ANALISIS PAJAK

Meredefinisi 'Pajak' yang Lebih Ramah

Kamis, 11 Oktober 2018 | 07:44 WIB
Meredefinisi 'Pajak' yang Lebih Ramah

B. Bawono Kristiaji,
Partner of Tax Researcher & Training Service DDTC

APAKAH yang dimaksud dengan pajak? Pertanyaan yang sederhana tersebut belum tentu mudah dijawab secara langsung. Setidaknya, terbersit dalam benak kita bahwa itu tidak lebih dari pertanyaan ‘iseng’ belaka. Namun, definisi pajak sejatinya berperan penting.

Definisi tersebut menjadi panduan dalam desain mobilisasi penerimaan, klasifikasi dan rancangan postur fiskal, berdampak pada definisi tax ratio ataupun tax expenditure,ataupun interpretasi keselarasannya dengan konstitusi (Marabito dan Barkoczy, 1996). Lebih penting lagi, definisi pajak menjadi suatu rumusan awal mengenai kedudukan hak dan kewajiban antara negara dan masyarakat dalam kontrak fiskal.

Di Indonesia, definisi pajak secara resmi dapat ditemukan pada Pasal 1 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yaitu angka 1 yang mendefinisikan pajak sebagai “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Pertanyaannya, apakah definisi pajak dalam UU KUP tersebut sudah tepat? Apakah diperlukan perubahan dan bagaimanakah pertimbangannya? Melalui artikel singkat ini, penulis berupaya ‘membedah’ definisi pajak Indonesia.

Membedah Definisi Pajak

Sebelum melakukan tinjauan atas definisi ‘pajak’ di Indonesia, ada baiknya kita melihat definisi pajak dari berbagai sumber.

Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa secara sederhana, pajak adalah berbagai kontribusi yang dikenakan oleh pemerintah atas individu-individu, karena adanya pemanfaatan barang dan jasa pemerintah, dengan nama apapun. Oxford Dictionaries lebih lengkap lagi, pajak dianggap sebagai kontribusi wajib terhadap penerimaan negara, yang dipungut oleh pemerintah atas penghasilan individu dan laba usaha, atau dikenakan sebagai tambahan biaya dari sebagian barang, jasa, dan transaksi.

Walaupun telah memberikan petunjuk awal, sumber-sumber tersebut kurang kuat untuk dipergunakan sebagai acuan definisi resmi. Terutama karena definisi tersebut tidak diajukan dalam konteks keuangan negara.

Ada dua lembaga yang merilis definisi pajak secara resmi terutama dalam kaitannya dengan tata kelola fiskal, yaitu IMF dan OECD. IMF (2014) mendefinisikan pajak sebagai compulsory, unrequited amounts receivable by government units from institutional units. Penting untuk dicatat bahwa definisi tersebut tidak mencakup pembayaran skema jaminan sosial, sanksi, denda, dan sejenisnya. Hampir serupa dengan IMF, menurut OECD (2016) pajak adalah: “compulsory unrequited payments to general government. Taxes are unrequited in the sense that benefits provided by government to taxpayers are not normally in proportion to their payments.”

Sebagai catatan, OECD tidak secara eksplisit menyebutkan apakah social security contribution termasuk dalam definisi pajak. Namun, dalam praktik pengukuran tax ratio OECD justru menyertakan jaminan sosial (social security contribution). Padahal, kontribusi jaminan sosial juga tidak sesuai dengan prasyarat definisi pajak OECD, yakni tidak adanya korelasi langsung antara manfaat yang diterima dengan pembayarannya. Dengan kata lain, OECD tidak konsisten.

Dari berbagai definisi, terdapat lima elemen yang umumnya ditemukan (Heij, 2001), sebagai berikut

Pertama, pajak haruslah bersifat wajib atau compulsory. Perspektif ini menegaskan bahwa pembayaran pajak sulit diwujudkan jika hanya bersifat kesukarelaan. Dengan kata lain, memisahkan antara iuran-iuran yang bersifat altruism seperti halnya kontribusi sosial yang bersifat filantropi, dan sebagainya. Sifat paksaan ini juga lekat dengan teori benefit principle, bahwa pajak adalah suatu hal yang harus dibayar untuk memeroleh manfaat atau barang publik.

Kedua, kontribusi berupa pungutan uang atau sejenisnya. Pajak bukan kontribusi dari masyarakat yang berupa tenaga atau fisik (wajib militer), berbentuk benda lain yang juga memiliki manfaat ekonomis (dalam masyarakat Indonesia, misalkan ada tradisi ‘jumputan beras’), dan sebagainya.

Ketiga, adanya frasa “oleh individu, badan, atau entitas lainnya”. Elemen ini memberikan penjelasan mengenai siapa-siapa yang dikenakan beban pajak.

Keempat, harus diterima oleh pemerintah. Artinya, arus pembayaran yang bersifat wajib tersebut harus masuk sebagai kas pemerintah dan bukan dikelola oleh pihak lain. Elemen ini menggarisbawahi perbedaan antara pungutan resmi dan tidak resmi. Di banyak negara dengan tata kelola pemerintahan yang lemah dan rentan korupsi, sering terdapat informal tax yang mencakup uang suap (red tape), pelicin, yang diterima oleh individu dalam birokrasi tapi tidak dikelola pemerintah (de Rosa, Gooroochurn, dan Gorg, 2013).

Terakhir, dipergunakan untuk tujuan publik dan tidak memiliki imbalan langsung kepada pihak yang membayar. Ada dua poin penting dalam elemen ini, (i) adanya komitmen bahwa pembayaran yang telah dikumpulkan akan ditujukan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik; serta (ii) imbal hasil atau manfaatnya tidak diatribusikan secara langsung kepada pembayar.

Redefinisi Lebih Ramah

Lantas, bagaimana dengan di Indonesia? Ada beberapa komentar mengenai definisi pajak yang tertuang dalam Pasal 1 UU KUP.

Pertama, definisi pajak di Indonesia seperti tertuang dalam Pasal 1 UU KUP 2009 telah menyertakan kelima elemen tersebut atau selaras dengan definisi pajak yang secara umum ditemui, yaitu.

  1. Frasa “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara…” serta frasa “…yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang…” merupakan elemen compulsory;
  2. Frasa “…yang terutang oleh orang pribadi atau badan…” menunjukkan elemen pungutan pembayaran (terutang), sekaligus elemen pihak yang dikenakan beban pajak, baik langsung maupun tidak langsung;
  3. Frasa “…dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung …” merupakan elemen tidak adanya manfaat secara langsung dari suatu kontribusi yang dibayarkan; dan
  4. Frasa “…dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” merupakan elemen yang menandakan pengelolaan kontribusi oleh negara.

Kedua, definisi pajak sesuai UU KUP agaknya terlau memberikan penekanan yang bersifat compulsory. Hal ini bisa dijumpai dari penggunaan kata “wajib” dan “memaksa” dalam kalimat yang sama.

Selain itu, frasa “berdasarkan undang-undang” juga secara tidak langsung telah menunjukkan posisi bahwa adanya kewajiban atau paksaan akan diatur lebih lanjut melalui undang-undang. Dalam konteks demokrasi, undang-undang sebagai produk dari parlemen sejatinya juga telah secara gamblang mengatur apa yang menjadi kewajiban pajak, termasuk konsekuensi pelanggaran, dan hak-hak yang turut melekat (Darussalam dan Septriadi, 2006).

Terakhir, seberapa ‘pas’ definisi resmi tersebut dengan agenda reformasi pajak ke depan. Dalam hal ini, konteksnya bukan hanya apa-apa yang ada dalam reformasi pajak itu sendiri. Lebih luas lagi, sejauh mana definisi tersebut selaras dengan dinamika lanskap pajak sekarang dan yang akan datang.

Tren mengenai hubungan yang kooperatif dan saling transparan antara otoritas pajak dan wajib pajak,penghormatan hak-hak wajib pajak (Bentley, 2007), serta pemahaman bahwa pajak tidak melulu soal penerimaan, jelas membutuhkan pemikiran reflektif dan rumusan pajak yang lebih ‘ramah’ dan mendudukkan wajib pajak dalam posisi yang berperan penting.

Dari beberapa pertimbangan di atas, berikut merupakan definisi pajak yang agaknya relevan dan sesuai dengan perkembangan pajak Indonesia ke depan: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara sesuai dengan kesepakatan yang diatur berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Tentu, sistem pajak yang lebih baik lebih dipengaruhi oleh hukum, kebijakan, serta administrasi di lapangan. Namun, definisi pajak yang menyisipkan konsep dasar pajak sebagai sebuah kontrak fiskal antara negara dan masyarakat melalui frasa sesuai dengan kesepakatan yang diatur akan membuat pajak menjadi lebih ramah dan sebagai rambu-rambu bagi seluruh pemangku kepentingan dalam melakukan pemungutan pajak.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Sabtu, 09 Maret 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Asal Mula Kata Pajak, dari Pajeg pada Era Kerajaan Mataram Islam

Jumat, 23 Februari 2024 | 09:00 WIB ANALISIS PAJAK

Simplifikasi Ketentuan Transfer Pricing Ala Pilar 1 Amount B

Rabu, 21 Februari 2024 | 11:00 WIB ANALISIS PAJAK

Menelusuri Kompleksitas dan Tantangan Penerapan Pilar 1 Amount A

Selasa, 20 Februari 2024 | 11:50 WIB ANALISIS PAJAK

Implementasi ‘Two-Pillar Solution’ Kian Dekat, Siapkah Kita?

BERITA PILIHAN