Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) akan melibatkan institusi penegak hukum dalam proses pembaruan sistem inti perpajakan (core tax system). Langkah otoritas pajak ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Jumat (2/8/2019).
Direktur Transformasi Proses Bisnis DJP Hantriono Joko Susilo mengatakan institusi penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, hingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilibatkan untuk memastikan akuntabilitas pelaksanaan.
"Kami libatkan mereka karena untuk memastikan bahwa proses pengadaan sesuai dengan aturan yang ada," ujarnya.
Hantriono menjelaskan mekanisme proyek pengadaan core tax system disusun secara hati-hati. Proses pengadaan yang dibuka ke publik menjadi bagian dari transparansi. Skema penunjukkan langsung (yang ada dalam ketentuan) juga dilakukan melalui seleksi ketat.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti rencana pemerintah memangkas pajak bunga instrument obligasi yang berkaitan dengan infrastruktur. Kebijakan ini dijanjikan akan terbit dalam waktu dekat dan hanya berlaku terbatas hingga 2020.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Pemerintah mengalokasikan anggaran senilai Rp2,04 triliun untuk pengadaan core tax system. Anggaran ini bersifat multiyears dan digunakan sampai proyek pengadaan tersebut bisa optimal pada 2024.
Nilai anggaran tersebut, menurut Direktur Transformasi Proses Bisnis DJP Hantriono Joko Susilo, tidak terlalu fantastis. Apalagi, anggaran itu digunakan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak yang saat ini berada di kisaran Rp1.500 triliun.
Direktur Peraturan Perpajakan II DJP Yunirwansyah mengatakan pemangkasn tarif pajak penghasilan (PPh) bunga obligasi hingga 0% akan diatur dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.100/2013. Tarif 0% berlaku untuk dana investasi infrastruktur (DINFRA), dana investasi real estate (DIRE), serta kontrak investasi kolektif efek beragun aset (KIK-EBA).
“Hingga 2020 tarif PPh 0%, setelahnya 10%. PP-nya sudah jadi. Mungkin minggu ini atau minggu depan terbit dan langsung berlaku sejak diundangkan,” katanya.
Pemerintah akan kembali merevisi ketentuan tax allowance, seperti yang sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.18/2015. Revisi beleid akan mencakup tiga hal. Pertama, simplifikasi prosedur melalui penggunaan sistem online single submission (OSS).
Kedua, penambahan sektor usaha yang bisa memanfaatkan tax allowance. Ketiga, peningkatan kepastian usaha dengan memperjelas beberapa pengaturan, seperti aktiva yang dapat memperoleh fasilitas, kewenangan DJP, dan pemanfaatan fasilitas.
Rencana perubahan ketentuan pengembalian pajak pertambahan nilai (VAT refund) akan segera dieksekusi. Dalam aturan yang berlaku saat ini, sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 76/PMK.03/2010, turis hanya bisa meminta pengembalian untuk pembelanjaan dengan PPN minimal Rp500.000 di dalam satu faktur pajak khusus (FPK) dari satu toko ritel yang sama dan pada tanggal yang sama.
Nantinya, pemerintah akan merevisi ketentuan tersebut. Turis bisa mengajukan VAT refund dengan batasan minimal nilai PPN tetap paling sedikit Rp500.000. Namun, pengajuan dalam formulir permohonan untuk satu atau lebih FPK dengan batasan minimal PPN Rp50.000 per FPK. FPK bisa dari beberapa toko ritel dan dapat dengan tanggal yang berbeda.
“Perubahan peraturan akan parallel dengan sistem pembaca faktur otomatis pada Oktober 2019,” kata Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Arif Yanuar.
Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak Yunirwansyah mengatakan aturan teknis terkait pemberian insentif super tax deduction telah masuk tahap finalisasi. Nantinya, permintaan insentif ini dilakukan melalui online single submission denghan melampirkan perjanjian kerja sama (vokasi).
“Paling lambat sebelum dilakukannya kegiatan praktik kerja pemagangan atau pembelajaran,” katanya. (kaw)