SEMINAR NASIONAL PERPAJAKAN 2021 - FIA UB

Membedah Tren Kebijakan Pajak di Masa Pandemi, Ini Catatan Akademisi

Redaksi DDTCNews | Sabtu, 25 September 2021 | 17:00 WIB
Membedah Tren Kebijakan Pajak di Masa Pandemi, Ini Catatan Akademisi

Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Damas Dwi Anggoro.

MALANG, DDTCNews – Pemerintah melakukan beragam extraordinary actions untuk meredam dampak dari tekanan pandemi Covid-19. Salah satunya, terkait kebijakan perpajakan.

Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Damas Dwi Anggoro memandang extraordinary action tersebut diakomodir pemerintah melalui Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Beleid ini pun ikut mengatur tentang aspek perpajakan.

Belum berhenti di situ, pemerintah bersama parlemen juga sedang menggodok Rancangan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Baca Juga:
Diskon Pajak Pasal 31E UU PPh Bisa Digunakan Tanpa Ajukan Permohonan

"KUP itu dimaknai dengan undang-undang atau hukum pajak formil. Sedangkan hukum pajak materiel adalah ada PPN dan PPh. Setelah keberhasilan UU Ciptaker, pemerintah ingin mengulang keberhasilannya dengan merancang peraturan,” kata Damas dalam Seminar Perpajakan Nasional 2021 FIA Universitas Brawijaya, berjudul Dinamika Kebijakan Fiskal dalam Mempersiapkan Perekonomian Indonesia Pascapandemi, Sabtu (25/9/2021).

Damas menjelaskan poin-poin rencana kebijakan pajak ke depan terbagi atas empat kelompok yaitu Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Pertambahan nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan cukai.

Dalam poin KUP, Damas menyoroti perlunya keselarasan antara RUU KUP dengan asas kepastian hukum. Adanya perbedaan ketentuan antara RUU KUP dan UU Cipta Kerja, menurutnya, justru akan memunculkan kerancuan dan ketidakpastian.

Baca Juga:
OECD Rilis Roadmap Aksesi, Ada 8 Prinsip Pajak yang Perlu Diadopsi RI

"Jika dalam RUU KUP terdapat ketentuan UU Cipta Kerja yang dihapus, mana yang akan dipakai oleh wajib pajak?" tanya Damas.

Dalam hal ini, kedua peraturan perundang-undangan tersebut berada pada level yang sama sehingga tidak dapat berlaku lex specialis derogat legi generali. Prinsip yang berlaku hanyalah lex superior derogat legi inferiori yang berarti hukum baru mengesampingkan hukum lama.

Damas menyarankan pemerintah dan parlemen yang tengah menyusun RUU KUP agar menuliskan secara eksplisit terkait ketentuan mana yang diutamakan. Hal ini dilakukan demi memberikan kepastian hukum.

Baca Juga:
Naikkan Tax Ratio 2025, Kadin Harap Ekstensifikasi Pajak Digencarkan

Dalam poin KUP, Damas juga mengapresiasi pemerintah yang mulai fokus memberlakukan sanksi finansial ketimbang sanksi pidana atas pelanggaran pajak. Pada hakikatnya, sanksi pidana seharusnya menjadi upaya terakhir penegakan hukum pajak atau ultimum remedium.

"Saya setuju dengan pendapat Thuronyi yang menyatakan sanksi finansial akan menaikkan revenue sedangkan penjara hanya akan meningkatkan expenditure," ujarnya.

Berikutnya, dalam poin PPN, Damas menilai perluasan objek pajak atas jasa pendidikan, keuangan, kesehatan, dan lainnya merupakan unpopular policy. Damas menyatakan apabila perluasan ingin diberlakukan, pemerintah harus hati-hati menerapkannya.

Baca Juga:
Ingin Jadi Anggota OECD, Jokowi Bentuk Timnas

"Walaupun di saat bersamaan ketika jasa-jasa tersebut dikenakan pajak nantinya akan ada mekanisme PK-PM. Namun, pada ujungnya yang menjadi end user yaitu masyarakat ini perlu diperhatikan," jelas Damas.

Dalam hal pemberian fasilitas PPN, Damas menyarankan agar pemerintah menjelaskan secara tuntas mana saja yang menjadi objek PPN dan mana yang tidak.

Selanjutnya berkaitan dengan pengenaan PPh. Daman menyampaikan sejumlah kebijakan baru seperti penambahan tax bracket, pengaturan kembali fringe benefits, General Anti Avoidance Rules (GAAR), penyesuaian insentif WP UKM, dan penerapan alternative minimum tax tidak banyak menimbulkan perdebatan.

Baca Juga:
Soal Pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara, Menko Sampaikan Ini

Terakhir pada poin cukai terdapat penambahan objek plastik dan pengenaan pajak karbon. Daman berpendapatan rencana penerapan pajak karbon memancing protes dari para pengusaha karena menyebabkan multiplier effect.

Damas mencontohkan saat pajak karbon dikenakan, harga keramik menjadi mahal. Kemudian, para developer yang menggunakan keramik juga ikut terdampak dan menaikkan harga properti. (vallencia/sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 26 April 2024 | 06:00 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Diskon Pajak Pasal 31E UU PPh Bisa Digunakan Tanpa Ajukan Permohonan

Kamis, 25 April 2024 | 13:00 WIB KEANGGOTAAN OECD

OECD Rilis Roadmap Aksesi, Ada 8 Prinsip Pajak yang Perlu Diadopsi RI

Kamis, 25 April 2024 | 09:30 WIB PROVINSI BENGKULU

Penuhi Amanat UU HKPD, Pemprov Bengkulu Atur Ulang Tarif Pajak Daerah

Kamis, 25 April 2024 | 09:12 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Naikkan Tax Ratio 2025, Kadin Harap Ekstensifikasi Pajak Digencarkan

BERITA PILIHAN
Jumat, 26 April 2024 | 07:00 WIB LITERATUR PAJAK

Hal Unik Ini Hanya Ada di Perpajakan DDTC, Sudah Coba?

Jumat, 26 April 2024 | 06:00 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Diskon Pajak Pasal 31E UU PPh Bisa Digunakan Tanpa Ajukan Permohonan

Kamis, 25 April 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Pegawai Diimbau Cek Kebenaran Pemotongan PPh 21 oleh Pemberi Kerja

Kamis, 25 April 2024 | 18:54 WIB PERMENKOP UKM 2/2024

Level SAK yang Dipakai Koperasi Simpan Pinjam Tidak Boleh Turun

Kamis, 25 April 2024 | 18:30 WIB TIPS PAJAK

Cara Ajukan e-SKTD untuk Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Tagihan Listrik dan Air dalam Sewa Ruangan Kena PPN, Begini Aturannya

Kamis, 25 April 2024 | 17:45 WIB DITJEN PERIMBANGAN KEUANGAN

Imbauan DJPK Soal Transfer ke Daerah pada Gubernur, Sekda, hingga OPD

Kamis, 25 April 2024 | 17:30 WIB KEBIJAKAN ENERGI

Pemerintah Siapkan Tarif Royalti 0% untuk Proyek Hilirisasi Batu Bara

Kamis, 25 April 2024 | 16:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

WP Tak Lagi Temukan Menu Sertel di e-Nofa, Perpanjangan Harus di KPP