PEJABAT pemungut bea meterai merupakan pihak yang berwenang untuk melakukan pemungutan bea meterai dari pihak terutangnya. Namun, bagaimanakah menentukan pihak yang akan dibebankan utang bea meterai tersebut?
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai (UU Bea Meterai), yang dimaksud dengan pihak terutang adalah pihak-pihak yang dikenai bea meterai dan karena itu wajib membayarnya sesuai dengan jumlah yang terutang padanya.
Pihak-pihak tersebut menjadi terutang atas bea meterai karena memiliki kepentingan untuk membuat dua jenis dokumen, yakni dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata serta dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Pihak Terutang
MENGACU pada ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) sampai (5) UU Bea Meterai, pihak-pihak yang terutang atas bea meterai ditentukan dari pihak yang menerima manfaat dari pembuatan dokumen tersebut. Untuk dokumen yang dibuat secara sepihak maka bea meterai menjadi terutang pada pihak yang menerima dokumen tersebut.
Sementara itu, untuk dokumen yang dibuat oleh dua pihak atau lebih maka bea meterai menjadi terutang pada masing-masing pihak atas dokumen yang diterimanya. Namun, terdapat pengecualian khusus untuk dokumen yang berupa surat berharga karena bea meterai menjadi terutang pada pihak yang menerbitkan surat berharga tersebut, bukan yang menerimanya.
Lebih lanjut, untuk dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, bea meterai menjadi terutang pada pihak yang mengajukan dokumen tersebut. Untuk dokumen-dokumen yang dibuat di luar negeri dan digunakan di Indonesia, bea meterai menjadi terutang pada pihak yang menerima manfaat atas dokumen tersebut.
Meski demikian, perlu dicatat bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (6) UU Bea Meterai, ketentuan-ketentuan di atas tidak menghalangi pihak atau para pihak yang terlibat untuk menentukan sendiri pihak mana yang akan membayar bea meterai terutang tersebut.
Pemungutan Bea Meterai
MENGACU pada ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UU Bea Meterai, pemungutan bea meterai yang terutang dilakukan oleh pejabat pemungut bea meterai. Penetapan pejabat yang akan melakukan pemungutan bea meterai akan diatur secara lebih lanjut dalam peraturan menteri.
Meski demikian, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada September 2020 lalu menerangkan pemungutan bea meterai dapat dilakukan oleh pihak perbankan dan ritel. Simak artikel ‘Ada Ketentuan Soal Pemungut Bea Meterai dalam UU 10/2020’.
Sementara itu, Pasal 11 ayat (1) UU Bea Meterai menetapkan beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan pejabat pemungut bea meterai dalam menjalankan tugasnya tersebut. Di antaranya, memungut bea meterai yang terutang atas dokumen tertentu dari pihak yang terutang. Selanjutnya, menyetorkan bea meterai yang sudah dipungut tersebut ke kas negara. Kemudian, melaporkan pemungutan dan penyetoran bea meterai tersebut ke kantor DJP.
Adapun bila pejabat pemungut bea meterai tidak melaksanakan kewajibannya tersebut maka seusai dengan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) dan (3) UU Bea Meterai, akan diterbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Jumlah kekurangan bea meterai dalam surat ketetapan pajak tersebut sesuai dengan besar bea meterai yang tidak atau kurang dipungut dan/atau tidak atau kurang disetor yang disertai dengan sanksi administratif sebesar 100% dari jumlahnya tersebut.
Selain itu, jika pemungut bea meterai melakukan kesalahan seperti terlambat menyetorkan bea meterai dan/atau tidak melaporkan atau terlambat melaporkan pemungutan dan penyetoran bea meterai, mengacu pada ketentuan dalam Pasal 11 ayat (4) dan (5) UU Bea Meterai, akan diterbitkan surat tagihan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Sementara itu, mengenai ketentuan tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan bea meterai diatur dalam peraturan menteri. (faiz)*