JENIS penghasilan royalti merupakan salah satu jenis penghasilan dalam P3B yang interpretasinya sering disengketakan. Adanya sengketa mengenai interpretasi royalti ini tentunya menimbulkan pertanyaan bagaimana pengenaan pajak atas pembayaran royalti yang terjadi secara lintas batas. Pasal 12 OECD Model dan UN Model mengatur aspek pajak internasional atas royalti.
Dalam OECD Model, hak pemajakan atas royalti diberikan sepenuhnya kepada negara domisili. Negara sumber tidak diperbolehkan untuk mengenakan pemotongan pajak atas royalti. Perlu diperhatikan, walaupun OECD Model memberikan hak pemajakan eksklusif kepada negara domisili untuk mengenakan pajak atas royalti, namun sebagian besar P3B di dunia tidak mengikuti pembagian hak pemajakan atas royalti sebagaimana diusulkan oleh OECD.
Catherine Bobbett dan John Avery Jones (2006) menyebutkan bahwa dalam praktiknya, sebagian besar P3B di dunia memperbolehkan negara sumber untuk mengenakan pajak atas penghasilan royalti dengan pembatasan persentase tertentu.
Ini sejalan dengan ketentuan pemajakan atas royalti yang diatur dalam Pasal 12 UN Model di mana negara sumber memiliki hak pemajakan terbatas atas penghasilan royalti. Dalam hal ini, besaran batasan persentasenya diserahkan kepada proses negosiasi antara negara-negara yang mengadakan P3B tersebut.
Pada saat ini, ‘royalti’ didefinisikan sebagai pembayaran untuk penggunaan aset tidak berwujud (intangible property). Definisi ini juga mencakup pembayaran atas penggunaan hak kekayaan intelektual (intelectual property).
Adapun untuk tujuan pajak internasional, Pasal 12 ayat (2) OECD Model mendefinisikan royalti dengan membedakannya menjadi dua, yaitu:
Definisi royalti dalam OECD Model dan UN Model dimaksudkan agar mempunyai pengertian (interpretasi) yang tersendiri (exhaustive). Dengan demikian, makna sehari-hari (ordinary meaning) ataupun pengertian menurut ketentuan domestik negara pihak P3B tidak dapat dijadikan sebagai acuan
Terkait dengan royalti yang diterima oleh Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang bertempat kedudukan di negara sumber penghasilan, Pasal 12 ayat (3) OECD Model telah mengatur perlakuannya secara khusus.
Berdasarkan pasal tersebut, royalti yang dibayarkan kepada penerima manfaat sebenarnya (beneficial owner) yang merupakan subjek pajak dalam negeri suatu negara (negara domisili) memiliki hubungan efektif (effectively connected) dengan BUT yang berada di negara sumber maka ketentuan hak pemajakannya tidak mengacu pada Pasal 12 ayat (1), melainkan pada Pasal 7 OECD Model.
Berbeda dengan Pasal 12 ayat (3) OECD Model, dalam Pasal 12 ayat (4) UN Model terdapat dua ketentuan khusus yang dapat berlaku atas royalti yang diterima oleh subjek pajak dalam negeri dari suatu negara yang memiliki BUT di negara sumber atau melakukan pekerjaan bebas melalui tempat tetap (fixed base) di negara sumber, yaitu ketentuan Pasal 7 dan Pasal 14.
Selain itu, dalam hal pembayaran royalti antara sesama perusahaan afiliasi, Pasal 12 ayat (4) OECD Model dan Pasal 12 ayat (6) UN Model sama-sama telah mengatur perlakuannya. Yaitu, atas pembayaran royalti kepada perusahaan afiliasi harus memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Terkait penentuan negara yang menjadi negara sumber dari penghasilan royalti, hanya Pasal 12 UN Model yang mengatur secara khusus melalui Pasal 12 ayat (5). Sedangkan dalam OECD Model tidak terdapat ketentuan yang mengatur mengenai hal ini.