KULIAH UMUM DDTC-PERBANAS

Ada Banyak Inisiatif Multilateral Perangi Profit Shifting, Efektifkah?

Muhamad Wildan
Selasa, 24 September 2024 | 15.15 WIB
Ada Banyak Inisiatif Multilateral Perangi Profit Shifting, Efektifkah?

Director Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji dalam Kuliah Umum dan Signing MoU antara Perbanas Institute dan DDTC, Selasa (24/9/2024).

JAKARTA, DDTCNews - Pengalihan laba atau profit shifting oleh perusahaan multinasional tercatat masih cenderung tinggi meski yurisdiksi-yurisdiksi telah menerapkan beragam inisiatif multilateral untuk memerangi praktik tersebut.

Director Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan laba perusahaan multinasional yang dialihkan dari yurisdiksi pasar ke negara suaka pajak masih cenderung naik meski yurisdiksi-yurisdiksi telah menerapkan beragam rencana aksi dalam BEPS Action Plan.

"Kita punya BEPS Action Plan yang di dalamnya ada 15 rencana aksi mulai dari transfer pricing documentation, ketentuan controlled foreign company (CFC), pembatasan biaya bunga, dan sebagainya. Apakah profit shifting ini menurun? Ternyata tidak," ujar Bawono dalam Kuliah Umum dan Signing MoU antara Perbanas Institute dan DDTC pada hari ini, Selasa (24/9/2024).

Merujuk pada Global Tax Evasion Report 2024 yang dirilis oleh EU Tax Observatory, laba perusahaan multinasional yang dialihkan ke yurisdiksi suaka pajak pada 2015 mencapai US$616 miliar. Sebagai konteks, pada tahun tersebut yurisdiksi-yurisdiksi anggota Inclusive Framework telah menyepakati BEPS Action Plan.

Bukannya turun, pada 2022 nilai laba perusahaan multinasional yang dialihkan ke yurisdiksi suaka pajak justru naik menjadi US$1 triliun.

Masih dari laporan yang sama, PPh badan yang tak terpungut akibat profit shifting pada 2015 diperkirakan mencapai sekitar 8% dari total PPh badan yang terkumpul. Bukannya turun, PPh badan yang tak terpungut akibat profit shifting pada 2022 justru naik ke 10%.

Untuk terus mengurangi praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional, yurisdiksi-yurisdiksi Inclusive Framework baru saja menyepakati Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) yang menjadi dasar penerapan pajak minimum global.

Meski demikian, instrumen baru ini masih memiliki banyak celah. Adapun celah-celah dimaksud antara lain adanya klausul substance based income exclusion (SBIE) dan qualified refundable tax credit (QRTC).

SBIE memungkinkan perusahaan multinasional untuk membayar pajak dengan tarif efektif lebih rendah dari 15% bila perusahaan dimaksud memiliki aktivitas ekonomi riil di negara suaka pajak, sedangkan QRTC membuka ruang bagi negara suaka pajak untuk memberikan insentif kredit pajak kepada perusahaan multinasional.

Offshore Tax Evasion

Selain profit shifting, basis pajak pada banyak yurisdiksi juga kian tergerus oleh praktik offshore tax evasion. Dalam praktik ini, wajib pajak secara sengaja menyembunyikan penghasilan dan hartanya agar terbebas dari pengenaan pajak.

Pada 2022, total financial wealth yang ditempatkan di luar negeri mencapai US$12 triliun. Nilai tersebut setara dengan 12% dari PDB global.

Dahulu, sebagian besar offshore financial wealth tidak dilaporkan oleh wajib pajak kepada otoritas pajak yurisdiksi residen. Sebelum 2010, Souleymane Faye, Sarah Godar, and Gabriel Zucman dalam Global Offshore Wealth 2001-2022 mencatat sekitar 91% dari offshore financial wealth tidak dideklarasikan dengan benar oleh wajib pajak pemilik rekening.

"Jadi kalau ada 100 orang yang menempatkan dananya di luar negeri, mungkin hanya 10 orang yang melaporkan itu di lampiran SPT dalam kolom harta," ujar Bawono.

Namun, berkat common reporting standard (CRS) dan terlaksananya pertukaran data keuangan secara otomatis untuk kepentingan pajak (automatic exchange of information/AEOI), proporsi offshore financial wealth yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak ke dalam SPT tercatat menurun drastis.

Berkat AEOI, Faye, Godar, dan Zucman memperkirakan hanya ada sekitar 27% dari total offshore financial wealth yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak ke dalam SPT.

Meski offshore financial wealth yang tak dideklarasikan menurun drastis, CRS masih memiliki beragam keterbatasan. Hingga saat ini, CRS diimplementasikan terbatas pada aset-aset dan kekayaan finansial. Aset-aset berbentuk fisik seperti properti masih belum tercakup dalam CRS.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila para wajib pajak kaya terdorong untuk mengalihkan hartanya dari instrumen keuangan yang tercakup dalam CRS ke aset properti yang notabene masih terbebas dari rezim tersebut.

"Loopholes dari CRS membuat pertukaran informasi mungkin belum sepenuhnya efektif mencegah global offshore tax evasion," ujar Bawono. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.