ISU transportasi merupakan salah satu persoalan yang sulit terpecahkan. Daerah perkotaan kerap kali dihadapkan dengan padatnya kendaraan sehingga menimbulkan kemacetan. Sementara itu, warga di sebagian besar perdesaan masih kesulitan mengakses transportasi.
Belum lagi jika bicara soal konektivitas antarwilayah. Kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan membuat upaya menghubungkan daerah dari satu pulau ke pulau lainnya menjadi tidak mudah.
Djoko Setijowarno menilai karakteristik transportasi Indonesia terbilang kompleks dan tidak ada yang menyamai di dunia lantaran mencakup darat, laut, udara, perkeretaapian, serta sungai dan danau. Dia pun tertarik mengeksplorasi lebih dalam perihal transportasi di Indonesia.
Dalam perbincangannya dengan DDTCNews, pria yang menjabat sebagai Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini bicara banyak hal, tak terkecuali soal kebijakan pajak dalam transportasi. Petikannya.
Seperti apa kesibukan Anda di tengah pandemi Covid-19?
Lho, saya pandemi enggak pandemi rasanya sama saja, tetap keliling ke mana-mana. Awal pandemi, berarti ya awal Maret hingga Juli, memang enggak ke mana-mana. Tapi akhir Juli atau awal Agustus saya sudah keliling hingga Sumatera, Papua, dan Kalimantan.
Ada yang mengundang seminar, karena saya membantu di Kementerian Perhubungan untuk sosialisasi program angkutan umum. Alhamdulillah saya diberikan imun. Tapi tetap harus selalu dijaga, jangan sampai stres, protokol kesehatan juga tetap dijalankan.
Bagaimana awal ketertarikan Anda pada isu transportasi?
Saya tertarik isu transportasi sudah lama, sejak 1994, sewaktu saya mengambil S2 di ITB [Institut Teknologi Bandung]. Saya bergabung dengan laboratorium transportasi ITB. Dari situ saya tahu lebih banyak. Kuliahnya sih biasa aja, mau nilai bagus atau jelek ya teori-teori saja.
Tapi dari situ saya sudah mulai tahu keliling Indonesia. Umpamanya ke Labuan Bajo, dulu saya tahu seperti apa Labuan Bajo tahun 1996, jadi mengerti bedanya dengan sekarang. Tahun segitu juga saya sudah naik bus dari Maumere menuju Labuan Bajo, ya di bus campur hewan.
Jadi Alhamdulillah saya sudah keliling Indonesia. Yang belum tuh 3 provinsi, yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Bengkulu. Alhamdulillah yang lainnya sudah, bahkan beberapa kali sampai daerah perbatasan pun sudah, umpamanya ke Pulau Anambas.
Luar biasa itu daerahnya bagus sekali, cuma enggak ada yang melirik ke pariwisata, karena daerah 3T sehingga mesti punya bandara, minimal pesawat ATR sudah disajikan.
Tapi bidang keilmuan Anda teknik sipil?
Iya, teknik sipil, bidangnya transportasi. Kalau transportasi itu di perguruan tinggi teknik sipil banyak. Dasar transportasi jalan, rel, pelabuhan, bandar udara, lalu lintas atau rekayasa lalu lintas. Dasarnya itu di S1, baru nanti S2-S3. Dulu saya lebih ke kereta api, sewaktu orang masih enggak tertarik.
Seperti apa Anda melihat sistem transportasi di Indonesia?
Transportasi di Indonesia itu tidak ada satu pun di dunia yang menyamainya. Ada darat, laut, udara, perairan sungai-danau, kereta api. Makanya saya bilang, teori boleh dari luar, tapi ketika masuk ke Indonesia akan berbeda.
Banyak sekali perbedaannya, karena kita bicara perilaku, dan penanganannya cukup berat di Kementerian Perhubungan. Apalagi pada era reformasi seperti ini, banyak kepala daerah tidak concern pada transportasi. Public transport kita semakin menurun, angkutan perdesaan kita sudah hilang.
Subsidi untuk pelayanan angkutan jalan perintis tidak sampai Rp150 miliar. Saya lihat terakhir anggarannya hanya Rp134 miliar, minim sekali. Selain itu, memang harus banyak yang dibereskan di sektor perhubungan ini, terutama di sektor keselamatan.
Intervensi seperti apa yang harus dilakukan pemerintah?
Bagi daerah-daerah, tidak bisa tidak subsidi harus diberikan. Dengan adanya bus perintis, kapal perintis, itu bisa merambah daerah-daerah yang sulit. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sudah membangun jalan, tapi angkutannya tidak ada.
Bagaimana ekonomi bergerak? Ini seperti di perbatasan Kalimantan, ada jalan lebih kurang 1.900 kilometer, dua kali panjang Anyer-Panarukan. Di sungai juga sama, harus ada subsidi. Seperti Sungai Mahakam. Masyarakat di sungai jangan dipaksakan ke darat, biarkan mereka di sungai.
Bagaimana dengan insentif pajak?
Harus ada insentif pajak, subsidi, dan PSO [public service obligation]. Untuk insentif pajak seperti itu, diberikan umpamanya melihat daerahnya, seperti di Jawa, ada bus AKAP [antarkota antarprovinsi]. Nah kalau di daerah, seperti Maluku Tenggara, tidak bisa tidak butuhnya subsidi.
Sektor transportasi termasuk lambat pulih dan asosiasi mengusulkan ada insentif pajak khusus. Apa yang paling mereka butuhkan?
Paling urgent itu ya bus AKAP, kalau perkotaan sudah ada, tapi pada AKAP masih perlu. Mereka ada di Jawa, Sumatera, dan sebagian Kalimantan. Yang penting mereka bergerak, karena kalau mereka bergerak, ekonomi akan jalan.
Di daerah juga bantu mereka, misalnya PBB [pajak bumi dan bangunan], mereka jangan kenakan dulu. Mereka punya pool, bisa diberikan support PBB. Dukung lah angkutan umum, daripada sepeda motor.
Sepeda motor ini paling banyak memboroskan BBM [bahan bakar minyak] di Indonesia. Sebanyak 53% pemborosan BBM itu datangnya dari sepeda motor, 40% mobil pribadi, angkutan umum 3%, dan angkutan barang 4%.
Ini data 2012, saya kira sekarang lebih besar lagi karena angkutan umum di daerah sudah tidak ada. Hanya Jakarta saja yang bagus, di daerah tidak ada yang bagus.
Bagaimana pandangan Anda tentang rencana pengenaan pajak karbon?
Strateginya harus push and pull, yang artinya mendorong orang beralih ke angkutan publik, makanya kendaraan umum harus bagus. Kalau dia kena pajak tinggi, harus ada alternatifnya. Jangan membiarkan mereka tidak ada pilihan.
Tapi permasalahannya anggarannya kecil, setiap tahun perbaikannya hanya di 5 kota, 5 kota, kapan selesainya? Perlu percepatan perbaikan angkutan umum di daerah. Sebenarnya ini bisa, kalau daerahnya cerdas, uang parkir dinaikkan, untuk menata angkutan umum, administered price.
Andai pajak karbon diberlakukan tahun depan, idealnya seperti apa?
Diterapkan di Jakarta dulu, karena Jakarta barometer. Kalau berhasil, daerah lain akan ikut. Dulu Jakarta pernah ada larangan sepeda motor di ruas tertentu, daerah sudah senang untuk ikut, tapi sekarang sudah gagal. Jadi harus dimulai dari Jakarta, karena transportasi publiknya sudah bagus.
Di Jakarta seharusnya makin ke pusat kota tarif parkirnya makin tinggi. Saya pernah menghitung kasar saja, parkir di Jakarta bisa Rp1 triliun pada 2012. Artinya, pembiayaan public transport bisa diambil dari parkir. Kalau bicara TOD [transit-oriented development] susah, bisanya di Hong Kong.
Saat ini pemerintah mendorong mobil listrik dengan menyiapkan insentif pajak. Pandangan Anda?
Mudah-mudahan bisa terwujud, tapi ini perlu perjuangan yang kuat, tidak mudah. Karena investor sudah banyak yang berinvestasi pada kendaraan bermotor. Mereka inginnya jangan ada kendaraan listrik. Mungkin belum balik modal, atau masih sedikit. Jadi pertarungan luar biasa ini.
Bagaimana awal mula Anda bergabung di MTI?
Saya diajak ke MTI sewaktu masih mahasiswa sekitar tahun 1996, karena saya sering menulis. Saya kemudian berhubungan dengan media tahun 2000 sampai sekarang sehingga transportasi menjadi isu nasional.
Bagaimana Anda membagi kesibukan dengan keluarga?
Kalau akhir pekan, kalau misalnya ada waktu, biasanya saya bersama istri pergi ke luar untuk jalan-jalan, karena istri saya juga bekerja.
Apakah Anda memiliki hobi khusus?
Hobinya menulis. Sudah banyak tulisan yang mau saya tulis menjadi buku, tapi belum sempat. Mau menyusun buku, tapi ada isu baru, jadi ditulis lagi. Yang terbit sudah 3 buku, dan ada juga yang bersama penulis-penulis lain.
Bukankah Anda juga memiliki usaha agen perjalanan?
Itu hanya untuk melihat perilaku pengguna kendaraan saja, tujuannya itu saja. Sekalian untuk tambahan [penghasilan] juga, lumayan. Alhamdulillah masih aktif. Jadi saya juga tahu pasang surutnya orang menggunakan angkutan ini.
Apa arti sukses bagi Anda?
Sepertinya ini bukan kesuksesan, tapi saya senang kalau usulan saya bisa diterima dan diterapkan. Kalau diterapkan artinya bisa dirasakan masyarakat. Setidaknya kalau sekarang itu saya mengusulkan public transport yang di daerah, yang perjuangannya cukup lama.
Artinya memberikan contoh dulu di daerah, kalau sudah bisa, naik lagi tingkat provinsi, bisa, saya usulkan ke tingkat nasional. Di nasional pun tidak mudah untuk diterima, tapi Alhamdulillah beberapa teman di Kementerian Perhubungan men-support, jadi agak cepat juga perjalanan itu.
Soal detailnya, ya pada mereka lah karena saya orang luar. Mulai dari 5 kota, 5 kota lagi, dan semoga semakin banyak. Tapi tidak boleh berhenti di situ, harus dipikirkan nanti kelanjutannya bagaimana.
Apa harapan Anda soal pajak agar semakin mendukung transportasi publik?
Harapannya ada pajak-pajak khusus untuk menopang subsidi angkutan umum. Umpamanya pada karbon, pajak BBM dinaikkan. Ini bisa dilakukan, tinggal kemauan pemerintah.
Tetapi pajak mengenai transportasi ada yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan daerah?
Iya, soal karbon ada di pusat, dan di daerah ada pajak kendaraan bermotor. Tidak apa-apa, kembalikan saja kepada mereka. Kalau mereka sadar, pasti bisa. Yang pasti isu transportasi publik ini harus terus dikumandangkan.
Dari pengalaman melihat transportasi publik di luar negeri, kalau bagus, masyarakat akan lebih senang dan sehat, tidak menghirup udara kotor. Jakarta ini sebetulnya sudah bagus, tidak perlu belajar ke luar negeri. Kereta di Jakarta itu lebih bagus dari Prancis. Jangan merasa inferior. (Rig/Bsi)