SELAIN pelemahan ekonomi, pandemi covid-19 juga berpotensi memperlebar ketimpangan ekonomi antarkelompok masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat berpenghasilan rendah akan jadi pihak yang paling terpukul dari kejadian ini.
Sebagai catatan, pada September 2020, tingkat gini ratio pengeluaran Indonesia sudah meningkat menjadi 0,385. Angka ini meningkat 0,004 poin jika dibandingkan dengan gini ratio Maret 2020 sebesar 0,381 dan meningkat 0,005 poin dibandingkan dengan gini ratio September 2019 yang sebesar 0,380.
Pertanyaannya, bagaimana kebijakan pajak turut berperan mengatasi ketimpangan tersebut?
Menurut Ruud de Mooij et al (2020) dalam publikasi yang berjudul Tax Policy for Inclusive Growth after the Pandemic, kebijakan pajak memiliki peran sangat penting. Di satu sisi penerimaan pajak akan menjadi andalan dalam pendanaan pemulihan ekonomi. Di sisi lain, berbagai relaksasi pajak juga tengah dibutuhkan.
Untuk menjawab persoalan di tengah situasi tersebut, publikasi yang diterbitkan IMF dalam Special Series on Covid-19 pada 2020 tersebut menyarankan kebijakan pajak yang perlu memerhatikan aspek āinklusivitasā. Sebab, perbedaan kemampuan masyarakat dalam menghadapi tantangan dari pandemi juga mencerminkan perbedaan kemampuan membayar (ability to pay) pajak.
Untuk mendukung hal tersebut, dibutuhkan karakteristik sistem pajak yang makin progresif. Beban pajak didistribusikan sesuai dengan penghasilan atau kepemilikan harta yang diperoleh sebelum dan saat pandemi. Argumen ini diusung Abdel-Khader et al (2021) dalam publikasi berjudul Tax Policy and Inclusive Growth.
Menurut mereka, kebijakan pajak perlu didesain secara berimbang agar tidak menghambat pemulihan ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan pajak sebaiknya tidak memberikan distorsi besar bagi produktivitas dan investasi.
Tentu upaya memenuhi kedua syarat tersebut ākebijakan pajak pro pemerataan sekaligus pertumbuhan ekonomi ābukan hal mudah. Untuk itu, Ruud de Mooij et al serta Abdel-Khader et al mengajukan beberapa rekomendasi. Sebagai informasi, walaupun berasal dari dua publikasi yang berbeda, rekomendasi dan pijakan pemikiran kedua publikasi tersebut memiliki ānafasā yang sama.
Beberapa Rekomendasi
UNTUK konteks pajak penghasilan, progresivitas jelas menjadi aspek yang perlu ditingkatkan. Sebab, makin tinggi penghasilan suatu individu, makin besar pula kemampuan bertahan secara ekonomi selama pandemi berlangsung.
Oleh sebab itu, lapisan penghasilan kena pajak penghasilan (tax bracket) perlu dievaluasi untuk meningkatkan kontribusi pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP) yang berasal dari individu berpenghasilan tinggi.
Hal ini sangatlah penting terutama dalam konteks negara berkembang. Sebab, kontribusi PPh OP di kelompok negara ini masih terbilang minim. Padahal, menurut mereka, terdapat ruang penerimaan pajak yang dapat dimaksimalkan dari jenis pajak tersebut tanpa terlalu mendistorsi pertumbuhan ekonomi.
Salah satunya adalah dengan menentukan tarif untuk tax bracket tertinggi yang menyasar individu berpenghasilan sangat tinggi. Dalam hal ini, negara berkembang perlu mencontoh negara maju yang āberaniā menetapkan tarif tertinggi, umumnya dalam rentang tarif 50-60%.
Namun, baik De Mooij et al maupun Abdel-Kader et al memang mengakui optimalisasi kebijakan tersebut sering kali bersifat politis dan sulit ditegakkan di lapangan. Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen politik dan penguatan administrasi untuk menjamin implementasinya.
Lebih lanjut, de Mooij et al juga menyarankan adanya pemajakan yang lebih tinggi terhadap penghasilan yang berasal dari modal. Sebab, menurutnya penghasilan pemilik modal seharusnya tidak boleh dikenakan lebih rendah daripada tarif umum yang dikenakan pada karyawan.
Sementara itu, dalam konteks PPh badan, terdapat rekomendasi agar negara-negara lebih mengandalkan insentif berbasis biaya (cost-based tax incentive). Evaluasi atas insentif pajak bagi kelompok UMKM juga harus dilakukan, khususnya untuk tidak memberikan fasilitas reduced rate.
Optimalisasi pajak terhadap kekayaan juga dibahas secara mendalam, baik oleh de Mooij et al maupun Abdel-Kader et al. Kedua kelompok periset tersebut sama-sama menekankan adanya fakta ketimpangan kepemilikan kekayaan umumnya lebih besar ketimbang ketimpangan penghasilan.
Keduanya juga menyarankan tiga macam kebijakan yang serupa, yaitu kebijakan atas kepemilikan aset atau kekayaan (net-wealth tax), pajak warisan dan hibah, dan penguatan pajak properti. Ketiga opsi tersebut tentu memiliki tantangan administrasi dalam penerapannya.
Hasilnya pun tidak akan langsung signifikan dalam jangka pendek. Namun, jika diterapkan secara bertahap dan konsisten, optimalisasi dengan cara ini tidak hanya akan berperan dalam melawan ketimpangan dan menambah penerimaan, tapi juga bersahabat terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dalam konteks pajak konsumsi, baik de Mooij et al maupun Abdel-Kadir et al sama-sama sepakat untuk meminimalkan pengecualian dan fasilitas PPN. Keduanya mengingatkan pengecualian justru menciptakan distorsi ekonomi karena adanya beban PPN yang justru ditanggung oleh produsen.
Hal ini tentunya justru berisiko mengganggu rantai produksi. Oleh karena itu, mekanisme pengkreditan PPN oleh para pelaku ekonomi perlu dijamin dengan pengurangan pengecualian objek PPN. Dengan cara ini, beban tersebut dapat terus disalurkan hingga ke konsumen, sesuai dengan prinsip utama dari PPN itu sendiri.
Selain itu, kedua publikasi sama-sama menekankan pentingnya perluasan objek cukai. Barang-barang tertentu yang dikonsumsi seperti produk hasil tembakau, alkohol, makanan dan minimuan yang tidak baik bagi kesehatan, serta produk yang tidak ramah lingkungan seperti plastik perlu dikenakan cukai secara optimal. Optimalisasi cukai tersebut dipercaya akan berkontribusi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Menariknya, berbagai rekomendasi yang tercantum dalam kedua publikasi tersebut telah menjadi agenda reformasi sebagaimana menjadi materi revisi UU KUP. Kontribusi pajak yang didistribusikan secara merata tentunya perlu didukung. Hal ini agar pendanaan pemulihan ekonomi dapat terpenuhi dengan cara yang tepat sasaran, efisien, serta berkeadilan. (kaw)