KEBIJAKAN PAJAK

Mengurai Berbagai Konsekuensi Kebijakan Pengecualian PPN

Redaksi DDTCNews | Rabu, 16 Juni 2021 | 12:30 WIB
Mengurai Berbagai Konsekuensi Kebijakan Pengecualian PPN

DALAM beberapa waktu terakhir ini, pengecualian PPN menjadi salah satu diskursus yang mewarnai lanskap pajak nasional dan global. Implementasinya menuai perdebatan dari berbagai pihak, baik dari akademisi maupun lembaga internasional, karena dianggap menggerogoti sistem PPN itu sendiri.

Terlebih, tidak ada suatu konsensus yang dapat menjadi pedoman bagi pelaksanaan pengecualian PPN. Setiap negara memiliki pertimbangannya sendiri dalam menentukan barang dan jasa yang tidak dikenai PPN atau dikecualikan.

Faktanya, perluasan basis pajak PPN telah menjadi tren kebijakan yang diterapkan berbagai negara pada 10 tahun terakhir (OECD, 2020). Lantas, faktor apa yang menjadi latar belakang tren tersebut? Seperti apa dampak kebijakan tersebut terhadap sistem pajak dan perekonomian secara luas?

Baca Juga:
Negara Ini Siapkan Insentif Pajak untuk Impor Mobil Listrik

Dalam salah satu bab dari buku suntingan Rita de la Feria berjudul VAT Exemptions Consequences and Design Alternatives, kita dapat memperoleh pencerahan terkait jawaban atas pertanyaan tersebut melalui analisis komprehensif implementasi pengecualian PPN di beberapa negara, termasuk soal desain alternatif kebijakan menuju sistem PPN yang lebih modern.

Bab bertajuk Ending VAT Exemptions: Towards a Post-Modern VAT menyebutkan ada dua hal yang mendasari pengecualian PPN. Pertama, alasan teknis kebijakan. Otoritas pajak kerap kali kesulitan untuk menentukan dasar pengenaan pajak pada barang/jasa tertentu, seperti properti tidak bergerak dan jasa keuangan, termasuk asuransi.

Kedua, tujuan ekonomi politik. Banyak negara mengecualikan barang/jasa tertentu yang dianggap sebagai layanan publik dan memiliki kepentingan sosial seperti jasa pendidikan, kesehatan, serta jasa transportasi publik. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan keadilan vertikal serta meningkatkan eksternalitas positif dari layanan publik.

Baca Juga:
Pemerintah Bakal Naikkan Tarif PPN Jadi 12%, Ini Kata Banggar DPR

Namun, apakah tujuan itu tercapai? Perkembangan literatur pajak justru menyimpulkan pengecualian PPN khususnya barang/jasa sektor publik ternyata memiliki berbagai konsekuensi negatif, mulai dari dapat mendistorsi perekonomian, menggerus basis pajak, hingga menurunkan penerimaan negara.

Terlebih, pengecualian PPN terhadap layanan publik dianggap menjadi mekanisme hidden subsidy yang tidak efektif. Subsidi ini cenderung menjadi ajang bagi pemasok untuk melakukan profit taking baik melalui kenaikan harga maupun peningkatan volume produksi ke level yang tidak mencerminkan efisiensi pasar.

Berbeda dengan mayoritas negara lainnya, Australia dan Selandia Baru memilih untuk mengenakan PPN terhadap seluruh barang/jasa tak terkecuali yang berkaitan dengan pengadaan layanan publik (full taxation). Adapun, sebagian besar jasa pendidikan dan kesehatan di Australia menjadi objek PPN dengan tarif zero-rated.

Baca Juga:
Agar Lapor SPT Cepat dan Mudah, IRS Uji Coba Aplikasi Pajak Terbaru

Sementara itu, Selandia Baru memperlakukan entitas di sektor publik, baik institusi publik maupun swasta, sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Berbeda dengan Australia, sistem PPN di Selandia Baru memiliki barang/jasa dengan tarif zero-rated serta pengecualian opsional yang jumlahnya lebih sedikit. Lebih jauh, Selandia Baru juga memungut PPN bagi produk kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan obat-obatan.

Secara keseluruhan, buku ini menganalisis pengecualian PPN yang ekstensif lebih banyak ditemukan pada negara yang memiliki sistem PPN yang cenderung konvensional, sedangkan negara yang menganut sistem PPN yang lebih modern telah mengarah kepada pembatasan pengecualian PPN dan menuju rezim full taxation. Tak heran, semakin banyak yang mempersempit pengecualian PPN belakangan ini.

Perkembangan tren pembatasan pengecualian PPN ini terjadi karena kebijakan tersebut terbukti tidak efektif dalam mencapai tujuan sosial dan redistribusi pendapatan serta menyumbang revenue foregone yang signifikan. Pengecualian PPN juga tak mencerminkan prinsip utama PPN di mana dapat menimbulkan pajak yang lebih tinggi (overtaxation) kepada bisnis dan pajak yang lebih minim (undertaxation) kepada konsumen akhir.

Pada bab-bab selanjutnya, buku yang diterbitkan tahun 2013 ini juga mengupas berbagai diskursus menarik lainnya mengenai konsekuensi serta alternatif kebijakan pengecualian PPN dari beberapa negara. Penasaran? Silakan Anda baca langsung di DDTC Library. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
BERITA PILIHAN
Selasa, 19 Maret 2024 | 17:00 WIB KPP MADYA BATAM

Teguran Tak Ditanggapi, WP Ini Terima Surat Paksa dari Kantor Pajak

Selasa, 19 Maret 2024 | 16:25 WIB IZIN KUASA HUKUM

Ini Aturan Baru Permohonan IKH di Pengadilan Pajak Mulai 12 April 2024

Selasa, 19 Maret 2024 | 16:00 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Ingat! Pengguna Jasa Kepabeanan Bisa Kena Blokir Jika Tidak Lapor SPT

Selasa, 19 Maret 2024 | 15:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Gagal Unduh Formulir e-Form Saat Lapor SPT Tahunan, Coba Cara Ini

Selasa, 19 Maret 2024 | 14:39 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Soal Kenaikan PPN, Sri Mulyani Ikuti Fatsun Politik Pemerintahan Baru

Selasa, 19 Maret 2024 | 14:17 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Soal Kenaikan PPN, DPR Sarankan Tunggu The Fed Turunkan Suku Bunga

Selasa, 19 Maret 2024 | 14:09 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Ditanya DPR soal Kenaikan Tarif PPN, Dirjen Pajak: Kami Sedang Kaji