TRANSFER PRICING

Mengupas Prinsip Arm’s Length Pasca-BEPS

Redaksi DDTCNews
Kamis, 02 Juli 2020 | 16.01 WIB
Mengupas Prinsip Arm’s Length Pasca-BEPS

BUKU berjudul “Transfer Pricing and The Arm’s Length Principle After BEPS” memfokuskan bahasan pada relevansi Arm’s Length Principle (ALP) – yang selama ini menjadi inti dari isu-isu terkait dengan transfer pricing sebagai acuan dalam mengukur deviasi perilaku perusahaan-perusahaan multinasional.

Penulis secara lugas mengevaluasi kelebihan, kekurangan, dan rekomendasi perbaikan atas penerapan ALP. Evaluasi dan rekomendasi disusun terutama setelah adanya upaya negara-negara G20 dan OECD terkait dengan penanggulangan base erosion and profit shifting (BEPS), suatu praktik penghindaran pajak.

Pada bagian awal, buku ini menceritakan sejarah munculnya ALP. Momen-momen seperti proposal International Chamber of Commerce (ICC) pada 1924, kemunculan League of Nations dengan berbagai laporannya, konvensi model untuk pengalokasian laba pada 1933, hingga adanya model tax treaty London dan Meksiko dipaparkan.

Di bagian berikutnya, penulis menjabarkan perkembangan ALP dari masa ke masa. Dimulai sebagai pendekatan yang digunakan dalam berbagai putusan pengadilan di Amerika Serikat (AS) untuk mengalokasikan pendapatan, versi adaptasi ALP mulai dimasukkan dalam OECD Draft Model Treaty tahun 1963.

Kemudian, pada 1968, Pemerintah AS menerbitkan peraturan yang dianggap sebagai salah satu perkembangan paling signifikan dalam transfer pricing sejak diadopsinya prinsip ALP. Peraturan tersebut memperkenalkan metodologi penerapan ALP yang kita gunakan sampai sekarang, yaitu metode Comparable Uncontrolled Price (CUP), Resale Price Method (RPM), dan Cost Plus Method (CPM).  

Setelah diterbitkannya OECD Draft Model Treaty 1963 dan peraturan AS pada1968 tersebut, negara-negara lain mulai melakukan standarisasi peraturan ALP-nya masing-masing. Dalam perkembangan prinsip ALP, rezim-rezim transfer pricing pun bermunculan.

Situasi itu ditandai dengan  diterbitkannya peraturan transfer pricing di berbagai negara, Authorized OECD Approach, United Nations Transfer Pricing Model, dan OECD Tranfer Pricing Guidelines. Meningkatnya usaha internasional untuk menafsirkan ALP juga meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu-isu dalam penerapan ALP itu sendiri.

Kemudian, penulis juga membahas masalah-masalah teoretis dan praktis dalam implementasi ALP. Dari sisi konsep, ALP tidak dapat memperhitungkan manfaat dari sinergi yang ditimbulkan dari operasi pihak afiliasi yang terintegrasi. Selain itu, identifikasi, kuantifikasi, dan alokasi risiko sulit ditentukan dalam grup yang terintegrasi dan saling bergantung operasinya.

Salah satu isu teoretis terbesar lain adalah perlakuan terhadap harta tidak berwujud, terutama terkait kepemilikan dan alokasi biaya untuk harta tidak berwujud yang masih dalam tahap pengembangan. Dari sisi praktis, penulis menemukan beberapa masalah yang sering ditemui. Masalah itu menyangkut akses terhadap informasi wajib pajak, ketersediaan pembanding, dan subjektivitas dalam penerapan ALP.

Selain isu tersebut, adanya pengalihan modal berbagai grup multinasional ke negara berpajak rendah juga  menjadi perhatian utama berbagai negara. Bagian selanjutnya difokuskan pada isu terkait modal tersebut, yaitu perlakuan pajak dan penerapan ALP terhadap modal. Menariknya, penulis memberikan penjelasan sederhana dengan contoh terkait penerapan ALP dalam kasus pengalihan modal.

Bahasan pada buku ini ditutup dengan penerapan ALP pasca-BEPS. Perubahan-perubahan yang dibawa oleh BEPS bertujuan untuk memastikan keselarasan alokasi pendapatan dan tempat aktivitas bisnis yang menciptakan pendapatan, transparansi, serta konsistensi karakterisasi transaksi dengan fakta.

Perubahan yang dimaksud salah satunya adalah mengenai panduan untuk mengalokasikan pendapatan eksploitasi harta tidak berwujud dengan aktivitas yang menghasilkan harta tersebut. Penulis berpendapat BEPS telah membawa perbaikan dalam penerapan ALP.

Namun, menurut penulis, sistem transfer pricing saat ini masih memiliki dua masalah utama. Masalah yang dimaksud adalah yaitu kompleksitas dan kerentanan untuk dimanfaatkan sebagai sarana penghindaran pajak. Beberapa alternatif ALP seperti formulary apportionment dan destination-based cash flow tax dibahas sebagai solusi dari masalah tersebut.

Buku ini sangat membantu pembaca untuk memahami perkembangan ALP, tidak terkecuali terkait dengan masalah-masalah penerapan ALP yang ditemui sampai saat ini. Bahasa yang digunakan tidak rumit dan cukup gamblang saat menjelaskan suatu topik sebagai poin pembahasan.

Tertarik membaca buku ini? Silakan berkunjung ke DDTC Library!*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.