JAKARTA, DDTCNews – Pagi ini, Senin (19/2) kabar datang dari pemerintah yang rencananya akan menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan pelaku usaha mengenai kepastian perlakuan pajak. Inti MoU itu, bagi wajib pajak khususnya pelaku usaha yang telah patuh, mereka akan mendapatkan keistimiwewaan berupa hak untuk tak lagi diperiksa.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan selama catatan keuangan mereka sudah terkonsolidasi dengan Ditjen Pajak, tidak ada lagi kegiatan ad hoc seperti pemeriksaan. Hal itu dilakukan karena pengusaha membutuhkan kepastian terkait dengan pelaksanaan ektensifikasi pajak.
Dia menekankan agar otoritas pajak keluar dari kebiasaan lamanya dengan mencari jalan supaya basis pajak tetap terjaga dan kepercayaan terhadap fiskus makin tinggi. Jangan sampai upaya meningkatkan tax ratio dipersepsikan dengan mengejar-ngejar wajib pajak.
Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Hermam Juwono mengatakan perlu adanya definisi patuh dan benar. Karena selama ini ada perbedaan falsafah mengenai patuh dan benar. Jika wajib pajak dianggap patuh karena lapor, tetapi kalau angka yang dilaporkan tidak benar, maka sama saja bohong.
Kabar lainnya mengenai rencana penurunan tarif pajak mobil sedan. Berikut ringkasannya:
Kementerian Keuangan masih mengkaji rencana perubahan tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk jenis mobil sedan yang saat ini dikenakan tarif 30%. Walau masih dikaji, namun Menteri Keuangan Sri Mulyani mengindikasikan penururan tarif pajak tersebut sulit dilakukan. Menurutnya, jika tujuannya adalah mengurangi impor, harusnya cukai yang dikenakan. Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D Sugiarto mengatakan harmonisasi pajak kendaraan harus komprehensif. Pemerintah tidak bisa hanya fokus mengurangi impor, tetapi juga mencari cara memacu ekspor industri dalam negeri.
Sejumlah ekonom menilai perekonomian global akan tumbuh di level yang moderat di kisaran 3-3,1% dengan tetap memperhatikan kebijakan hubungan luar negeri Amerika Serikat (AS), isu geopolitik, serta potensi kenaikan suku bunga The Fed pada akhir kuartal pertama tahun 2018. Ekonom PT Bank Permata Josua Pardede mengatakan ekonomi global di sisa kuartal pertama tahun 2018 masih cukup solid ditopang oleh pertumbuhan ekonomi negara maju seperti AS. Diperkirakan, perekonomian AS akan tumbuh lebih tinggi dibanding kuartal keempat tahun 2017. Pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal pertama tahun 2018 ditopang oleh ekspektasi peningkatan investasi swasta meskipun laju pertumbuhan konsumsi rumag tangga cenderung sedikit menurun pada awal tahun 2018.
Pasar keuangan masih mengantisipasi kemungkinan kenaikan suku bunga The Fedpada Maret 2018 yang berpotensi menjaga yield US Treasury tetap di kisaran 2,77% - 2,80%. Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan menyatakan risiko lain yang bisa muncul adalah ketidakpastian tentang seberapa cepat pengetatan dilakukan oleh Federal Reserve (The Fed). Sementara ini Bank Sentral AS masih cenderung akan menaikkannya secara gradual. Anton menjelaskan kecenderungan Bank Sentral AS dalam menaikkannya secara gradual yaitu karena yang terpenting bagi AS adalah inflasi. Pasalnya, inflasi AS masih belum stabil di atas 2%.
Rencana kenaikan suku bunga oleh sejumlah bank sentral negara maju, terutama Bank Sentral AS akan menjadi tantangan bagi Gubernur BI selanjutnya. Sedangkan, pemerintah tetap menginginkan penurunan suku bunga kredit hingga satu angka terus berlanjut. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan sebagai negara yang membutuhkan modal dari luar negeri, suku bunga Indonesia ditentukan juga oleh suku bunga global dan indikator ekonomi makro, terutama inflasi dan neraca pembayaraan, serta APBN.
Sejak Desember 2015 hingga Desember 2017, BI bisa menurunkan suku bunga acuan 8 kali walaupun The Fed menaikkan suku bunganya 5 kali. Hal ini terjadi karena rasio ekonomi makro Indonesia dalam 3 tahun ini bisa dijaga baik. Artinya The Fed tahun ini 2018 dan selanjutnya masih menaikkan suku bunga acuan serta diikuti bank sentral negara maju dan tetangga, Indonesia masih masih bisa menjaga suku bunga rendah. (Amu)