PROSES penyidikan menjadi salah satu tahapan penting untuk menyelesaikan suatu sengketa pidana. Proses penyidikan tidak hanya dilakukan di bidang pidana, tetapi juga berlaku di bidang hukum perpajakan.
Berkaitan dengan hal tersebut, pada artikel sebelumnya telah diuraikan mengenai definisi dan tujuan penyidikan di bidang perpajakan. Selanjutnya, artikel ini menjelaskan kewenangan penyidik di bidang perpajakan.
Perlu dipahami terlebih dahulu, terdapat dua pihak yang dapat menjadi penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Adapun dua pihak yang memegang peran penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Lantas, siapakah pihak yang dapat melakukan proses penyidikan di bidang perpajakan? Kemudian, apa sajakah kewenangan penyidik pajak tersebut?
Ketentuan terkait dengan pihak yang dapat menjadi penyidik pajak beserta kewenangannya diatur dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) s.t.d.t.d. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Dalam Pasal 1 angka 32 juncto Pasal 44 ayat (1) UU KUP, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Ditjen Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Proses penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Lebih lanjut, terdapat 11 kewenangan penyidik pajak yang diatur dalam Pasal 44 ayat (2) UU KUP. Pertama, menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas.
Kedua, meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ketiga, meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan. Keempat, memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
Kelima, melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut. Penyitaan tersebut dapat dilakukan, baik terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak, termasuk rekening bak, piutang, dan surat berharga milik wajib pajak, penanggung pajak, dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Keenam, meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Ketujuh, menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa.
Kedelapan, memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan. Kesembilan, memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
Kesepuluh, menghentikan penyidikan. Kesebelas, melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan Pasal 44 ayat (4), dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan, penyidik dapat meminta bantuan apparat penegak hukum lain. Kewenangan penyidik di bidang perpajakan memegang kunci keberhasilan proses penyidikan.
Apabila penyidik pajak tersebut tidak memiliki kewenangan yang kuat dan mengikat maka ada kemungkinan proses penyidikan tidak dapat berjalan secara optimal. (kaw)