PERSEPSI yang tertanam dalam keasadaran masyarakat terhadap pajak pada saat ini umumnya masih sebatas sebagai suatu kewajiban atau bahkan beban. Pandangan tersebut memang tidak keliru. Namun, jika dilekatkan pada nilai-nilai kebangsaan dan bernegara, sesungguhnya pajak merupakan elemen yang ada dalam jati diri masyarakat untuk mengembangkan peradaban.
Pemahaman tentang hal tersebut dapat kita mulai dari pertanyaan mendasar: pajak milik siapa? Pertanyaan reflektif ini ditarik Aan Almaidah Anwar ke dalam suatu diskursus yang dituangkan pada buku berjudul ‘Ku, Mu, Nya’. Sang penulis menguraikan pertanyaan tersebut melalui cerita yang mengalir dan sederhana bagaikan novel, tapi analitis dan tajam seperti kajian ilmiah.
Dalam karya tulisnya yang terbit Maret 2021 ini, Aan menawarkan sudut pandang yang menarik. Pajak dilihat sebagai suatu ‘barang’ yang dimiliki secara kolektif oleh setiap masyarakat. Setiap individu memiliki peran sesuai kemampuan masing-masing. Nasib masyarakat di masa depan bergantung pada sikap masyarakat terhadap pajak saat ini.
Dalam menyampaikan pesan tersebut, Aan menggunakan berbagai ilustrasi yang dekat dengan keseharian. Dengan demikian, maksud yang disampaikan dapat dimaknai dan direnungkan. Salah satu contoh yang digunakan adalah ketika menjelaskan alasan pajak yang dibutuhkan negara sedemikian besar, hingga ribuan triliun rupiah tiap tahunnya.
Secara naratif, Aan menggambarkan penggunaan setiap triliun rupiah setara dengan 155 kilo meter jalan, 3.541 meter jembatan, 2.000-3.000 unit rumah susun, benih padi untuk empat hektar sawah, beasiswa 2,2 juta siswa SD, 1,3 juta siswa SMP, atau 1 juta SMA, dan masih banyak lagi yang lain.
Fakta tersebut mencerminkan besarnya kebutuhan masyarakat Indonesia. Tak dipungkiri, kebutuhan tersebut akan terus berevolusi, membesar, dan bervariasi pada masa mendatang sesuai dengan tuntutan zaman. Merespons realita zaman yang makin berat, penulis kelahiran Denpasar tersebut menuntun pembaca ke pertanyaan selanjutnya: dari mana uang agar seluruh kebutuhan tersebut tercukupi?
Di sinilah ditekankan pentingnya pajak. Pajak sudah menjadi tulang punggung pembiayaan negara sejak lama. Jika tidak dioptimalkan, tulang tersebut menjadi keropos. Negara sulit maju, dan kebutuhan masyarakat kian sulit terpenuhi. Agar dapat ditegakkan kembali, peran serta seluruh masyarakat dalam pajak menjadi suatu prasyarat yang tidak dapat dibantah.
Dalam salah satu babnya, disampaikan cara agar kesadaran pajak dapat dioptimalkan. Disebutkan dalam buku tersebut, sosialisasi perpajakan saja sesungguhnya tidak cukup. Untuk sadar betul bayar pajak, diperlukan suatu keyakinan yang mengakar dalam individu tersebut sejak dini.
Oleh karena itu, penulis yang juga merupakan lulusan University of Denver, Amerika Serikat ini menuturkan edukasi pajaklah yang bisa menjawab tersebut. Tidak tanggung-tanggung, kesadaran akan peran pajak perlu dijadikan bagian dari kurikulum pendidikan. Sebab, generasi muda merupakan calon pemimpin bangsa masa depan.
Dalam diri mereka, harus tertanam nilai dan pemahaman pentingnya membayar pajak. Dalam salah satu bagian buku, penulis menyatakan mereka harus memiliki spirit yang sama seperti pasukan spartan yang dipimpin Leonidas panglima perang Sparta. Ketika mendapat kesempatan untuk berkorban bagi negara, hal tersebut justru menjadi kebanggaan.
Jadi, sejak muda perlu ditanamkan konsep berpikir untuk mengembalikan pertanyaan kepada masing-masing generasi, peran apa yang dapat diemban untuk negara pada saat dewasa nanti? Kemudian, generasi tersebut perlu merefleksikan bahwa dirinya memiliki tanggung jawab komunitas, salah satunya yang pasti adalah melalui pajak.
Bagaimana dengan edukasi bagi generasi dewasa kini? Apakah terlambat? Ternyata tidak, edukasi pajak masih tetap relevan. Kita yang sadar betul pentingnya membayar pajak harus dapat mengedukasi sesama.
Kita patut menjadi contoh bagi sesama masyarakat akan pentingnya pajak. Budaya bangga patuh pajak perlu dicerminkan melalui sikap pembayaran pajak bukan saja untuk memenuhi kewajiban, tapi juga sebagai wujud cinta pada negara.
Selain itu, puisi seperti yang disuguhkan dalam karya Aan tersebut juga dapat mengedukasi. Puisi tersebut mampu mengaitkan relevansi rasa cinta terhadap negara dengan membayar pajak.
Beberapa bagian buku diisi secara khusus dengan puisi sehingga menggugah hati pembaca untuk merenung dan merefleksikan peran penting pajak. Salah satu pesannya adalah di tengah kondisi perlemahan ekonomi saat ini, kita justru mendapat kesempatan terbaik untuk berkontribusi.
Perpaduan tata bahasa yang menggunakan istilah ilmiah tapi mengalir seperti cerpen membuat pesan dapat diterima logika maupun perasaan. Pembaca serasa diedukasi bahwa setiap insan dalam negeri ini memiliki signifikansi dalam berkontribusi. Membayar pajak artinya sama dengan membangun negeri dan menolong sesama.
Satu hal yang pasti, dunia sudah makin berubah. Kita boleh saja cepat-cepat ikut berubah untuk beradaptasi. Namun, penulis berpesan, jangan lupa, kita tidak sendirian. Jangan asyik berubah sendiri kemudian meninggalkan yang lain.
Sesama masyarakat banyak yang masih tertinggal di belakang. Tanpa uluran tangan sesama anak bangsa, mereka bisa hilang. Namun, melalui pajak, kita tahu, kita saling memiliki satu sama lain. Melalui pajak, kita saling berpegangan tangan.
Jadi, pajak milik siapa? Milik kita semua, tanpa kecuali. (kaw)