PERSPEKTIF

Memandang Jernih Rencana Pengenaan PPN atas Barang Kebutuhan Pokok

Selasa, 15 Juni 2021 | 06:30 WIB
Memandang Jernih Rencana Pengenaan PPN atas Barang Kebutuhan Pokok

Darussalam,
Managing Partner DDTC

Hari-hari ini kita semua digiring ke dalam suatu polemik mengenai pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang kebutuhan pokok, yang oleh media diistilahkan sebagai “PPN sembako”.

Polemik tersebut mencuat dari beredarnya draf revisi UU KUP yang salah satunya mencakup rencana menata ulang jenis barang dan/atau jasa yang tidak dikenai PPN. Atau, dengan istilah lain disebut dengan barang dan/atau jasa tertentu yang dikecualikan sebagai objek PPN.

Terlepas dari penyematan istilah “PPN sembako” yang tidak sepenuhnya tepat, menurut catatan penulis ada tiga area polemik yang dipermasalahkan. Yaitu, (i) anggapan kurang sensitivitasnya pemerintah di tengah pandemi dan pemulihan ekonomi, (ii) framing mengenai ketidakberpihakan kepada masyarakat kecil dan ketimpangan, serta (iii) risiko inflasi.

Apakah memang benar demikian permasalahannya? Sayangnya, narasi publik yang dimunculkan atas polemik di atas luput dan cenderung abai dalam memaknai PPN berdasarkan konsep dasar dan desain kebijakannya secara filosofis. Khususnya, terkait dengan kebijakan pengecualian atas barang dan/atau jasa tertentu sebagai objek PPN.

Melalui artikel ini, penulis berupaya mendudukkan persoalan pengecualian barang dan/atau jasa tertentu sebagai objek PPN secara lebih jernih. Untuk mengupas isu tersebut, kita harus memahami dahulu mengenai konsep dasar PPN.

Konsep Dasar PPN

PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa yang bersifat umum. Kata umum ini membedakan PPN dengan jenis pajak konsumsi lainnya yang bersifat spesifik, seperti cukai dan bea masuk.

Kata ‘konsumsi’ sejatinya merujuk pada konsumsi pribadi (private consumption), bukan konsumsi produktif (productive consumption). Jadi, pengenaan PPN ditujukan atas konsumsi pribadi yang dilakukan konsumen akhir (Vanistendael, 1999).

Mekanisme pengenaan PPN dilakukan melalui pemungutan oleh pihak penjual barang dan/atau pemberi jasa. Penjual atau pemberi jasa sebagai pemungut PPN tersebut disebut sebagai taxable person, yang dalam konteks Indonesia disebut dengan pengusaha kena pajak (PKP). Oleh karena mekanisme tersebut, PPN disebut sebagai pajak tidak langsung.

PPN dipungut oleh PKP atas penyerahan barang dan/atau jasa yang umumnya tanpa memperhatikan kemampuan atau ability to pay pihak yang melakukan pembelian barang dan/atau yang mengkonsumsi jasa. Atas dasar ini, PPN disebut sebagai pajak objektif dan bersifat regresif.

Artinya, sebagai pajak objektif dan bersifat regresif, jika suatu barang dan/atau jasa dikenakan sebagai objek PPN, pihak yang mampu atau tidak mampu akan membayar jumlah PPN yang sama, tentu ini tidak adil.

Demikian pula, apabila barang dan/atau jasa tertentu tidak dikenakan PPN atau dikecualikan sebagai objek PPN maka pihak yang mampu dan tidak mampu sama-sama tidak membayar PPN, tentu ini juga tidak adil.

Jadi, dikenakan atau tidak dikenakan (dikecualikan) suatu barang dan/atau jasa sebagai objek PPN akan sama-sama menimbulkan isu ketidakadilan. Inilah karekteristik PPN yang perlu kita sadari.

Pemungutan PPN dilakukan oleh PKP atas setiap penyerahan barang dan/atau jasa di semua proses tahapan produksi dan distribusi atau rantai pasokan. PPN yang dipungut oleh PKP terkait dengan penyerahan barang dan/atau jasa jasa disebut sebagai pajak keluaran.

Dalam rangka menjalankan kegiatan usaha, PKP tentu juga melakukan pembelian barang dan/atau jasa yang dipungut PPN oleh PKP lain dalam rantai pasokan sebelumnya. PPN yang dipungut atas perolehan barang dan/atau jasa tersebut disebut sebagai pajak masukan.

Untuk memastikan bahwa PPN dikenakan kepada konsumen akhir, PKP yang diberikan kewajiban untuk memungut PPN atas penyerahan barang dan/atau jasa juga diberikan hak untuk mengkreditkan PPN yang dibayarkannya (pajak masukan) atas perolehan barang dan yang digunakan dalam rangka menjalankan kegiatan usaha (Darussalam, Septriadi, dan Dhora, 2018).

Hak untuk dapat mengkreditkan inilah yang menjamin PKP bukan sebagai pihak yang menanggung beban PPN. Inilah salah satu wujud terpenting dari prinsip netralitas dalam konsep PPN yang mana PKP hanya menyetorkan selisih lebih pajak keluaran terhadap pajak masukan.

Prinsip netralitas mencegah adanya pajak atas pajak (cascading effect) yang berdampak pada kenaikan harga yang diterima oleh konsumen akhir, sebagaimana sebelumnya menjadi karakteristik dalam pajak penjualan (PPn).

Singkatnya, menurut Lejeune, Daou-Azzi, dan Powell (2009), prinsip netralitas PPN dapat dicapai melalui beberapa aspek. Pertama, PPN harus dikenakan secara umum atas seluruh penyerahan/impor barang dan/atau jasa.

Kedua, harus dipungut di setiap tahap produksi dan rantai distribusi, di mana tiap pihak yang terlibat dapat mengkreditkan pajak masukan untuk menjamin bahwa konsumen akhir yang akan menanggung beban PPN.

Ketiga, PKP harus dapat melakukan pengkreditan pajak masukan agar PPN tidak menjadi biaya. Terakhir, menganut prinsip destinasi, di mana PPN hanya dikenakan di yurisdiksi tempat barang dan/atau jasa diserahkan atau dikonsumsi.

Deviasi Implementasi PPN

Faktanya, desain dan penerapan PPN di berbagai negara kerap berbeda dengan filosofi PPN yang telah diulas sebelumnya. Adanya deviasi memberikan dampak terhadap netralitas PPN. Salah satu deviasi PPN tercermin dalam pengecualian barang dan/atau jasa tertentu sebagai objek PPN.

Di Indonesia, skema pengecualian barang dan/atau jasa tertentu sebagai objek PPN dapat kita temui pada Pasal 4A UU PPN, dikenal sebagai barang tidak kena pajak (BTKP) dan jasa tidak kena pajak (JTKP). Barang dan/atau jasa yang dikecualikan antara lain barang kebutuhan pokok, barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, jasa pendidikan, jasa keuangan, dan sebagainya.

Perlu dicatat bahwa pengecualian barang dan/atau jasa tertentu dari objek PPN memiliki dua implikasi. Pertama, PKP tidak memungut PPN atas penyerahan barang dan/atau jasa yang dikecualikan tersebut. Kedua, atas pajak masukan yang timbul dari input yang dipergunakan untuk menyediakan barang dan/atau jasa yang dikecualikan tersebut tidak dapat dikreditkan.

Lantas, apa implikasinya terhadap pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut? Tentu, pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut akan menjadi biaya bagi PKP yang dapat mengurangi margin laba PKP.

Atau, PKP melakukan skema pass-through atas pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan terhadap harga jual. Kalau ini terjadi, pengecualian barang dan/atau jasa tertentu sebagai objek PPN akan menyebabkan kenaikan harga jual. Inilah pentingnya untuk tetap menjaga netralitas PPN.

Evaluasi

Lantas, sebenarnya apa hal-hal yang perlu kita pertimbangkan dalam rangka mengevaluasi dan menata ulang barang dan/atau jasa yang dikecualikan sebagai objek PPN di Indonesia?

Pertama, justifikasi. Ditinjau dari sejarahnya, mekanisme pengecualian barang dan/atau jasa sebagai objek PPN didorong oleh dua faktor. Faktor pertama ialah pertimbangan pragmatisme politik agar PPN dapat diterima oleh publik.

Kita perlu tahu bahwa pada awalnya PPN hadir untuk menggantikan skema pajak konsumsi sebelumnya, yakni pajak penjualan (PPn). Menariknya, gagasan mengenai pengecualian barang dan/atau jasa tertentu sebagai objek PPN awalnya melekat dengan skema ‘fasilitas’ yang ada dalam sistem PPn (Fereira dan Krever, 2013).

Faktor lainnya adalah pertimbangan teknis, yang memiliki argumentasi yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademis. Sayangnya, dominasi faktor pragmatisme politik -tanpa didukung evidence-based policy- kerap menjadi konsideran dan terus mewarnai desain PPN di berbagai negara.

Kedua, mendistorsi perilaku ekonomi. Pada umumnya, kita kerap terburu-buru menganggap bahwa pengecualian barang dan/atau jasa tertentu sebagai objek PPN akan menguntungkan dan tidak memberikan implikasi negatif. Sayangnya, pengecualian PPN ternyata memberikan dampak distorsi yang kerap tersembunyi dari radar konsumen maupun produsen.

Misalkan, suatu PKP menjual barang yang dikecualikan dari objek PPN, atas pajak masukan yang timbul dari kegiatan usaha untuk menyerahkan barang tersebut -semisal pengepakan, transportasi, gudang, dan sebagainya- tidak dapat dikreditkan sehingga menjadi unsur biaya bagi PKP.

Tidak hanya itu, pengecualian serta pembebasan PPN berpotensi menciptakan insentif bagi penyediaan input secara mandiri oleh PKP (self-supply). Adanya distorsi dan ketidakpastian yang timbul akibat pengecualian PPN dari salah satu input dalam rantai pasokan, mendorong integrasi vertikal dan penguasaan dari hulu ke hilir (Ebril at al,  2001).

Ketiga, dampak terhadap penerimaan pajak. Adanya broken chain dalam skenario pengecualian barang dan/atau jasa tertentu sebagai objek PPN turut berdampak bagi optimalisasi penerimaan PPN. Yaitu, secara teori, terdapat potensi revenue forgone karena harga barang dan/atau jasa tertentu tersebut menjadi lebih rendah.

Namun demikian, dalam rangka mempertahankan margin laba, terdapat kemungkinan PKP akan melakukan praktik pass-through terhadap pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan dalam harga jual barang dan/atau yang yang tidak dikenai PPN tersebut. Akibatnya, harga akhir yang diterima konsumen akan menjadi lebih mahal.

Walaupun skema pass-through tersebut akan meningkatkan penerimaan PPN, tetapi akan berdampak kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah (Abramovsky, Phillips, dan Warwick, 2012). Singkatnya, dampak pengecualian PPN terhadap penerimaan bersifat dua arah yang membuat estimasinya kian sulit untuk diprediksi.

Keempat, fasilitas atas barang kebutuhan pokok dan keberpihakan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Fasilitas bagi barang kebutuhan pokok kerap dijustifikasi sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan vertikal khususnya dalam mengurangi sifat alami PPN yang regresif.

Namun demikian, efektivitas kebijakan ini kerap dipertanyakan. Selain karena tingginya tax expenditure, skenario tersebut belum tentu berjalan dengan optimal dalam konteks negara berkembang dengan sektor informal yang tinggi.

Studi yang dilakukan oleh Bachas, Gadenne, dan Jensen (2020) di 31 negara berkembang menjelaskan fenomena tersebut. Di negara berkembang, kelompok berpenghasilan rendah umumnya melakukan konsumsi barang kebutuhan pokok dari sektor informal, seperti di pasar tradisional yang pada umumnya tidak terdapat mekanisme PPN.

Seiring dengan meningkatnya penghasilan, konsumen akan beralih melakukan konsumsi pada sektor formal yang pada umumnya telah terdapat mekanisme PPN. Akibatnya, jika suatu barang dan/atau jasa kebutuhan pokok dikecualikan dari PPN, justru akan lebih banyak dinikmati oleh kelompok berpenghasilan menengah ke atas. Pasalnya, kelompok tersebut membeli barang kebutuhan pokok dari sektor formal yang notabene memperoleh pengecualian PPN.

Oleh karena itu, skenario yang dirasa lebih tepat ialah dengan tetap memungut PPN atas barang kebutuhan pokok disertai dengan program redistribusi sosial yang lebih baik (Godbout dan Gerny, 2011). Kalaupun akhirnya ada skema pengecualian barang/atau jasa tertentu sebagai objek PPN, dalam rangka memenuhi aspek keadilan, dapat diberikan melalui skema multitarif (Ebril et al, 2001).

Kelima, kaitannya dengan perdagangan internasional. Harga produk dalam negeri yang tidak dikenakan PPN cenderung tidak kompetitif jika dibandingkan dengan produk impor. Pelaku usaha dari negara yang tidak mengenakan skema pengecualian PPN mampu membuat harga produk yang lebih murah karena pajak masukan yang timbul dari input produksinya dapat dikreditkan.

Di sisi lain, PKP yang menyediakan barang dan/atau jasa yang dikecualikan dari PPN justru akan lebih memilih melakukan ekspor ke luar negeri dengan tarif 0% daripada penyerahan dalam negeri. Tujuannya, agar tetap bisa mengkreditkan pajak masukan (Ebril et al, 2001). Dari kedua ilustrasi tersebut, tentu kita perlu mencermati sejauh mana dampak pengecualian PPN bagi neraca perdagangan Indonesia.

Keenam, skema pengecualian PPN cenderung ‘menular’ dan semakin luas. Fenomena ini muncul karena dalam implementasinya, pemerintah akan mendapatkan permintaan fasilitas lanjutan dari dunia usaha terhadap barang dan/atau jasa yang dipergunakan dalam rantai pasokan yang sama.

Tidak heran jika penemu PPN, Maurice Laure, menyebutkan bahwa pengecualian barang dan/atau jasa tertentu sebagai objek PPN merupakan kanker yang menjalar dan menggerogoti sistem PPN (Abramovsky, Phillips, dan Warwick, 2012).

Dalam konteks Indonesia, kita perlu secara jujur mengakui bahwa perkembangan barang dan/atau jasa tertentu yang dikecualikan sebagai objek PPN kian banyak dan membuat sistem PPN kita semakin kompleks.

Ketujuh, pengenaan PPN atas seluruh barang dan/atau jasa sesungguhnya bermanfaat bagi otoritas pajak, terutama dalam mengumpulkan informasi dan data aktivitas ekonomi di setiap rantai pasokan. Relevansi ini kian kuat terutama dalam situasi kepatuhan pajak yang belum optimal (Ahmad dan Best, 2012).

Dari uraian di atas, pembatasan pengecualian barang dan/atau jasa tertentu sebagai objek PPN di Indonesia perlu ditata kembali untuk menuju sistem PPN yang bersifat netral yang tidak mendistorsi perekonomian. Serta, yang terpenting, hasil dari penerimaan PPN harus sebanyak mungkin dialokasikan kembali kepada pihak-pihak yang terdampak dari sifat dasar pemungutan PPN ini sebagai pajak objektif yang bersifat regresif.

Lebih lanjut, sebagai pihak atau konsumen akhir yang dituju untuk menanggung beban PPN, justru punya daya tawar yang tinggi untuk menuntut alokasi uang pajak yang lebih berkeadilan, lebih bijak, dan lebih bermanfaat.

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

16 Juni 2021 | 17:52 WIB

Artikel yang sangat bagus dan menggunakan istilah yang mudah dimengerti serta disajikan dengan padu. Artikel ini juga menarik karena mengusung fenomena yang masih hangat. Terkait dengan barang kebutuhan pokok, menurut Pasal 4A UU No.8 Tahun 1983 s.t.d.t.d. UU No.42 Tahun 2009 Tentang PPN sudah menjadi barang yang tidak dikenai PPN. Kericuhan yang terjadi di masyarakat karena beredarnya draf UU KUP yang mengeluarkan barang kebutuhan pokok dari daftar barang yang tidak dikenai PPN. Sayang sekali masyarakat kita terburu gegabah sehingga kurang paham apabila hanya sembako premium yang kelak akan dikenakan PPN Artikel selanjutnya mungkin dapat dibahas lebih mendalam mengenai dampak apabila barang kebutuhan pokok premium dikenakan PPN, efeknya terhadap penerimaan negara dan bagaimana perencanaan pajak yang mungkin akan dilakukan oleh PKP penjual barang kebutuhan pokok premium Terima kasih, sukses selalu DDTC!

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 19 Maret 2024 | 14:17 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Soal Rencana Kenaikan PPN Jadi 12 Persen, DPR Minta Ada Kajian Ulang

Selasa, 19 Maret 2024 | 14:09 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Ditanya DPR soal Kenaikan Tarif PPN, Dirjen Pajak: Kami Sedang Kaji

Selasa, 19 Maret 2024 | 12:21 WIB PENERIMAAN PAJAK

Turun 3,9 Persen, Realisasi Penerimaan Pajak Tembus Rp269 Triliun

Selasa, 19 Maret 2024 | 09:30 WIB LITERATUR PAJAK

Tidak Semua Rumah Bebas PPN! Cek Syarat & Ketentuannya di Sini

BERITA PILIHAN