Menteri Keuangan Sri Mulyani.
JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan setidaknya terdapat 4 alasan penerimaan pajak Indonesia mampu tumbuh tinggi setelah pandemi Covid-19.
Sri Mulyani mengatakan alasan utama membaiknya kinerja penerimaan pajak yakni pemulihan ekonomi nasional. Menurutnya, pemulihan ekonomi membuat wajib pajak kembali memiliki kemampuan untuk membayar pajak.
"Penerimaan pajak kini telah pulih setelah melewati situasi yang sangat dramatis ketika pandemi," katanya dalam webinar Muslim World Resilience in Anticipating the Global Economic Uncertainties, Rabu (10/5/2023).
Sri Mulyani mengatakan saat ini berbagai kegiatan ekonomi masyarakat telah menunjukkan  pemulihan yang kuat. Selain industri pengolahan dan perdagangan, pemulihan juga terasa pada sektor transportasi dan konstruksi.
Menurutnya, kinerja penerimaan pajak biasanya akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
Kemudian, alasan di balik tingginya penerimaan pajak adalah berakhirnya periode insentif yang diberikan selama pandemi Covid-19. Dia menjelaskan pemerintah saat pandemi memang memberikan insentif untuk membantu pelaku usaha yang mengalami pukulan berat.
Ketika pandemi makin terkendali dan aktivitas bisnis telah normal, wajib pajak pun kembali menghasilkan profit dan memiliki kemampuan untuk membayar pajak.
Sri Mulyani menyebut faktor ketiga yang menyebabkan pertumbuhan penerimaan pajak yakni kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% mulai April 2022. Meski hanya naik 1 poin persen, kebijakan ini juga efektif menambah pengumpulan pajak.
Terakhir, penerimaan pajak juga didukung dengan pengenaan PPN atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
"Ini penting karena di Indonesia telah terjadi transformasi digital sehingga kita perlu mengumpulkan pajak dari sana," ujarnya.
Sri Mulyani menambahkan pemerintah telah melaksanakan reformasi kebijakan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. Meski demikian, pemerintah juga tetap memberikan keberpihakan kepada orang berpenghasilan rendah dan UMKM.
Misalnya pada UMKM, pemerintah melalui PP 23/2018 menurunkan tarif pajak yang semula 1% menjadi hanya 0,5% atas omzet UMKM. Wajib pajak dapat menikmati tarif PPh final 0,5% jika omzetnya masih di bawah Rp4,8 miliar per tahun.
Kemudian, PP 55/2022 menyatakan wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet sampai dengan Rp500 juta dalam setahun tidak akan terkena pajak. Melalui fasilitas itu, UMKM yang omzetnya belum melebihi angka tersebut tidak perlu membayar PPh final yang tarifnya 0,5%.
"Ini yang kami sebut keadilan. Kita mendukung UMKM, tetapi di sisi lain mengenakan pajak tinggi kepada yang berpenghasilan besar, termasuk yang menikmati boom komoditas," imbuhnya.
Pada kuartal I/2023, pemerintah mencatat realisasi penerimaan pajak telah mencapai Rp432,25 triliun pada kuartal I/2023. Capaian tersebut setara 25,16% dari target tahun ini senilai Rp1.718 triliun.
Kinerja penerimaan pajak tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 33,78%. (sap)