ANALISIS PAJAK

Mencermati Isu PPh atas Pembentukan Holding BUMN

Jumat, 08 Mei 2020 | 06:37 WIB
Mencermati Isu PPh atas Pembentukan Holding BUMN

Deborah,
DDTC Consulting

IHWAL pembentukan perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) cukup menjadi sorotan publik pada akhir 2016 yang lalu. Salah satu penyebabnya, dimungkinkan terjadinya perpindahan aset negara dari sebuah BUMN kepada BUMN lain atau perusahaan swasta tanpa harus melewati pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berita selengkapnya dapat dibaca di sini.

Di sisi lain memang tidak dapat dipungkiri bahwa laba BUMN berkontribusi terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Bahkan, hingga akhir Maret 2020 terdapat pertumbuhan PNBP kurang lebih sebesar 7% karena terdapat percepatan penyetoran dividen yang dilakukan oleh BUMN. Berita selengkapnya dapat dibaca di sini.

Pada tahun 2018, tercatat sebanyak 114 perusahaan BUMN di Indonesia yang beroperasi di semua sektor usaha (BPS RI, 2019). Banyak kalangan menilai bahwa pembentukan holding BUMN per sektor industri akan memperkuat peran dan kontribusi BUMN terhadap negara.

Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan atau Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) juga mengamini bahwa kedudukan BUMN merupakan elemen penting dalam perekonomian nasional (OECD, 2017).

Mekanisme Inbreng dalam Pembentukan Holding BUMN

Restrukturisasi sehubungan dengan pembentukan holding BUMN umumnya dilakukan melalui mekanisme pengalihan (inbreng) saham. Inbreng saham ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), yang menyebutkan bahwa penyetoran modal saham dapat dilakukan dalam bentuk lainnya.

Lebih lanjut, tahap awal pembentukan holding BUMN dapat diilustrasikan sebagai berikut. Pemerintah melakukan inbreng saham yang dimilikinya di suatu perusahaan (katakanlah PT A), yaitu sebanyak persentase tertentu kepada perusahaan lainnya (katakanlah PT B).

Konsekuensinya, terdapat penambahan penyertaan modal negara (PMN) ke dalam modal saham PT B, sedangkan PT A akan menjadi anak perusahaan dari PT B. Selanjutnya PT B akan menjalankan perannya sebagai holding BUMN untuk sektor industri tertentu.

Pertanyaannya, apa saja implikasi pajak penghasilan yang timbul dari transaksi tersebut di atas?

Pertama, bagi PT A. Perubahan yang terjadi hanya terkait komposisi pemegang saham PT A. Semula saham PT A tersebut dimiliki oleh pemerintah kemudian beralih kepada PT B melalui mekanisme inbreng saham.

Menurut Penulis, bagi PT A tidak menimbulkan implikasi pajak apa pun dikarenakan tidak adanya tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh PT A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) UU PPh.

Kedua, bagi PT B. Mengacu pada bunyi ketentuan Pasal 4 Ayat (3) Huruf ‘c’ UU PPh menandaskan bahwa harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal, bukan merupakan objek pajak. Artinya, penambahan PMN dari pemerintah kepada PT B, tidak dikenakan pajak penghasilan.

Ketiga, bagi pemerintah. Secara umum, keuntungan (capital gain) dari pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal merupakan objek pajak penghasilan (Pasal 4 Ayat (1) Huruf ‘d’ Angka 1 UU PPh).

Kendati demikian, pemerintah tidak termasuk dalam pengertian subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (3) Huruf ‘b’ UU PPh. Untuk itu, tidak ada implikasi pajak yang timbul bagi pemerintah atas transaksi tersebut.

Penggunaan Nilai Buku

Menurut Penulis, memang dalam tahap awal pembentukan holding BUMN umumnya tidak menimbulkan implikasi pajak apa pun. Namun demikian, implikasi pajak atas capital gain memungkinkan terjadi pada tahap-tahap selanjutnya.

Untuk mengantisipasi implikasi pajak yang dimungkinkan timbul sehubungan dengan pembentukan holding BUMN, pemerintah pun telah merilis ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 205/PMK.010/2018 (PMK 205/2018) tentang perubahan atas PMK Nomor 52/PMK.010/2017. PMK 205/2018 ini mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 2018.

Wajib pajak BUMN yang menerima tambahan PMN Republik Indonesia, dapat menggunakan nilai buku sehubungan dengan pemekaran usaha yang dilakukannya. Namun demikian, pemekaran usaha yang dilakukan wajib pajak BUMN tentunya untuk tujuan membentuk holding BUMN (Pasal 1 Ayat (6) Huruf ‘e’ PMK 205/2018).

Selain itu, penggunaan nilai buku hanya diperkenankan setelah mendapatkan persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) (Pasal 1 Ayat 2 PMK 205/2018). Persyaratannya antara lain sebagai berikut.

Pertama, wajib pajak mengajukan permohonan kepada Dirjen Pajak paling lama 6 bulan setelah tanggal efektif pemekaran usaha dilakukan. Wajib pajak juga melampirkan alasan dan tujuan melakukan pemekaran usaha. Kedua, wajib pajak harus memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test).

Ketiga, memperoleh surat keterangan fiskal dari Dirjen Pajak untuk tiap perusahaan terkait. Keempat, dilengkapi dengan surat rekomendasi dari Kementerian BUMN.

Selanjutnya, Dirjen Pajak akan menerbitkan keputusan persetujuan atau penolakan atas permohonan yang diajukan oleh wajib pajak, paling lambat 1 bulan sejak diterimanya permohonan secara lengkap.

(Disclaimer)
Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 23 Februari 2024 | 09:00 WIB ANALISIS PAJAK

Simplifikasi Ketentuan Transfer Pricing Ala Pilar 1 Amount B

Rabu, 21 Februari 2024 | 11:00 WIB ANALISIS PAJAK

Menelusuri Kompleksitas dan Tantangan Penerapan Pilar 1 Amount A

Selasa, 20 Februari 2024 | 11:50 WIB ANALISIS PAJAK

Implementasi ‘Two-Pillar Solution’ Kian Dekat, Siapkah Kita?

Kamis, 25 Januari 2024 | 09:15 WIB ANALISIS PAJAK

Mendesain Pemeriksaan Pajak Berbasis Teknologi dan Risiko Kepatuhan

BERITA PILIHAN