TARIF menjadi salah satu fitur penting dalam penerapan PPN. Dengan adanya tarif dan juga Dasar Pengenaan Pajak (DPP), PPN yang terutang dapat dihitung (Ad van Doesum, Herman van Kesteren, dan Gert-Jan van Norden, 2016). Pentingnya tarif dalam penerapan PPN juga dinyatakan oleh Tait (1988) sebagai berikut: “The rate or rates at which VAT is levied is an important consideration in the operation of VAT.”
Saran dari para ahli tentang tarif PPN sangat sederhana, yaitu PPN seharusnya menggunakan tarif tunggal atau disebut dengan single rate. Artinya, hanya ada satu tarif yang berlaku dalam sistem PPN.
Tarif tunggal disini sebenarnya berarti dua tarif karena terdapat tarif 0% yang harus diterapkan dalam pengenaan PPN atas ekspor. Dengan demikian, tarif tunggal terdiri dari tarif standar yang berlaku secara umum dan tarif 0% khusus untuk PPN atas ekspor (Lihat Richard M. Bird dan Pierre-Pascal Gendron, 2007).
Bahkan Cnossen (2017) berpendapat bahwa sistem PPN yang terbaik adalah sistem PPN yang memberlakukan satu tarif seragam atas penyerahan barang dan jasa di dalam negeri.
Saran ahli untuk menggunakan tarif tunggal dalam PPN dilatarbelakangi dengan asumsi bahwa biaya administrasi dan kepatuhan dari penggunaan lebih dari satu tarif yang disebut dengan multiple rates (Liam Ebrill, et al, 2001) akan jauh lebih besar.
Adanya penerapan tarif yang berbeda antara satu transaksi dengan transaksi lainnya, akan berisiko terhadap kesalahan penerapan tarif. Selain itu, pengadministrasian atas setiap transaksi pun menjadi lebih sulit (Sijbren Cnossen, 2004). Ini tentunya dapat berimplikasi pada berkurangnya efisiensi PPN.
Terlepas dari biaya administrasi dan biaya kepatuhan yang tinggi, terdapat beberapa alasan yang menyebabkan adanya keraguan untuk menerapkan lebih dari satu tarif dalam sistem PPN:
Pertama, dari perspektif ekonomi, penerapan lebih dari satu tarif PPN seringkali menyebabkan terjadinya distorsi terhadap pilihan produsen dan konsumen, yang mendistorsi kegiatan ekonomi menjadi tidak menguntungkan (Agha A dan J. Haughton, 1996).
Kedua, tarif PPN yang rendah tidak selalu menguntungkan konsumen akhir. Sebagai contoh, ketika suatu barang dikenai PPN dengan tarif lebih rendah, penjual cenderung akan menaikkan harga barang tersebut sehingga dapat mensubsidi harga barang yang dikenai PPN dengan tarif yang lebih tinggi. Artinya, tidak ada keuntungan apa pun yang akan diterima konsumen akhir dari penerapan tarif PPN yang rendah (Alan A. Tait, 1988).
Ketiga, adanya perbedaan tarif PPN atas satu objek dengan objek lainnya akan menimbulkan ketidakpuasan dari sisi produsen dan konsumen yang berkeinginan untuk memperoleh keuntungan dari adanya perbedaan tarif ini. Produsen dan konsumen cenderung berpendapat bahwa atas barang dan jasa yang berada dalam cakupan yang sama seharusnya diperlakukan sama.
Misalnya, apabila sayuran mentah dikenai PPN dengan tarif rendah maka seharusnya sayuran yang dibekukan juga dikenai PPN dengan tarif rendah. Apabila sayuran yang dibekukan dikenai PPN dengan tarif rendah maka sudah seharusnya sayuran dalam kaleng juga dikenai PPN dengan tarif yang sama rendahnya, dan seterusnya (Alan A. Tait, 1988).
Keempat, berapapun jenis tarif yang diterapkan dan apapun perubahan yang dihasilkan dari penerapan ini, penerapan lebih dari satu tarif PPN jarang mencerminkan terjadinya perubahan terhadap pilihan konsumen atau pemerintah secara nyata (Alan A. Tait, 1988).
Kelima, penerapan lebih dari satu tarif PPN dapat berarti rata-rata tarif yang lebih tinggi dibutuhkan untuk mencapai jumlah penerimaan yang ditargetkan sehingga mengakibatkan tingginya biaya ekonomi yang digunakan untuk mengenakan PPN.
Keenam, tarif PPN yang lebih tinggi atas barang mewah merupakan sarana yang tidak efektif untuk meningkatkan progesivitas. Alasannya, pungutan PPN dengan cara seperti ini biasanya tidak ditargetkan dengan baik. Selain itu, setiap perolehan ekuitas yang dicapai dengan cara ini tidak dapat mengimbangi biaya yang dikeluarkan sehingga berujung pada berkurangnya efektifitas dan efisiensi PPN (Sijbren Cnossen, 2003).
Ketujuh, penerapan tarif PPN yang lebih rendah atas barang atau jasa yang merupakan kebutuhan pokok umumnya tidak ditargetkan dengan baik dan tidak efektif. Akibatnya, terjadi regresivitas yang disebabkan masyarakat kalangan atas dapat melakukan konsumsi kebutuhan pokok dengan hanya mengeluarkan sedikit penghasilannya. Masyarakat kalangan inilah yang menerima keuntungan lebih banyak atas penerapan lebih dari satu tarif PPN dibandingkan masyarakat kalangan bawah (Liam Ebrill, et al, 2001).
Penelitian yang dilakukan oleh Copenhagen Economics mengenai fungsi dari sistem PPN di negara-negara anggota Uni Eropa pada tahun 2007 menunjukkan bahwa penerapan lebih dari satu tarif PPN telah menyebabkan negara-negara anggota mengalami kerugian fiskal dan ekonomi yang besar.
Oleh karena itu, penelitian ini merekomendasikan penerapan tarif tunggal sebagai opsi kebijakan PPN yang terbaik dari sudut pandang ekonomi. Tarif tunggal dinilai dapat menciptakan kepatuhan yang signifikan terhadap administrasi pajak, mengurangi penyimpangan dalam pasar internal, serta meningkatkan kesejahteraan konsumen (Dinka Antic, dapat diakses melalui https://hrcak.srce.hr/file/187138).
Sementara itu, Roger Douglas, mantan menteri keuangan Selandia Baru, menyatakan bahwa pada faktanya, kunci utama untuk menciptakan kemudahan dalam penerapan PPN adalah melalui penerapan PPN dengan tarif tunggal dan tanpa adanya pembebasan PPN.
Argumen yang diungkapkan Douglas ini sangat mendukung penggunaan tarif tunggal dalam PPN dan tarif 0% khusus untuk ekspor serta membatasi pembebasan PPN. Semakin sedikit penerapan PPN dengan lebih dari satu tarif maka akan semakin baik sistem PPN yang diimpelementasikan. (Alan A. Tait, 1988).
Namun demikian, Ebrill, Keen, Bodin dan Summer (2001) berpandangan bahwa penerapan multiple rates juga dapat memberikan beberapa manfaat. Beberapa manfaat tersebut antara lain.
Pertama, efisiensi. Penerapan tarif PPN yang berbeda-beda atas objek yang berbeda dinilai dapat menciptakan efisiensi. Gagasan inilah yang mendasari terciptanya kebijakan yang dikenal dengan istilah “aturan elastisitas terbalik”. Yaitu, kebijakan yang menetapkan penerapan tarif PPN lebih rendah atas komoditas dengan tingkat permintaan elastis dan penerapan tarif PPN lebih tinggi atas komoditas dengan tingkat permintaan yang tidak elastis.
Kebijakan ini bertujuan untuk meminimalisir dampak pengenaan pajak terhadap pola konsumsi sehingga dapat menciptakan efisiensi dalam pengenaan PPN. Selain itu, adanya rentang yang luas antara tarif PPN tertinggi dan tarif PPN terendah dianggap mampu menghasilkan penerimaan yang lebih tinggi.
Kedua, keadilan. Merupakan alasan yang dianggap paling penting mengapa seharusnya terdapat lebih dari satu tarif yang diterapkan dalam PPN. Contohnya, dengan menerapkan tarif PPN yang berbeda atas barang yang hanya dapat dikonsumsi oleh pihak-pihak yang mempunyai penghasilan tinggi. Dengan demikian, penerapan tarif PPN yang berbeda-beda dapat menjamin terciptanya distribusi penghasilan yang adil.
Dengan adanya manfaat di atas, tidak mengherankan di awal penerapannya, banyak negara menerapkan PPN dengan lebih dari satu tarif. Berdasarkan survei yang dilakukan IMF, diketahui bahwa dari 48 (empat puluh delapan) negara yang menerapkan PPN sebelum tahun 1990, 36 (tiga puluh enam) di antaranya menerapkan PPN dengan lebih dari satu tarif.
Sementara itu, sisanya sebanyak 12 (dua belas) negara menerapkan PPN dengan tarif tunggal. Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya jumlah negara yang menerapkan PPN, terjadi perubahan penerapan tarif, yaitu semakin banyak negara yang menerapkan PPN dengan tarif tunggal (Lihat International Tax Dialogue (ITD), 2005).