Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah Selandia Baru merilis dua opsi pengenaan pajak layanan digital (digital service tax/DST). Pemerintah menanti masukan terhadap dokumen yang memuat dua opsi tersebut hingga 18 Juli 2019.
Dokumen diskusi yang dirilis pekan ini menunjukkan bahwa pemerintah tengah mempertimbangkan dua opsi utama. Baik Menteri Keuangan Grant Robertson maupun Menteri Pendapatan Stuart Nash memastikan perusahaan digital offshore nantinya tidak lagi bisa menikmati keringanan pajak yang tidak tersedia untuk bisnis lokal.
“DST akan ditargetkan secara sempit pada model bisnis tertentu yang sangat digital (highly digitalised). Ini tidak akan berlaku untuk penjualan barang atau jasa, tetapi untuk platform digital yang bergantung pada basis pengguna untuk pendapatan dari iklan atau data,” kata Robertson, seperti dikutip pada Selasa (4/6/2019).
DST pertama kali diumumkan oleh Perdana Menteri Jacinda Ardern pada Februari 2019. Saat itu, DST diestimasi akan berdampak langsung pada perusahaan seperti Facebook, Uber, dan Airbnb melalui pemungutan pajak atas pendapatan yang diperoleh dari operasi perusahaan di Selandia Baru.
Adapun dua opsi yang disodorkan pemerintah yakni pertama, mengubah aturan pajak penghasilan (PPh) internasional yang berlaku saat ini. Perubahan akan memungkinkan pemajakan yang lebih banyak di negara-negara pasar. Kedua, menerapkan DST terpisah 3% untuk pendapatan tertentu yang diperoleh dari Selandia Baru.
“Nilai layanan digital lintas batas di Selandia Baru diperkirakan sekitar US$2,7 miliar. Perkiraan pendapatan DST sekitar US$30 juta hingga US$80 juta, tergantung pada desain,” imbuh Robertson.
Menteri Pendapatan Stuart Nash mengatakan impelementasi DST di Selandia Baru akan menjadi langkah sementara hingga OECD membuat keputusan bersama (konsensus global) untuk mengubah aturan PPh internasional saat ini.
“Pemerintah berkomitmen untuk untuk memastikan sistem pajak di masa depan dapat menangani perubahan bagaimana orang bekerja dan bagaimana bisnis dilakukan. Kita perlu terus beradaptasi untuk memastikan perusahaan multinasional yang melakukan bisnis di sini membayar pajak yang adil,” kata Nash, seperti dilansir Newshub.
Kendati demikian, renca pemerintah ini mendapat kritik dari beberapa pengamat, salah satunya adalah pakar pajak dari Universitas Victoria, John Shewan. Dia khawatir penerapan DST justru akan membebani masyarakat. Hambatan terbesar ada pada detailkebijakan.
“Mungkin saja perusahaan-perusahaan itu menyerahkannya kembali kepada pengguna Selandia Baru sehingga pajak akhirnya benar-benar ditanggung oleh warga Selandia Baru. Jadi, itu masalah besar,” ujarnya. (kaw)