OPINI PAJAK

Menggagas Kesetaraan Gender dalam Sistem Pajak Indonesia

Redaksi DDTCNews
Kamis, 21 April 2022 | 12.15 WIB
ddtc-loaderMenggagas Kesetaraan Gender dalam Sistem Pajak Indonesia

Galih Ardin,

pegawai Ditjen Pajak

SETIAP April, tepatnya pada tanggal 21, masyarakat Indonesia selalu memperingati hari Kartini. Ditetapkan sebagai hari nasional, 21 April merupakan hari lahirnya Raden Ajeng Kartini, seorang perempuan yang meletakkan dasar-dasar persamaan hak pria dan wanita pada zaman kolonial.

Menurut Marihandono, Khozin, Arbaningsih, & Tangkilisan (2016), R. A. Kartini dilahirkan di sebuah kota kecil bernama Jepara pada 21 April 1879. R.A. Kartini menghabiskan masa kecil sebagai putri seorang Bupati Jepara bernama R.M. Sosroningrat.

Sebagai anak seorang Bupati, Kartini pun sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar Eropa atau yang biasa disebut Europesche Lagere School (ELS). Namun, ketika hendak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, Kartini ditentang oleh ayahnya.

Menurut sebagian besar masyarakat pada masa itu, wanita hanya bertugas mengurusi rumah tangga, sehingga tidak perlu menggapai pendidikan yang tinggi. Kondisi ini juga berlaku untuk putri bangsawan.

Seolah tak ingin berpangku tangan, Kartini berjuang mengubah nasib kaumnya dengan mendirikan sekolah. Dia mengajari wanita-wanita untuk membaca, menulis, dan mengasah keterampilan lainnya. Tanpa Kartini, mungkin hingga saat ini tidak akan ada persamaan hak antara pria dan wanita di Tanah Air.

Bidang Perpajakan

DALAM bidang perpajakan, pada dasarnya, pemerintah juga sudah mengakomodasi persamaan hak pria dan wanita. Hal ini tercermin sejak pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Berdasarkan pada ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 tahun 2011, setiap wajib pajak yang telah memenuhi ketentuan subjektif dan objektif wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP, tidak terkecuali wanita.

Selanjutnya, dalam PP tersebut juga diatur wanita yang telah menikah dapat memilih status perpajakannya. Pilihannya adalah digabung dengan suami atau melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.

Sampai di sini kita dapat melihat wanita telah diberikan kebebasan serta persamaan hak dan kewajiban perpajakan menurut ketentuan yang berlaku. Wanita kawin yang memilih melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara mandiri juga diberikan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang sama dengan pria.

Sebagai contoh, bagi wanita yang bekerja serta memilih melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, pemerintah memberikan PTKP senilai Rp54 juta sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-101/PMK.010/2016.

Namun demikian, agaknya ada yang luput dari perhatian kita. Pada 1992, terdapat sebuah penelitian yang mengungkapkan wanita di Indonesia umumnya lebih elastis terhadap ketentuan perpajakan dibandingkan pria. Artinya, apabila terdapat kenaikan tarif pajak, wanita akan mudah memutuskan untuk keluar dari pasar tenaga kerja dibandingkan dengan pria.

Penelitian tersebut juga mengungkap makin tinggi pendidikan wanita maka akan makin elastis terhadap perubahan penghasilan. Faktor utama yang mendorong wanita Indonesia untuk bekerja adalah anak-anak. Untuk membantu kebutuhan keluarga dalam menghidupi anak-anak, wanita akan memilih bekerja.

Penelitian tersebut dilakukan oleh Menteri Keuangan Indonesia saat ini, Sri Mulyani, dalam disertasinya yang berjudul Measuring the labor supply effect of income taxation using a life-cycle labor supply model: A case of Indonesia.

Hasil yang sama diungkap McCelland, Mok, dan Pierce pada 2014. Menurut McCelland et al (2014), wanita yang telah menikah cenderung memiliki elastisitas yang lebih tinggi terhadap tarif pajak. Hal ini dikarenakan posisi wanita menikah bukan merupakan tulang punggung utama dalam keluarga.

Oleh sebab itu, kebijakan PTKP wanita bekerja yang sama dengan PTKP pria agaknya perlu mendapat perhatian. Apalagi, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk wanita di Indonesia pada 2020 adalah sebanyak 133,54 juta jiwa atau 49,42% dari total penduduk Indonesia pada tahun tersebut.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kita dapat mengetahui antara wanita dan pria menghadapi tantangannya tersendiri dalam pasar tenaga kerja. Pria umumnya lebih tidak elastis terhadap perubahan penghasilan dan tarif pajak dibandingkan dengan wanita.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan keadilan dalam pasar tenaga kerja, sudah seharusnya bagi wajib pajak wanita diberikan insentif untuk mengurangi elastisitas terhadap perubahan tarif pajak. Insentif tersebut dapat diberikan dalam beberapa cara.

Pertama, pemerintah dapat memberikan pengurangan PTKP bagi wanita bekerja. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi sensitivitas wajib pajak wanita terhadap perubahan tarif pajak.

Kedua, pemerintah dapat memberikan penurunan tarif pajak terhadap wanita bekerja yang sedang menjalani cuti (temporary leave) karena hamil dan melahirkan. Kebijakan ini penting untuk mengurangi beban keuangan (financial burden) yang dihadapi wanita tetapi tidak dialami oleh pria.

Ketiga, pemerintah dapat memberikan insentif penundaan kewajiban pelaporan SPT bagi wanita dengan NPWP sendiri yang tengah hamil dan melahirkan. Hal ini ditujukan untuk mengurangi biaya kepatuhan (compliance cost) yang ditanggung.

Apabila ketiga langkah ini dilakukan dengan konsisten, tidak hanya terwujud kebijakan pajak yang responsif terhadap isu gender, tetapi juga akan mewujudkan gender equality sebagaimana dimaksud dalam Sustainable Development Goals (SDG) nomor 5, yakni achieve gender equality and empower all women and girls (UN, 2022).

Namun demikian, perlu diingat, pemberian insetif ini harus dilakukan secara timely, targeted, dan temporary. Hal ini dikarenakan pemberian insentif pajak terhadap wajib pajak wanita dapat memunculkan efek yang berbeda terhadap wajib pajak dengan kelompok penghasilan yang berbeda.

Dalam hal ini kita dapat berkaca dari Jepang. Pada 2004, Jepang memberikan pengurangan pajak terhadap wanita yang telah menikah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan partisipasi wanita dalam pasar tenaga kerja.

Namun demikian, penelitian yang dilakukan Yokoyama dan Kodama (2018) justru menunjukkan insentif pajak untuk wajib pajak wanita akan meningkatkan penghasilan wajib pajak wanita dengan penghasilan menengah ke bawah tetapi mengurangi penghasilan wajib pajak wanita yang berpenghasilan menengah ke atas.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.