Rapat TFDE melalui Zoom pada Rabu (8/4/2020). (foto: dokumentasi Direktur Perpajakan Internasional DJP)
JAKARTA, DDTCNews – Pembahasan mengenai pemajakan terhadap ekonomi digital yang berada di bawah koordinasi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) masih alot.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) John Hutagaol menyebut silang pendapat antara negara maju dan negara berkembang masih terasa dalam rapat Task Force on the Digital Economy (TFDE). Hal tersebut membuat proses perumusan konsensus masih berlangsung dinamis hingga saat ini.
“Pada pembahasan setiap isu masih tampak perbedaan kepentingan antara negara-negara maju dengan negara-negara emerging maupun negara-negara berkembang,” katanya, Jumat (10/4/2020).
John menuturkan perbedaan kepentingan terjadi hampir pada setiap isu. Salah satunya tekait batasan omzet konsolidasi global yang dapat dikenakan pajak digital. Penentuan ambang batas masih menjadi pembahasan alot karena memuat kepentingan negara domisili dan negara pasar dari layanan digital.
Selain itu, perbedaan kepentingan juga terlihat dalam penggunaan penggunaan segmentasi laporan keuangan, kompensasi kerugian, dan laba residu. Pada kondisi tersebut, posisi DJP sebagai perwakilan Indonesia kembali kepada semangat pemajakan entitas digital yang harus sederhana sehingga tidak menimbulkan kerumitan dalam penerapannya.
“Kami ingatkan bahwa unified approach harus sederhana dalam penerapannya sehingga tidak menimbulkan kompleksitas baik bagi otoritas pajak maupun pelaku usaha digital," paparnya.
Menurut John segementasi kepentingan negara dalam perumusan konsensus global terbagi dalam tiga kubu. Pertama, negara domisili, tempat perusahan seperti Google dan Amazon berasal. Kubu ini identik dengan kepentingan Amerika Serikat.
Kedua, negara pasar, tempat perusahan digital beroperasi dan mendapatkan keuntungan. Kelompok negara ini antara lain Indonesia, India, dan lainnya. Ketiga, negara yang menjadi tempat Intellectual Property (IP) perusahaan ekonomi digital terdaftar.
“Perlu suatu model fairness dalam pembagian hak pemajakan (nexus) antara negara domisili dengan negara-negara pasar dan negara-negara tempat IP terdaftar. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum, terutama bila timbul sengketa pajak,” imbuhnya.
Di Indonesia sendiri, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1/2020 yang didalamnya juga memuat pemajakan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Selain pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh), pemerintah memperkenalkan pajak transaksi elektronik (PTE). PTE dikenakan kepada pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau penyelenggara PMSE luar negeri yang tidak dapat ditetapkan sebagai bentuk usaha tetap (BUT). (kaw)