OPINI PAJAK

Memahami, Memaknai, dan Menyikapi Putusan MK atas PUU Cipta Kerja

Redaksi DDTCNews
Rabu, 12 Januari 2022 | 11.50 WIB
ddtc-loaderMemahami, Memaknai, dan Menyikapi Putusan MK atas PUU Cipta Kerja

Yeheskiel Minggus Tiranda,

Anggota Dewan Pembina Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (Atpetsi)

ISU hukum yang menjadi perhatian pada penghujung 2021 adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengujian Undang-Undang [PUU] Cipta Kerja. Perkara ini menjadi perhatian publik karena ini pertama kalinya MK memutus perkara uji formal produk hukum UU.

Dari aspek teori hukum, tidak banyak hal yang mengemuka dan menjadi perdebatan. Mungkin karena ini ranahnya uji formal sehingga semua aspek teori legislasi sudah menjadi perdebatan saat UU Cipta Kerja masih dalam proses penyusunan, mengingat model yang dipakai adalah omnibus.

Kurang lebih 1 bulan pascaterbitnya Putusan Nomor 91/PUU-XVIII tanggal 25 November 2021 diucapkan Hakim MK, komentar dan pendapat dari banyak pihak sangat beragam. Ada yang bersifat reaktif, ada juga yang responsif.

Seperti apa kita memahami putusan ini? Hal ini tentu akan sangat membantu untuk memaknainya sehingga pada akhirnya bisa dijadikan acuan dalam menyikapi putusan MK.

Jenis dan Sifat Putusan MK

PUTUSAN MK atas perkara PUU Cipta Kerja adalah putusan bersyarat. Persisnya adalah inkonstitusional bersyarat. Namun, jika didalami amar putusannya, perlu analisis mendalam untuk bisa membedakan hakim condong ke inkonstitusional atau konstitusional.

Jenis putusan seperti ini sudah banyak dibuat MK. Dalam kurun 2003-2017, tercatat ada kurang lebih 132 putusan bersyarat di MK. Dari jumlah itu, terdapat 17 yang dikategorikan konstitusional bersyarat dan 115 inkonstitusional bersyarat.

Hal yang unik adalah ada 7 putusan yang amarnya konstitusional bersyarat tetapi kesimpulan akhir putusannya justru inkonstitusional bersyarat (Faiz Rahman, 2020).

Berdasarkan pada dokumentasi putusan, pada awalnya, ragam putusan MK tidak mengenal putusan bersyarat. Baru pada 2004, putusan jenis ini muncul dalam Putusan 058, 059, 060, dan 063 /PUU-II/2004 tentang PUU Sumber Daya Air pada 2004.

Dinamika seperti ini juga dialami MK di negara lain, misalnya MK Korea Selatan yang sejak 1990 sudah menerapkan putusan bersyarat. Secara spesifik, terminologi putusan bersyaratnya dibagi dalam kategori unconstitutional as interpretd dan constitutional as interpreted.

Intinya adalah jika terdapat norma UU yang maknanya tidak jelas maka MK harus memberi interpretasi agar norma yang diuji tidak dinyatakan inkonstitusional (Jibong Lim, 2001).

Konsekuensi Isi Putusan

SECARA singkat, isi putusan MK atas PUU Cipta Kerja adalah mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Maksimal 2 tahun ke depan, UU Cipta Kerja harus diperbaiki.

Artinya, UU Cipta Kerja pada dasarnya inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional jika persyaratan yang ditentukan dalam putusan MK telah dilaksanakan.

Konsekuensi label inkonstitusional adalah MK meminta semua aturan turunan UU Cipta Kerja tidak dibuat dahulu. Hal ini dikarenakan harus ada perbaikan UU Cipta Kerja terlebih dahulu sebagai persyaratan UU Cipta Kerja tidak menjadi inkonstitusional permanen. Di sinilah letak perbedaannya dengan putusan yang konstitusional bersyarat.

Jika melihat histori putusan-putusan MK, sebetulnya dari sisi substansial, kedua putusan ini hampir tidak berbeda. Ini bisa ditelusuri dalam Putusan MK Nomor 54/PUU-VI/2008 tentang PUU Cukai antara lain menyatakan "... Pasal a quo pada saat sekarang adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana dimaksud di atas dipenuhi. ..."

Merujuk pada statistik putusan MK dalam rentang 2003-2017, putusan MK ternyata lebih banyak memutus perkara yang bunyi putusannya adalah inkonstitusional bersyarat.

Alasan MK memilih untuk lebih menggunakan jenis putusan inkonstitusional bersyarat bisa ditelusuri dalam Putusan Nomor 54/PUU-VI/2008, yakni MK menganggap putusan konstitusional bersyarat sering tidak efektif karena para addressaat (pihak yang dituju oleh putusan) menganggap tidak perlu melakukan apa-apa, bahkan sekalipun amar putusannya menolak (Faiz Rahman, dkk, 2016)

Berdasarkan hal tersebut, pada dasarnya putusan MK dalam PUU Cipta Kerja dapat digeser dari inkonstitusional menjadi konstitusional. Tentu dengan melaksanakan syarat yang diminta dalam putusan MK.

Hal lain yang perlu jadi perhatian adalah sekalipun pada prinsipnya kedua jenis putusan ini sama, impikasinya sangat berbeda secara terminologi. Apalagi, jika ini dikaitkan dengan sifat putusan MK yang serta merta mengikat.

Bukan saja pemerintah yang terikat terkait dengan tindakan-tindakan hukum pascapenetapan UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional bersyarat, melainkan juga tindakan warga negara yang menjalankan UU Cipta Kerja serta merta menjadi ikut inkonstitusional bersyarat.

Dengan demikian, dalam konteks hukum formal, putusan MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dapat lebih dimaknai sebagai perintah “lahir kembali” dari UU yang dimaksud.

Melahirkan kembali sebuah UU tentu banyak tantangannya. Apalagi dengan melihat dinamika politik legislasi di Indonesia yang total berubah pasca-amendemen UUD 1945. Posisi lembaga parlemen menjadi sangat kuat dalam proses legislasi. Kondisi ini menjadi makin kompleks dengan sistem politik yang multipartai. Sebuah UU pada akhirnya akan lahir dari proses politik di parlemen.

Dalam situasi proses legislasi tersebut, MK sedari awal perlu diposisikan sebagai bagian kritikal pada kemudian hari. Hal ini mengingat kewenangan MK bukan hanya terkait uji materiel, melainkan juga uji formal.

Untuk proses uji formal, MK sendiri memang harus memperluas interpretasi hukumnya. Hal ini dikarenakan secara eksplisit, konstitusi kita tidak memiliki norma terperinci tentang standar proses legislasi dalam teks UUD 1945 yang bisa dijadikan sebagai batu uji.

Hal di atas sangat jelas dinyatakan oleh hakim MK dalam pertimbangannya pada perkara PUU Nomor 91 ini. Yang djadikan sebagai batu uji (toetsing) justru UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam hal ini, UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019.

Perubahan terakhir inilah yang menurut MK ternyata belum mengadopsi prinsip-prinsip omnibus yang dipakai UU Cipta Kerja. Dengan kata lain, kalau pemerintah dan parlemen ingin menggunakan model omnibus, seharusnya proses legislasi semacam ini harus diberikan payung hukum.

Hal lain dalam Putusan Perkara PUU Nomor 91 yang perlu dimaknai adalah terkait dengan prinsip MK sebagai legislator negatif tidak muncul dalam kasus ini. Artinya, dalam putusan ini, kita tidak melihat MK menciptakan norma hukum yang baru. Mungkin karena ini lebih ke ranah uji formal. Walaupun demikian, hal menarik yang perlu menjadi kajian adalah interpretasi MK tentang persona standi in judicio dari pemohon.

Salah satu pemohon yang menarik untuk dianalisis adalah pemohon yang berprofesi sebagai dosen. Berdasarkan pada putusan, hakim MK menilai pemohon tersebut adalah pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya. Materi kuliah sebagai syarat pekerjaannya selama ini menjadi ikut dirugikan oleh UU Cipta kerja.

Hal tersebut dikarenakan teori proses perundang-undangan yang selama ini diajarkan oleh pemohon ternyata berbeda dengan praktek ketatanegaraan yang diwujudkan saat menyusun UU Cipta Kerja menggunakan metode omnibus.

Hal ini jelas merugikan dia karena tidak ada kepastian hukum. Padahal, menurut Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan kepastian hukum. Dalam hal ini, MK menilai kapasitas permohon dianggap telah memenuhi syarat dalam uji formal UU Cipta Kerja.

Menyikapi Putusan

SEKARANG, bagaimana menyikapi putusan MK yang perintahnya mensyaratkan UU Cipta Kerja diperbaiki agar kembali menjadi konstitusional? Apa saja yang harus diperbaiki dan siapa yang harus memperbaiki? Semua isu hukum ini harus terjawab dalam kurun waktu 2 tahun pascadiucapkannya putusan.

Jangka waktu tersebut tentu akan menjadi sangat singkat jika melihat konstelasi politik parlemen menjelang pesta demokrasi pada 2024. Apalagi, dengan sistem multipartai, pekerjaan membuat UU adalah sesuatu yang dinamis sekali di Indonesia.

Situasi saat UU Cipta Kerja dibuat pada 2020 akan berbeda dengan situasi saat ini dan beberapa waktu ke depan. Komitmen partai pendukung pemerintah di parlemen harus tetap solid jika semangatnya masih sama saat awal mengusung UU model omnibus.

Jika putusan MK dimaknai bahwa perbaikan itu identik dengan ‘lahir kembali’ maka bisa dibayangkan seperti apa proses kerumitan hukum formalnya. Tidak banyak pilihan strategi yang bisa dilakukan dalam menghadapi situasi diatas.

Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, kecuali terlebih dulu memberi landasan hukum terhadap omnibus model dalam sistem hukum di Indonesia. Pilihan strategisnya adalah pertama, UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan perlu segera diamendemen. Dalam amendemen, perlu dimasukkan aturan tentang prinsip hukum model omnibus sehingga model ini memiliki payung hukum di Indonesia.

Kedua, bagian konsiderans dari UU Cipta Kerja diperbaiki dengan mencantumkan UU hasil amendemen tadi. Setelah semua itu dilakukan, jika keadaan menjadi sangat mendesak, perbaikan UU Cipta Kerja bisa dilakukan melalui Perpu saja, terlebih jika tidak ada materi UU yang diubah.

Mekanisme di atas tentu tidak menjamin tidak akan ada uji formal berikutnya. Mungkin saja setelah diperbaiki, pihak terdampak bukan lagi mengajukan uji formal melainkan mengajukan uji materiel mengingat ada kurang lebih 78 UU sektoral yang terdampak.

Situasi di atas setidaknya sedikit banyak mewakili potret rumitnya statutory regulation di negara civil law yang sangat mengandalkan proses pembentukan hukum tertulis. Belum lagi situasi demokrasi yang berkembang membawa tuntutan pengaturan berbagai hal dalam legislasi dan regulasi tertulis.

Dampak dari berbagai kerumitan di atas pada akhirnya kita rasakan pada sistem hukum di Indonesia hingga saat ini. Sebagai catatan, data pada 2019 saja menunjukkan jumlah total regulasi di Indonesia sudah hyper regulation. Angkanya mencapai 42.996 regulasi, baik itu pemerintah pusat, daerah, kementerian, maupun lembaga (Media Indonesia, 2019).

Warisan kondisi seperti ini tentu sangat berpotensi menciptakan disharmoni regulasi. Inilah yang mendorong fenomena omnibus (Richard Susskind, 2005 ). Walaupun demikian, fenomena omnibus tetap menghadapi tantangan dalam berbagai aspek. Tantangan itu mulai dari pembuatan dan penyusunan draf, persiapan naskah akademis, kendala terbatasnya peran serta pihak terkait, serta terbatasnya supervisi dan konsultasi.

Di balik fenomena ini, tidak bisa dimungkiri adanya keunggulan omnibus, yakni kompromi politik akan mudah dicapai mengingat banyaknya opsi yang bisa dinegosiasikan karena juga banyaknya isu hukum antarsektoral (Louis Massicotte, 2013).

Putusan MK perlu disikapi sebagai momentum memperbaiki proses legislasi dalam sistem hukum Indonesia. Apalagi, saat ini sudah banyak turunan dari UU Cipta Kerja.

Salah satu UU yang konsideransnya mengacu pada UU Cipta Kerja adalah UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang berlakunya sudah mulai 2022. 

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.