MARYATI ABDULLAH:

'BO Itu Syarat Penguatan Data Base Pajak'

Redaksi DDTCNews
Minggu, 30 Agustus 2020 | 08.01 WIB
ddtc-loader'BO Itu Syarat Penguatan Data Base Pajak'

BERKARIR sebagai aktivis tampaknya menjadi pekerjaan yang dicita-citakan Maryati Abdullah. Bagaimana tidak, Koordinator Nasional di Publish What You Pay (PWYP) Indonesia ini bahkan sudah mengasah kemampuannya sejak bangku kuliah.  

Dimulai saat kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), Maryati sempat menjadi Ketua Senat Universitas UGM. Di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa, ia tetap aktif di luar kampus dengan menjadi relawan di NGO Parliament Watch.

Namun dalam perjalanannya, karir Maryati di dunia NGO terhenti ketika memiliki anak. Maryati bahkan sempat bekerja di sebuah perusahaan kreatif bernama PT Aseli Dagadu Djokjdja. Di perusahaan tersebut, Maryati bekerja di bagian brand marketing.

Karir sebagai aktivis berlanjut manakala dirinya dilibatkan dalam proyek yang berkaitan dengan Blok Cepu. Saat itu, Maryati bergabung dengan PWYP, koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya ekstraktif migas, pertambangan, dan sumber daya alam.

Lantas seperti inspirasi yang bisa diambil dari perjalanan Maryati? Seperti apa pandangannya perihal industri ektraktif dalam konteks perpajakan. Untuk menggali lebih jauh, DDTCNews mewawancarai Maryati melalui Zoom pekan lalu. Petikannya:

Bagaimana kabar Anda selama pandemi Covid-19? Bagaimana dengan pekerjaan?
Alhamdulillah baik dan masih berusaha untuk jaga diri, padahal ini sudah tidak sabar untuk keluar tapi ditahan karena ada anak-anak. Selain itu, suami juga kerja di luar jadi beberapa kali masih harus keluar rumah bolak balik untuk urusan pekerjaan.

Ya pekerjaan lumayan terganggu, tapi kita coba beradaptasi jadi misalnya harus bekerja dari rumah dan sebagian teman-teman juga masih ada yang bekerja dari kantor. Kami juga tidak bisa lakukan pertemuan fisik seperti meeting dan seminar dan tidak bisa lagi ke lapangan tentunya.

Saat WFH full diterapkan dengan PSBB mulai Maret sampai Juni itu di rumah terus. Juni hingga pertengahan Juli itu sepekan atau dua pekan sekali ke kantor untuk tandatangan beberapa dokumen dan mengecek pekerjaan. Pernah juga sekali konferensi pers di luar sekali untuk diskusi media.

Kami juga kan punya mitra di daerah, baik itu NGO maupun pemerintah daerah. Itu tidak bisa disambangi lagi. Terus, tidak bisa keluar negeri karena banyak pertemuan di luar negeri yang terpaksa di-cancel selama 2020. Semua konferensi tingkat global sekarang ini dilaksanakan online.

Ada kiat khusus saat menjalani pekerjaan pada saat pandemi?
Salah satu hikmah di masa pandemi ini adalah kalau tadi berangkat pagi sampai sore bahkan bisa sampai malam, anak-anak tidak terpantau karena diserahkan ke sekolah dan pulang sore. Nah, sekarang jadi bisa mengikuti perkembangan mereka misalnya saat ini belajar apa dan diskuksi juga.

Dari situ bisa lihat perbedaan cara kita orang tua dengan guru dalam mengajar dan jadi sekarang cukup bisa termoderasi. Jadi bisa handle anak-anak dari sisi sekolahnya karena mereka SFH masih dari rumah dan bisa juga pantau pendidikan mereka sambil mengerjakan pekerjaan kantor.

Kiatnya itu kita sebagai orang tua harus bisa mengendalikan emosi dan psikis karena lama di rumah itu bikin stres juga. Supaya tetap sehat jiwanya maka harus tetap berhubungan dengan relasi dengan orang lain baik dengan Zoom atau dengan tetangga berhubungan dengan lingkungan sekitar.

Kemudian perlu juga untuk mengobrol dengan anak-anak supaya mereka juga tidak boring selama di rumah. Terus kita juga sempat sesekali keluar rumah tetapi dengan mengikuti protokol kesehatan Covid-19.

Bagaimana perjalanan karier Anda hingga di PWYP?
Sebenarnya jauh sebelum di PWYP, saya dulu kuliah di UGM jurusan Kimia, kemudian dulu juga aktivis mahasiswa dan sempat jadi Ketua Senat di Fakultas MIPA dan menjadi ketua Senat Universitas pertama di UGM.

Pada masa saya menjadi senat itu juga sudah sempat aktif di luar kampus dengan menjadi relawan di NGO Parliament Watch. Jadi kalau dulu sistem politik kita lebih parliament heavy mulai dari reformasi mulai 1998 sampai 2004.

Jadi saya sambil di Senat, juga terlibat dalam pengawasan pemilu, pendidikan. Parliament Watch ini didirikan oleh orang-orang yang sepuh di Yogya, termasuk Pak Sultan Hemengkubuwono itu juga menjadi penasihat.

Nah NGO ini lumayan aktif di bidang politik untuk pengawasan parlemen dan kebijakan publik, serta aktif di risetnya. Dari senat universitas itu dalam perjalanan kuliah sudah menikah sebelum lulus. Jadi menikah dulu sebelum lulus dan itu pada saat akhir. Jadi, menikah lalu KKN kemudian lulus.

Jadi pada setelah melahirkan selang seminggu saya pendadaran skripsi kemudian selesai kuliah dan wisuda. Pekerjaan saya di NGO kemudian cuti karena saya mempunyai anak dan ada banyak teman teman di kerja di Jakarta.

Kemudian saya bekerja di perusahaan kreatif di PT Aseli Dagadu Djokjdja di bagian brand marketing. Jadi saya lompat dari NGO ke ranah marketing. Dari situ saya banyak belajar buku-buku marketing dan itu asyik banget rupanya.

Jadi dunia sosial saya dapat saya salurkan melalui dunia kreatif dan marketing. Saya dulu lumayan menarik pekerjaannya karena banyak berdiskusi dengan desainer dan gali ide, karena Yogyakarta itu kan harus smart dan lucu serta menggelitik.

Pada masa saya itu karena kuatnya pada brainstorming sehingga kita bisa menghasilkan suatu desain terkait dengan perubahan iklim. Lalu, setelah itu saya pindah ke Jakarta, karena suami berkerja di sana itu tahun 2008 karena suami mulai kerja di ICW pada 2007.

Saat pindah itu saya masih transisi dulu dan belum mencari pekerjaan. Pada saat itu saya membantu proyek pembuatan buku dan riset di Pattiro pada pusat telekomukasi regional dan saya melakukan pekerjaan berupa menulis buku dan modul.

Kemudian saya dilibatkan dalam satu proyek yang berkaitan dengan Blok Cepu, migas. Pada Blok Cepu ini kita sampai baca kontrak migas dan belajar apa itu cost recovery dan fiscal itemnya dari PSC Migas sehingga kami buat modul penerimaan sektor migas.

Dari proses itu, tahun 2007 ada deklarasi Publish What You Pay (PWYP). Pattiro kan anggota PWYP, tetapi saya waktu itu belum aktif. Lama-lama saya aktif karena ini menarik. Banyak stakeholder-nya dan itu berkutat pada mekanisme transparansi dan akuntabilitas di industri ekstraktif.

Nah pada tingkat internasional, Indonesia itu menjadi anggota dan waktu kita masih mempromosikan dan baru pada periode II Presiden SBY pada 2009 PWYP ini mengadvokasi EITI dan waktu itu champion-nya itu ada Ibu Sri Mulyani, Pak Emil Salim dan Pak Boediono.

Alhasil pada 100 hari Pak SBY itu berkaitan dengan menjadi anggota EITI. Itu salah satu advokasi kami dan akhirnya pada 2010 berkat dorongan itu Pak SBY menandatangani Perpres 26/2010 dan saya terlibat dalam menyusunnya, kita menjadi anggota full EITI.

Saat itu saya belum bergabung di PWYP dan belum menjadi koordinator. Baru kemudian pada rapat umum anggota tahun 2012 saya dipilih menjadi koordinator.

Jadi sebelum menjadi koordinator itu saya dipilih menjadi wakil masyarakat sipil di tim pelaksana Menko Perekonomian dan baru kemudian jadi koordinator untuk dua periode. Sebetulnya tahun ini sudah masuk tahun periode terakhir saya untuk menunggu pergantian direktur.

Saat gabung di PWYP, apa yang Anda kerjakan?
Pekerjaan utamanya tentu mengawal Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) dan pelaksanaannya di Menko Perekonomian bersama pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil.

Karena EITI itu multipihak, jadi proses EITI mulai dari rekonsiliasi report, laporan pajak dan nonpajak, rekonsiliasi informasi perusahaan seperti izin, kontrak, aliran penerimaan, lalu sampai dengan informasi kontekstual seperti kegiatan perdagangan.

Di EITI, kami juga membuka data trading, kuasi fiskal seperti subsidi dan lain-lain. Bahkan aspek sosial dan lingkungan kita buka di EITI wajib di laporkan. Nah, EITI posisinya belakangan ini memiliki standar yang cukup berkembang.

EITI juga membuka Beneficial Ownership (BO), open contract, bahkan sekarang meminta perusahaan maupun pemerintah untuk deklarasi kebijakan untuk transisi energi dan isu perubahan iklim. Misal, suatu perusahaan punya upaya pengendalian perubahan iklim dengan cara seperti apa.

Di luar EITI, kami juga terlibat dalam advokasi UU Migas dan UU Minerba. Satu lagi, kami juga bekerja sama juga dengan PWYP global dan di Asia Pasifik itu Indonesia termasuk pendiri PWYP di masa awal sebelum Filipina dan di Timor Leste.

Pada kampanye global kami mendorong juga apa yang disebut sebagai Accounting Directive, yaitu seperti pembukaan project by project level, laporan keuangan dan bersama koalisi lain di Eropa melalui Accounting Directive Uni Eropa.

Di Amerika Serikat kami juga terlibat dalam kampanye dan berkirim surat ke SEC yaitu semacam lembaga pengawasan jasa keuangan seperti OJK Indonesia. Lalu ada juga kerja sama dengan Kanada untuk transparasi perusahaan ekstraktif. Kampanye keterbukaan ini cukup berkembang.

Di dalam negeri, kami juga berkerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bidang koordinasi dan supervisi energi dan pertambangan. Itu sejak 2014 sampai dengan 2018 efektifnya.

Kami sudah menghasilkan beberapa report dari hasil koordinasi dan supervisi terutama soal penertiban izin, reklamasi pascatambang, keterbitan membayar pajak dan nonpajak. Lalu juga terkait dengan peta perusahaan tambang.

Kami juga terlibat aktif di forum internasional seperti IMF-World Bank meeting. Kami sering intervensi kebijakan baik dari sisi fiskal dan perpajakan serta aspek lain terkait dengan pengelolaan SDA.

Forum internasional lain seperti GPSA dan Civil G-20, yaitu gerakan masyarakat sipil di G20. Kami juga outreach ke pemerintah di Kemenko Perekonomian serta bekerja sama dengan jaringan lain seperti Prakarsa. Kami juga aktif di Tax Justice Network bersama Oxfam.

Di Tax Justice Network ini, kami bersama Prakarsa yang mendeklarasikan dan kami memiliki beberapa kajian juga berkaitan dengan illicit financial flow serta mempunyai juga piloting pada sub nasional bersama pemerintah daerah.

Jadi daerah daerah penghasil kaya sumber daya alam seperti advokasi dana bagi hasil maupun aspek kesejahteraan seperti penanggulangan kemiskinan dan pemanfaatan industri ekstraktif untuk kesejahteraan masyarakat.

Kenapa perlu pengawasan pada industri ekstraktif?
Industri ektraktif itu aktivitas bisnisnya mempunyai dampak eksternalitas kepada masyarakat. Supaya masyarakat menerima kehadiran industri ini maka harus ada keterbukaan, sebetulnya industri ekstraktif itu memberikan kontribusi berapa untuk negara dan daerah.

Setoran pajak kalian itu seperti apa besarnya. Jadi dari aspek keadilan masyarakat tidak hanya melihat industri hanya sekedar eksploitasi dan ada manfaatnya.

Selain dampak yang ditimbulkan dengan adanya penerimaan negara di dalamnya maka industri ekstraktif itu kesannya industri besar, padat modal dan padat teknologi, serta banyak dioperasikan oleh banyak perusahaan multinasional.

Jadi perlu tahu pada tingkat nasional dan global apakah benefit sharing-nya lebih banyak ke Indonesia atau ke negara lain. Tentu ini sejalan dengan pemenuhan hak masyarakat dalam konstitusi di UUD Pasal 33 yang mengamanatkan bumi air dan kekayaan alam untuk kesejahteraan masyarakat.

Jadi memang sudah hak masyarakat untuk mengetahui sebenarnya hasilnya dikelola seperti apa, karena industri ekstraktif itu menghasilkan komoditas yang besar dan itu memengaruhi perdagangan global terutama produk kita lebih banyak diekspor.

Pada tingkat ini ada banyak potensi penerimaan negara yang bisa jadi hilang kalau tidak diawasi, misalnya dengan transfer pricing dan jual beli perusahaan yang menggunakan offshore company sehingga menyebabkan illicit financial flow sehingga penerimaan pajak menjadi tidak optimal.

Padahal sektor industri ini menjadi andalan ekonomi nasional. Kalau ini banyak hilang karena tidak diawasi pajaknya maka penerimaan pajak tidak bisa menjalankan mandat sehingga terus menerus defisit fiskal untuk anggaran negara.

Dari pengalaman Anda, apakah sektor ekstratif sudah patuh dan transparan?
Sebenarnya kami berharap dengan EITI ada data banyak perusahaan yang dibuka karena mereka wajib melakukan itu dengan adanya perpres. Tingkat kepatuhan perusahaan Indonesia dan non-Indonesia? Menurut saya, kalau perusahaan yang global dan mereka listing di bursa itu cukup patuh. 

Karena dalam kacamata mereka kalau tidak patuh maka akan dapat citra yang buruk. Kemudian, perusahaan nasional itu sebenarnya ada tantangan karena ada grup dan anak perusahaan, bahkan perusahaan besar itu punya anak perusahaan lain di bidang komunikasi dan bidang lainnya.

Kalau dari sisi kepatuhan dan transparasi, kembali lagi bagi yang sudah listing, saya pikir mereka akan terpengaruh dengan standar itu, tapi yang tidak masuk pasar modal dan usaha ekstraktifnya menengah ke bawah. Nah ini, banyak perusahaan industri ekstraktif yang ditengarai tidak patuh.

Kami temukan bersama KPK itu dari sekitar 7.800 uji sampling hanya 72% yang punya NPWP. Jadi bisa dibayangkan perusahaan itu kan wajib punya NPWP lalu yang punya NPWP saja belum tentu bayar pajak dengan benar dan ini apalagi tidak punya NPWP. Dari situ sudah ditertibkan bahkan dicabut izinnya.

Jadi tax ratio kita rendah menurut saya karena juga ada masalah kapatuhan karena ditengarai banyak yang berkelit. Misal, saat kami tanya perusahaan ini milik siapa dan yang memodali siapa dan lainnya itu banyak yang kantornya tidak bisa dilacak.

Di Kalimantan itu banyak sekali yang seperti itu yaitu perusahan ektraktif yang dimiliki perorangan dan kantornya satu ruko dijadikan sebagai alamat beberapa perusahaan. Di situ kami tidak tahu pola manajemennya seperti apa.

Belum lagi pengelolaan terkait dengan lingkungannya dan juga yang mengurus izin tetapi dikerjakan oleh orang lain dan digunakan untuk kepentingan lain seperti untuk mengajukan kredit.

Menurut saya, yang usaha menengah ke bawah untuk perusahaan industri ekstraktif belum banyak yang patuh. Jadi DJP harus melakukan penguatan data basis pajak untuk sektor ini dan saya lihat sudah ada perbaikan untuk itu.

Terkait dengan pengawasan dalam aspek pajak seperti untuk koordinasi dan supervisi bersama KPK ke daerah itu juga datang ke kantor pajak setempat yang ditemukan adalah banyak perusahaan yang tidak teridentifikasi pembayaran pajaknya.

Hal ini sangat riskan dan sangat disayangkan sudah mengekspotasi SDA tetapi tidak patuh kepada pembayaran pajak. Jadi itu masalah industri ekstraktif di Indonesia itu banyak di level menengah ke bawah.

Misal, dari 6.000 sampai dengan 8.000 izin itu pengawasanya sangat sedikit dan kepatuhan pajaknya masih tanda tanya. Masalah perizinan ini juga kami tengarai saat pemberian izin pertambangan itu berhubungan dengan Pilkada sehingga ada relasi politik dan bisnis dari kepala daerah.

Apakah regulasi kita sudah mendukung industri membuka data?
Terkait dengan peneriman manfaat sebenarnya atau BO kita baru punya perpres, idealnya itu UU sehingga punya mekanisme pemberian sanksi dan penegakan hukum, tetapi perpres sebagai langkah awal yang mewajibkan korporasi melaporkan BO itu sudah lumayan kami apresiasi.

Tapi kami harus mencari jalan agar ini bisa sampai ke level UU. Jadi masih ada kesulitan misalnya di kemenkumham ini ada tantangan melakukan koordinasi karena penentuan data base untuk menentukan siapa BO atas suatu perusahaan.

Pada tataran teknis masih ada beberapa perusahan yang belum mempunyai willingness melaporkan BO. Masih ada yang hanya memberikan nama perusahaan tapi bukan ultimate BO. Ada juga yang memberikan informasi bahwa BO-nya itu perusahaan juga, padahal kan seharusnya orang.

Sebagai langkah awal ini, kami pantau dan kami juga terlibat Sustranas bersama KPK dan Kemenkumham karena BO disclosure ini menjadi rencana aksi di dalam Open Government Partnership. Nah ini penting bagi kami untuk memantau.

Kemarin juga sudah ada MoU terkait dengan data BO dan melibatkan DJP dan Kemenkunham. Ini saya kira penting, meski telat, karena data BO diperlukan untuk kepatuhan pajak dan untuk penelurusan kalau ada sengketa. Data ini bisa menjadi yurisprudensi pengadilan pajak.

Lalu dalam AEoI juga bisa dipakai. Karena Inggris dan beberapa negara lain itu mengejar korporasinya melalui aturan BO dan ini penting untuk Indonesia sebagai negara pasar. Belum lagi kalau berbicara soal digital ekonomi itu sangat penting untuk melakukan penelusuran.

Apakah aturan BO harus dipertegas dalam kebijakan perpajakan?
Ya seharusnya BO masuk dalam regulasi pajak, karena revisi UU KUP kita belum ada progres dan salah satu syarat untuk penguatan data base pajak itu dari BO sebenarnya.

Karena itu dil uar kegiatan usaha jadi itu menjadi potensi untuk lihat dari sisi pajaknya. Saya kira itu penting juga untuk regulasi perencanaan pajak karena melalui BO bisa kelihatan semua aliran dari perusahaan sehingga pengawasan terhadap kepatuhan pajak menjadi optimal.

Apa yang akan Anda kerjakan di PWYP dalam waktu dekat ini?
Kami masih mengikuti beberapa isu terkait dengan pelaksanaan UU Minerba yang baru UU No.3/2020. Kemudian kami juga melihat dari aspek penerimaan pajak masih menjadi fokus ke depan untuk kami pantau.

Selain itu terkait izin dan perpanjangan kontrak PKP2 untuk beberapa perusahaan dan sisi benefit sharing buat daerah seperti apa. Pada saat pandemi juga kami ingin melihat insentif pajak ini bagaimana dampaknya terhadap fiskal dan penerimaan daerah.

Untuk insentif fiskal, apakah layak diberikan kepada industri ekstraktif?
Saat ini belum terlalu prioritas, sebaiknya diberikan untuk UKM.

Jadi, pemberian insentif ini tentu tergantung dari tujuannya. Kalau tujuannya agar industri ini bertahan dan tidak melakukan PHK saya pikir dengan bisnis saat ini sudah cukup dengan pengendalian industri. Tapi alangkah baiknya kalau insentif pajak itu lebih diarahkan kepada UMKM.

Kalau industri ekstraktif itu dikasi insentif itu agak lucu karena industri ekstraktif itu ditengarai banyak yang ngemplang pajak. Lebih lanjut, kalau dilihat dari sisi kelas ekonominya kan mereka ini cenderung terasosiasi dengan 1% orang terkaya di Indonesia. Jadi, seharusnya pajak mereka lebih banyak sekarang ini.

Mungkin kita perlu memandang lebih jernih, mengingat beberapa waktu lalu juga ada lobi agar royalti industri ekstraktif diturunkan. Saya kira ini belum prioritas karena akan semakin menggerus APBN karena pendapatan semakin kecil.

Apa yang menjadi dasar Anda berkarir di NGO?
Saya kira pertama untuk NGO yang saya pilih juga punya kebebasan dan keleluasaan untuk menyuarakan kepentingan nasional masyarakat kepada berbagai pihak mulai dari korporasi, pemerintah dan lembaga lainnya. Mungkin fleksibilitas itu bersuara jadi alasan dan motivasi utama.

Di NGO ini dengan terlibat dalam proses pembuatan kebijakan saya kira kami cukup efektif didengar. Jadi saat berikan saran kepada pemerintah itu juga berikan dampak pada collaborative action dengan pihak lain lebih efektif. Karena kami ini kelompok kreatif minoritas, tapi kami tajam bersuara.

Apa arti keluarga bagi Anda?
Keluarga sangat penting, terutama dalam memahami karier saya. Jadi mau enggak mau ada yang berkorban juga karena misalnya harus jauh dari keluarga untuk tugas di luar negeri hingga 10 hari.

Jadi harus ada pemahaman yang kuat. Tapi kami di keluarga sering membuat kompensasi. Misal, sudah lama enggak di rumah maka harus berkerja dari rumah. Nah itu salah satu fleksibilitas bekerja di NGO.

Karena sebelum WFH kami tidak ada kewajiban untuk datang ke kantor selama lima hari dalam satu minggu. Jadi minimal tiga hari ke kantor dan dua hasil bisa di luar kantor. Lalu, kalau sudah menjalankan tugas dinas keluar negeri atau keluar kota ada kebijakan satu hari tambahan stay di rumah.

Sebagai pimpinan di kantor, saya juga ikut memperhatikan isu-isu anak dan perempuan. 

Di luar rutinitas kerja, apa yang biasa Anda lakukan bersama keluarga?
Kami itu suka sekali nongkrong dan ngopi, biasanya satu minggu sekali. Pada masa pandemi ini kadang kita ngopi dengan pakai masker dan face shield. Jadi kami berempat ini tidak bisa diem untuk hang out.

Kalau sedang di rumah kami suka main catur untuk mengisi kekosongan, kemudian baca buku dan berdiskusi dengan bahasa Inggris. Bahkan kami juga membahas isu politik dengan anak-anak.

Kami juga banyak membahas soal IT dan medsos karena anak-anak literasi teknologinya lebih tinggi, jadi orang tua yang banyak diajari sama anak-anak. Jadi hal menarik karena bisa belajar bareng, sharing pengetahuan karena anak pertama laki-laki itu sudah SMP dan adiknya perempuan SD.

Apa arti sukses menurut Anda
Sukses terkadang relatif, ada orang yang belum puas ketika melihat pencapaian orang lain. Kalau menurut saya sukses itu kembali kepada diri kita, apakah merasa sudah optimal melakukan tugas dan bahagia melakukannya.

Itu yang menurut saya sukses, jadi ukurannya berbeda-beda dan tergantung penilaian kita. Kemudian karena saya bergerak kepada isu kebijakan publik dan socialpreneurship, maka sukses itu seharusnya bukan untuk kita saja.

Kita mungkin merasa puas dan bahagia, tapi apakah orang di sekitar merasakan hal yang sama dan terdampak dengan aktivitas kita. Jadi kalau bisa berbuat banyak dengan orang lain terlepas diakui oleh atau tidak, tapi setidaknya kita sudah berbuat memperjuangkan kepentingan orang banyak.

Jadi lewat riset dan data investigasi bisa jadi seseorang merasa terwakili dengan hasil kegiatan yang kami lakukan. Secara tidak langsung kami sudah memperhatikan kepentingan masyarakat yang lemah.

Harapan Anda terhadap perpajakan di Indonesia?
Kemarin baru dapat OECD Report yang bilang Indonesia itu tax ratio-nya paling rendah di Asia Pasifik. Sebenarnya agak kontras, mengingat kita sebagai emerging ekonomi tapi pajak kita masih rendah.

Masih rendahnya rasio pajak itu sangat riskan untuk mencapai SDG`s. Hal yang sama juga akan membuat kita terjebak dalam middle income trap. Jadi harus menjadi upaya kita bersama bagaimana pajak naik.

Karena kita tidak bisa membiayai program pengentasan kemiskinan dan membangun infrastruktur kalau pajak tidak tingkatkan. Ke depan kita tidak bisa mengandalkan penerimaan nonpajak karena kita sudah masuk sunset untuk beberapa SDA dan penerimaan nonpajak kita juga semakin turun.

Modernisasi dan metode untuk optimalisasi penerimaan pajak saya kira penting dan juga kesadaran pajak bahwa pajak itu tanggung jawab konstitusional.

Mungkin karena kita berasal dari negara kaya SDA sehingga dimanjakan, padahal kita punya budaya membayar pajak dari zaman kerajaan misalnya di era Majapahit semua warga negara bayar upeti. Itu yang harus kita gaungkan kembali dalam sistem gerakan nasional kita harus berasal dari pajak.

Bahwa semua orang bayar pajak untuk kepentingan bersama dan untuk orang kaya membayar lebih banyak agar ketimpangan antara si kaya dan si miskin tidak terlalu jauh. Kewajiban membayar pajak itu seharusnya menjadi bagian dari perjuangan untuk mengisi kemerdekaan.

Kedua, mental dan integritas yang mumpuni untuk tidak melakukan korupsi dalam sistem pajak.Jika ada persepsi masih adanya korupsi, orang jadi demoralisasi untuk bayar pajak, jadi ini dua hubungan yang tidak bisa dilepaskan.

Membayar pajak ialah bentuk kontribusi dan penghormatan sebagai warga negara. Itu yang harus jadi revolusi mental supaya tax ratio kita bisa terangkat. (Rig/Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.