PADA prinsipnya, wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan tersebut diatur dalam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 8 tahun 2007 (UU KUP).
Proses pembukuan juga merupakan aspek yang paling krusial di bidang cukai. Sebab, proses pembukuan menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung besarnya cukai yang terutang. Lantas, bagaimanakah ketentuan dan prosedur pembukuan dalam cukai?
Pengaturan mengenai pembukuan di bidang cukai tertuang dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 s.t.d.t.d. Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai (UU Cukai) beserta aturan pelaksanaannya.
Aturan pelaksana terkait dengan pembukuan di bidang cukai ialah Peraturan Menteri Keuangan No. 197/PMK.04/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan pembukuan di Bidang Kepabeanan dan Cukai (PMK 197/2016).
Definisi pembukuan di bidang cukai sendiri dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 PMK 197/2016. Dalam beleid tersebut, pembukuan diartikan sebagai suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi yang meliputi dan mempengaruhi keadaan harta, kewajiban, modal, pendapatan, dan biaya yang secara khusus menggambarkan jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa serta pencatatan arus keluar masuknya sediaan barang yang kemudian diikhtisarkan dalam laporan keuangan.
Dalam Pasal 16 ayat (1) UU Cukai ditegaskan pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai (BKC), atau penyalur yang wajib memiliki izin wajib menyelenggarakan pembukuan.
Kewajiban pembukuan tersebut dikecualikan bagi pengusaha pabrik skala kecil, penyalur skala kecil yang wajib memiliki izin, dan pengusaha tempat penjualan eceran yang wajib memiliki izin. Sesuai dengan Pasal 16 ayat (3) UU Cukai, pengusaha pabrik wajib memberitahukan secara berkala tentang BKC yang selesai dibuat kepada kepala kantor KPP.
Lebih lanjut, berdasarkan pada Pasal 16A UU Cukai, pembukuan wajib diselenggarakan dengan baik yang mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya dan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, pendapatan, biaya, dan arus keluar masuknya BKC.
Pembukuan wajib diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, mata uang rupiah, serta bahasa Indonesia, atau dengan mata uang asing dan bahasa lain yang diizinkan.
Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) PMK 197/2016, buku, catatan, dokumen, surat yang asli dapat dialihkan ke dalam bentuk elektronik. Setiap pengalihan buku, catatan, dokumen, surat dan laporan keuangan wajib dilegalisasi.
Adapun buku, catatan, dokumen, laporan keuangan, dan surat tersebut mempunyai kekuatan pembuktian otentik dan mengandung kepentingan hukum tertentu sehingga wajib tetap disimpan. Penyimpanan terhadap laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen harus dilakukan selama 10 tahun pada tempat usahanya di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 8 PMK 197/2016.
Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir BKC, atau penyalur yang tidak menyelenggarakan pembukuan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp50 juta.
Sementara itu, pengusaha pabrik skala kecil, penyalur skala kecil dan pengusaha tempat penjualan eceran yang tidak melakukan pencatatan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp10 juta. Adapun sanksi administrasi tersebut tertuang dalam Pasal 16 ayat (4) dan ayat (5) UU Cukai. (kaw)