ISU kesetaraan gender menjadi topik yang kerap kali dibahas dalam berbagai diskusi atau kajian. Pembahasan mengenai kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan ini tidak hanya menyasar perihal moralitas, tetapi juga hingga pada ranah ekonomi.
Salah satu kajian ekonomi tentang kesetaraan gender merujuk pada apa yang dikenal sebagai pink tax. Pembahasan mengenai pink tax ini bahkan sempat menjadi perdebatan hangat saat Anggota Kongres California Jackie Speier memperkenalkan Undang-Undang Pencabutan Pink Tax pada 2015.
Bukan pajak yang aktual
KENDATI mengandung kata pajak, pink tax sebenarnya bukanlah bentuk pajak yang aktual. Istilah pink tax lebih merujuk pada pengenaan harga yang lebih tinggi atas produk yang ditargetkan untuk perempuan (versi merah muda) ketimbang produk untuk laki-laki (versi biru) (Fontinelle, 2021).
Kendati saling berkaitan, Fontinelle menyatakan pink tax berbeda dengan tampon tax. Sebab, tampon tax memang merupakan pajak konsumsi aktual yang dikenakan atas produk-produk kesehatan atau sanitary wanita.
Sementara itu, Habbal (2020) mengartikan pink tax sebagai biaya tambahan yang dikenakan pada produk dan layanan yang identik tetapi dipasarkan secara terpisah untuk laki-laki dan perempuan. Misal, perbedaan harga antara deodoran untuk laki-laki dan deodoran untuk perempuan.
Menurut Habbal, istilah pink tax berasal dari prevalensi historis produk yang dipasarkan kepada perempuan cenderung berwarna merah muda. Pink tax pun termanifestasi dalam dua bentuk. Pertama, produk atau layanan tertentu yang dikenakan pajak tambahan atas harganya.
Kedua, bukan pajak aktual yaitu ketika perusahaan menjual produk yang disegmentasikan pada perempuan dengan harga lebih tinggi daripada produk hampir identik yang dijual pada laki-laki. Perbedaan harga itu merupakan strategi untuk memaksimalkan keuntungan dengan memanfaatkan tren pasar, preferensi, perilaku belanja, dan psikologi.
Habbal memberikan contoh pink tax berdasarkan hasil studi New York City Department of Consumer Affairs (DCA) pada 2015. Dalam studi berjudul From Cradle to Cane: The Cost of Being a Female Consumer, didapati rata-rata produk perempuan harganya 7% lebih mahal ketimbang produk serupa untuk laki-laki.
Misal, harga pisau cukur yang sama persis tetapi berbeda warna. Harga pisau cukur berwarna pink lebih mahal ketimbang yang berwarna biru. Salah satu brand pakaian juga didapati menetapkan harga yang lebih mahal untuk pakaian perempuan plus size, tetapi tidak untuk laki-laki.
Simpulan
INTINYA pink tax merupakan istilah yang mengacu pada adanya disparitas harga berdasarkan gender. Artinya, produk yang nyaris identik tetapi dipasarkan untuk perempuan harganya lebih tinggi ketimbang produk untuk laki-laki.
Umumnya, pink tax bukan merupakan kebijakan pemerintah atau bukan pungutan resmi. Pink tax biasanya lebih mengacu pada biaya tambahan yang dikenakan retailer, produsen, atau brand tertentu pada produk yang dipasarkan untuk perempuan.
Kendati demikian, ada pula negara yang mengenakan pajak tambahan atas produk sanitary perempuan (tampon tax). Istilah pink digunakan karena warna itu dianggap paling mewakili strategi pemasaran untuk kaum perempuan. (rig)