TRANSFER PRICING

Profesional DDTC Ulas PP 55/2022 dan TP di Publikasi Internasional

Redaksi DDTCNews
Kamis, 02 Maret 2023 | 16.16 WIB
Profesional DDTC Ulas PP 55/2022 dan TP di Publikasi Internasional

Tampilan artikel yang ditulis kedua profesional DDTC berjudul Raising the GAAR: Indonesia Strengthens Its Transfer Pricing Regime di International Tax Review (ITR).

MELALUI PP 55/2022, pemerintah menjabarkan instrumen antipenghindaran pajak sebagai amanat UU Pajak Penghasilan (PPh) s.t.d.t.d UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Ada ketentuan instrumen spesifik (specific anti-avoidance rule/SAAR) dan umum (general anti-avoidance rule/GAAR).

Pengaturan itu turut berdampak terhadap regulasi transfer pricing di Indonesia. Pembaruan regulasi transfer pricing tersebut menjadi topik yang diusung 2 Profesional DDTC Veronica Kusumawardani dan Cindy Kikhonia Febby dalam sebuah artikel yang dipublikasikan International Tax Review (ITR).

Dalam artikel berjudul Raising the GAAR: Indonesia Strengthens Its Transfer Pricing Regime, kedua profesional DDTC itu menjabarkan beberapa aspek. Salah satu aspek menarik yang diulas penulis terkait dengan transaksi hubungan istimewa.

Penulis menjabarkan konsep yang tertuang dalam UU PPh. Penulis mengatakan UU PPh mengenal konsep ‘special relationship’ yang lebih luas dari konsep ‘associated enterprises’ yang biasanya ditemukan pada tax treaty.

Sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UU PPh s.t.d.t.d UU HPP, hubungan istimewa dianggap ada apabila:

  • wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada wajib pajak lain; hubungan antara wajib pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada 2 wajib pajak atau lebih; atau hubungan di antara 2 wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir;
  • wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya atau dua atau lebih wajib pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
  • terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Melalui PP 55/2022, pemerintah menambahkan ketentuan hubungan istimewa karena penguasaan. Hubungan istimewa karena penguasaan dianggap ada, salah satunya jika 1 pihak menguasai pihak lain atau 1 pihak dikuasai oleh pihak lain melalui manajemen atau penggunaan teknologi.

Meskipun tidak ada dalam peraturan terdahulu, yakni PMK 22/2020, ketentuan itu sejalan dengan Penjelasan Pasal 18 ayat (4) UU PPh s.t.d.t.d UU HPP. Hubungan istimewa dapat terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.

Selain itu, sesuai dengan Pasal 35 ayat (2) PP 55/2022, transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa meliputi transaksi afiliasi; dan/atau transaksi antarpihak yang tidak memiliki hubungan istimewa, tetapi pihak afiliasi dari salah satu atau kedua pihak menentukan lawan transaksi dan harga transaksi.

Artinya, cakupan juga termasuk transaksi independen yang dipengaruhi oleh pihak afiliasi dari salah satu atau kedua pihak yang bertransaksi. Penulis mengatakan dengan PP 55/2022, ruang lingkup aturan transfer pricing sangat luas.

“Terlepas dari elaborasi istilah 'kontrol' secara substansi, tidak ada ambang batas yang presisi untuk kontrol de facto. Akibatnya, transaksi antara pihak-pihak independen mungkin termasuk dalam ruang lingkup peraturan transfer pricing asalkan kontrol de facto dianggap ada,” kata penulis.

Selain perluasan ruang lingkup definisi transaksi hubungan istimewa, kedua penulis menjabarkan metode lain penentuan transfer pricing. Ada pula ulasan mengenai ketentuan khusus untuk usaha yang mengalami kerugian berturut-turut, pembaruan terkait dengan advance pricing agreements (APA), serta pembaruan mengenai pembatasan biaya bunga pinjaman.

Menurut penulis, ada tantangan yang cukup besar terkait dengan transfer pricing di Indonesia pada 2022. Kerangka kerja legislatif global mengalami sejumlah perubahan yang relevan. OECD dan Inclusive Framework on BEPS juga terus memberikan pedoman terkait dengan transfer pricing.

Penulis mengatakan pembaruan ketentuan dalam PP 55/2022 bisa dilihat sebagai upaya pemerintah memperkuat rezim transfer pricing di Indonesia. Penerbitan PP 55/2022 diharapkan memberi kepastian hukum, penyederhanaan, serta kemudahan terkait dengan administrasi pajak.

“Selain itu, poin pentingnya adalah mengurangi penghindaran pajak, sehingga sejalan dengan proyek BEPS,” kata penulis dalam artikel tersebut.

Ulasan kedua profesional DDTC ini sangat relevan dengan situasi saat ini. Terlebih, pemerintah masih terus menggodok berbagai peraturan turunan UU HPP, termasuk menyangkut instrumen antipenghindaran pajak. Tertarik membaca artikelnya? Silakan mengunjungi tautan berikut. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.