan/atau menyampaikan SPT Masa PPh selain yang diatur berdasarkan peraturan direktur jenderal ini untuk masa pajak selanjutnya,” bunyi penggalan Pasal 13 ayat (3) PER-24/PJ/2021. (DDTCNews) (kaw)