SETIAP tahun, wajib pajak harus menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) untuk melaporkan berapa besar penghasilan yang diperolehnya serta pajak penghasilan (PPh) yang terutang dalam tahun pajak tersebut.
Meski demikian, tidak semua penghasilan wajib dikenakan PPh. Dalam ketentuan perpajakan di Indonesia, terdapat pengecualian subjek pajak dan objek yang tidak kenai PPh. Lantas bagaimana sebenarnya konsep dasar PPh yang diterapkan di Indonesia?
Sejak reformasi pajak 1983 hingga saat ini, konsep dasar PPh tetap sama meskipun undang-undangnya telah beberapa kali diamandemen. Saat ini, ketentuan PPh di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Secara umum, PPh merupakan pajak atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh wajib pajak, baik orang pribadi maupun badan. Dasar hukum pengenaan PPh ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menjadi konsep dasar PPh di Indonesia. Berikut bunyi Pasal 4 ayat (1) UU PPh:
“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun,..”
Bunyi pasal di atas mencerminkan konsep pengenaan PPh di Indonesia yang bersifat luas. Pada dasarnya, terdapat lima prinsip yang terkandung dalam pasal ini. Pertama, terkait dengan klausul 'setiap tambahan kemampuan ekonomis'.
Klausul tersebut mengarah pada setiap tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang didapat oleh wajib pajak dalam tahun pajak tertentu. Maksud kata tambahan di sini adalah jumlah neto penghasilan, yaitu jumlah penerimaan atau perolehan penghasilan bruto dikurangi dengan biaya mendapatkan, menagih dan memelihara terkait penghasilan tersebut.
Untuk itu, terkait dengan penghitungan penghasilan neto, UU PPh juga mengharuskan wajib pajak untuk mencatat seluruh penghasilan dan biaya yang terkait melalui proses pembukuan ataupun pencatatan dalam hal tertentu agar dapat diketahui besarnya PPh yang terutang.
Prinsip kedua, terkait dengan klausul 'yang diterima atau diperoleh wajib pajak'. Klausul dapat diartikan bahwa pengenaan PPh dilakukan hanya atas tambahan kemampuan ekonomis yang telah menjadi realisasi. Definisi realisasi dalam hal ini mengambil alih konsep akuntansi, yaitu penghasilan yang telah dapat dibukukan, baik secara cash basis maupun accrual basis.
Realisasi ini juga dapat mengarah pada peristiwa hukum yang menyebabkan menimbulkan PPh terutang (taxable event). Misalnya, tanah dan rumah yang ditinggali oleh wajib pajak tidak dikenai PPh meskipun nilainya naik setiap tahun. Tanah atau rumah tersebut dikenakan PPh jika dijual atau dialihkan kepada orang lain.
Selanjutnya, prinsip ketiga, yaitu klausul 'yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia'. Klausul ini mengacu pada sistem pemajakan worldwide income (WWI) yang diterapkan kepada subjek pajak dalam negeri terkait kewajiban pajak objektifnya.
Dengan sistem pemajakan WWI, semua penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib dikenai PPh, baik yang berasal dari Indonesia maupaun di luar Indonesia. Hal ini berbeda dengan sistem territorial income yang diterapkan bagi subjek pajak luar negeri, di mana hanya penghasilan yang berasal dari Indonesia yang dikenai PPh. Kewajiban pajak objektif subjek pajak luar negeri diatur dalam Pasal 26 UU PPh.
Adapun prinsip keempat berkaitan dengan klausul 'yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli tambahan harta'. Unsur yang keempat ini merupakan cara menghitung atau mengukur besarnya penghasilan yang dikenakan pajak.
Objek PPh sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan wajib pajak, termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi. Pada dasarnya, hal ini merupakan penerapan rumus: Y = C + S untuk keperluan perpajakan. Ini lazim disebut metode penghitungan penghasilan kena pajak berdasarkan pemakaian penghasilan, expenditure atau penggunaan penghasilan.
Hal ini juga tercermin dalam konsep kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang diterapkan pada Juli 2016-Maret 2017. Penghasilan yang digunakan untuk membeli harta menjadi dasar pengenaan tax amnesty berdasarkan UU Pengampunan Pajak. Objeknya adalah harta yang masih dimiliki per 31 Desember 2015 dan tidak dilaporkan di SPT Tahunan. Dasar pemikirannya, atas harta yang belum dilaporkan tersebut atas penghasilannya 'dianggap' belum dibayarkan PPh-nya.
Terakhir, terkait dengan klausul 'dengan nama dan dalam bentuk apapun' yang merupakan penerapan prinsip the substance-over-form principle, yang artinya substansi atau hakikat ekonomis dari suatu penghasilan lebih diutamakan daripada bentuk formal dari penghasilan tersebut.
Sebagai contoh, PT A membagi-bagikan laba setelah pajak (profit after tax) kepada para pemegang sahamnya. Dalam SPT pembagian laba ini dilaporkan sebagai bonus (dikenakan pajak dengan tarif 5-10%). Namun substansi sesungguhnya, pembagian laba setelah pajak ini merupakan dividen yang dikenakan pajak sebesar 15%. Oleh karena itu berdasarkan substance-over-form principle, fiskus akan menggolongkan penghasilan ini sebagai dividen, bukan bonus. (Amu)