Dosen Hukum Pajak Fakultas Hukum UGM Irine Handika Ikasari memaparkan materi. (tangkapan layar Youtube)
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah perlu mempertimbangan beberapa aspek jika ingin mengenakan pajak karbon di Indonesia.
Dosen Hukum Pajak Fakultas Hukum UGM Irine Handika Ikasari mengatakan terdapat 3 aspek yang perlu diperhatikan sebelum pemerintah menerapkan pajak karbon.
Pertama, pemerintah perlu menentukan karakteristik sektoral yang akan terdampak kebijakan pajak karbon, seperti sektor penyedia listrik atau pada tingkat konsumen yang menggunakan barang menghasilkan karbon.
Kedua, pemerintah perlu memperhatikan basis hukum penerapan pajak. Menurutnya, pungutan atas emisi karbon harus sejalan dengan regulasi perpajakan yang berlaku di Indonesia. Ada banyak opsi, seperti masuk sebagai bentuk pajak baru, jenis cukai baru, atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
"Legal structure perlu diatur. Apakah kita akan mengenakan pajak atas mesin atau mobil yang menghasilkan karbon? Lalu, kapan harus dipungut? Apakah setiap tahun atau hanya satu kali?" katanya dalam acara Afternoon Tax talk FH UGM, dikutip pada Jumat (30/4/2021).
Ketiga, pemerintah harus memperhatikan penerapan earmarking tax dalam implementasi pajak karbon. Menurutnya, aspek ketiga ini akan menentukan berhasil atau tidaknya pemerintah menerapkan pajak untuk mengurangi emisi karbon.
Menurutnya, earmarking tax pada pajak karbon perlu diatur agar pemerintah tidak terjebak dalam penerapan kebijakan pajak untuk mengumpulkan penerimaan semata. Tujuan utama dari kebijakan adalah dukungan terhadap berkurangnya tingkat polusi.
"Jadi kalau mau terapkan pajak karbon maka perlu diatur juga earmarking tax dalam UU, berapa persentase khusus alokasi belanja dari hasil penerimaan pajak karbon untuk mengatasi masalah emisi," terangnya.
Irine menyebut penerapan pajak karbon di Indonesia sejatinya bisa diterapkan karena didukung momentum internasional untuk mengatasi dampak perubahan iklim melalui kebijakan fiskal. Adapun sektor yang potensial dikenakan pajak karbon saat ini adalah penyedia listrik.
Pasalnya, lebih dari 90% pembangkit listrik di Indonesia bersumber dari energi batu bara. Selain itu, sektor energi juga menjadi penyumbang emisi yang signifikan dengan tingginya konsumsi bahan bakar minyak untuk mendukung mobilitas masyarakat.
"Untuk domestik, penghasil emisi terbesar itu dari pembangkit listrik dan transportasi. Kalau mau meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan menuju zero emission maka quick win-nya dari listrik," imbuhnya. (kaw)