DONI BUDIONO

Dari Arus Tegangan ke Debet Kredit

Redaksi DDTCNews
Minggu, 16 Agustus 2020 | 09.01 WIB
ddtc-loaderDari Arus Tegangan ke Debet Kredit

MIMIK mukanya sering terlihat serius. Tapi kalau bercanda, apalagi dengan dialek Suroboyan, tertawanya membius orang di sekelilingnya untuk ikut tertawa. Itulah sosok Doni Budiono, pendiri Persekutuan Doni Budiono dan Rekan, praktisi pajak senior dari Surabaya, Jawa Timur.

Dari sekian banyak praktisi pajak di Indonesia, Doni mungkin salah satu perkecualian. Latar pendidikannya teknik elektro, dengan konsentrasi arus kuat. Sejak sekolah menengah, ia sudah bercita-cita menjadi teknisi. Pokoknya bergerak di bidang teknik.

Namun, sesuatu kemudian terjadi dalam hidupnya. Ia lantas tergoda mempelajari pajak. Tidak tanggung-tanggung, ia juga belajar ekonomi, akuntansi, dan hukum, di sejumlah universitas. Titel penandanya sampai lebih panjang dari namanya sendiri.

Dan semua itu ia jalani dengan ringan. “Saya tidak pernah bermimpi menjadi konsultan pajak atau pengacara,” kata Doni sambil tertawa. Lalu apa inspirasi yang bisa diambil dari perjalanan Doni? Untuk menggali lebih jauh, DDTCNews mewawancarai Doni melalui Zoom pekan lalu. Petikannya:

Apa sih dampak pandemi yang Anda rasakan?
Yang pasti ada perasaan takut. Kita dulu bisa ngobrol atau ngopi bareng dan naik pesawat. Tapi sekarang enggak bisa. Bagi saya, dampak Covid-19 ini luar biasa. Dulu saya pernah sesak napas dan dirawat. Waktu itu sih beberapa hari selesai. Namun, dengan Covid-19 ini, ada rasa takut.

Akhirnya, Covid-19 ini mengubah cara kerja dan perspektif kita. Yang pasti, ada musibah ada berkah. Sekarang, biaya pendidikan murah. Webinar Rp100 ribu itu tidak mungkin terjadi dalam situasi offline. Perubahan juga terjadi pada keimanan. Yang enggak pernah berdoa sekarang tekun hehe…

Di kantor ada kiat khusus. Selain menerapkan protokol kesehatan, karena ini berhubungan dengan IT, Internet kami perkuat. Bagaimana mau bicara enak jika koneksi pedhat-pedhot. Kedua, selektif memilih pekerjaan. Job berkunjung ke klien sekarang pakai IT. Wawancara misalnya secara online.

Latar belakang Anda unik sekali. Apa yang membuat Anda melirik pajak?
Hehe… Saya tidak pernah bermimpi jadi konsultan pajak atau pengacara. Jujur, waktu SMA IPA, dan cita-cita saya ke bidang teknik. Saya enggak paham akuntansi, keuangan apalagi pajak. Bahkan cenderung menyepelekan. Saat kuliah dulu di teknik elektro. Jurusan favorit itu.

Waktu itu sebelum lulus, perusahaan orang tua saya diperiksa Karikpa (Kantor Pemeriksa Pajak, kini melebur ke Kantor Pelayanan Pajak). Kebetulan orang tua baru meninggal. Waktu itu tahun 1989, saya mewakili orang tua dalam pembahasan hasil pemeriksaan.

Dulu Karikpa itu greng dan berwibawa sekali. Saat itulah saya dihadapkan pada problem perpajakan. Hasil Surat Ketetapan Pajak (SKP)-nya menyebabkan beberapa aset orang tua kena sita. Problemnya waktu itu ada pada pajak pertambahan nilai (PPN).

Orang tua punya pabrik paving blok. Mengerjakan dari pasir dan batu, lalu dicetak. Waktu dijual PPN-nya tidak dipungut. Jadi beli dari pabrik dikirim ke end user atas nama perusahaan. Pajak masukannya lebih besar, tidak ada pajak keluaran. Ya klenger kita. Itulah saya bersumpah belajar pajak.

Jadi, anak teknik belajar brevet?
Hehe.. iya. Saya setelah lulus kan kerja di pabrik di Tulungagung. Pagi kerja, malam brevet. Ada pengalaman saat brevet di Unair. Saya ditanya latar pendidikan, begitu saya jelaskan, satu kelas tertawa hehe... Saya ingat pernah bertanya soal debet kredit di kelas.

Saya bilang, saya ini hanya tahu arus, tegangan dan hambatan, enggak tahu pajak, kenapa harus debet-kredit? Waktu itu sekelas ngakak. Apanya yang lucu? Lha wong saya enggak tahu. Pulang brevet, saya beli buku akuntansi. Saya belajar. Akhirnya, lulus brevet lalu ikut USKP, dan lulus.

Setelah itu, jadi konsultan pajak dan jadi kuasa di pengadilan pajak. Karena lemah di akuntansi, saya kuliah di Universitas 17 Agustus dan jadi lulusan terbaik. Lalu ke profesi akuntan, jadi lulusan terbaik juga. Dari situlah ketertarikan saya ke sektor keuangan, akuntasi, dan pajak makin besar.

Bagaimana Anda belajar hukum?
Nah, ini prosesnya berjalan setelah dari situ. Suatu hari ada sidang di pengadilan pajak Jakarta. Saya dari Surabaya berangkat dengan pesawat jam 5 pagi, dan langsung ke pengadilan untuk mengambil nomor antrean supaya bisa cepat pulang.

Di pengadilan, saya memanggil hakim dengan sebutan ‘Bapak Majelis yang mulia’. Saya pikir itu keren kan. Lha kok saya ditegur, dibilang kalau kuasa hukum pajak itu menyebut hakim cukup dengan ‘yang mulia’ atau ‘majelis’.

Setelah itu Doni kuliah hukum di Universitas 17 Agustus lagi, dan kembali jadi lulusan terbaik. Lalu berlanjut ke Pendidikan Khusus Profesi Advokat di Unair. Ia mengaku, ujiannya berat sekali. Ia lalu terbang ke Universitas Indonesia, terpisah dengan keluarga. Begitu ada ujian, ia ikut dan lulus.

Apa yang terjadi setelah itu?
Setelah lulus ujian, saya magang. Tidak seperti konsultan pajak yang bisa langsung tempel plang nama. Magang dulu, pro bono, semua proses saya ikuti. Akhirnya 2 tahun saya disumpah jadi lawyer. Jadi ini semua saya lakukan bukan karena hobi sekolah, tapi geregetan dan terpaksa.

Enggak lama sesudah itu saya ikut pendidikan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) di Universitas Bina Nusantara dan jadi lulusan terbaik. Lalu saya belajar kurator dan kepailitan. Kemudian ambil master akuntansi. Saya juga ambil master hukum, dan sekarang doktor ilmu hukum.

Apa sebetulnya yang Anda inginkan?
Saya ingin menginspirasi, kalau dampak dari sesuatu itu -kalau kita cermati benar-benar dan kalau kita kuat- maka akan jadi motivasi kita. Seperti saat pandemi ini, jangan kita hanya minta bantuan pemerintah dan berdoa. Kita harus berusaha dan berpikir apa yang bisa dikembangkan.

Ini bisa jadi motivasi, tidak ada kata putus asa. Saya belajar dari setan karena mereka tidak pernah putus asa menggoda orang. Jadi tidak apa-apa jatuh mental dulu di awal, saya di-bully, tapi tetap selesaikan studi saya. Misalnya untuk belajar kepailitan, istilah Jawanya kita ini wani thok.

Profesi Anda bermacam-macam. Lebih suka mana?
Kalau kita belajar hukum sekaligus ekonomi, akuntasi dan pajak, otak biasanya tidak kuat hehe.. Tapi saya enjoy saya. Memang saya bukan yang terbaik, tapi paling tidak saya yang terbaik bagi anak-anak. Anak pertama saya belajar hukum, anak kedua belajar ekonomi. Keduanya di Unair.

Di kantor, Doni juga menyediakan jasa konsultasi keluarga. Namun, ia menolak mengurus perceraian. Maklum, di keyakinannya perceraian dilarang. Ia hanya memberikan konsultasi kalau ada perselisihan. Beberapa kasus bisa damaikan, kalau tidak ya Doni angkat tangan.

Doni Budiono (tengah) diapit sejumlah karyawannya saat peresmian kantor baru di Surabaya.

Kapan persisnya Anda menemukan titik balik dalam karir?
Yang menjadi titik balik saya itu perkembangan keadaan sekaligus melihat peluang. Kalau kita punya spesialisasi di pajak, suatu saat kita pasti terbentur persoalan lain. Dalam mengisi petitum, misalnya. Kuasa pajak yang punya latar belakang hukum dan ekonomi hasilnya pasti berbeda.

Jadi titik baliknya saat kita menguasai bidang lain dan itu tidak melanggar apapun. Lawyer bisa merangkap kurator, akuntan, dan konsultan pajak. Dengan itu saya merasa lebih nyaman. Kalau bicara pajak saya bisa, perlindungan merek atau restrukturisasi utang, saya nyambung.

Pengalaman berkesan selama menjalani profesi?
Sebagai konsultan pajak, kalau tidak punya nilai tambah itu menurut saya kurang. Saya pernah menangani klien yang akan dilakukan pemeriksaan bukti permulaan. Kami kooperatif mendatangi pemeriksa di Kantor Pusat Ditjen Pajak.

Namun, di depan pintu dikatakan kami semua bisa dipidanakan. Kalau konsultan biasa pasti diam, tapi saya berargumen. Saya katakan, ada prinsip tidak bisa menghukum orang kalau belum ada putusan. 

Apa harapan Anda untuk perbaikan sistem perpajakan kita?
Saya berharap pemerintah bisa konsisten. Kita semua paham pajak penting untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa. Tapi mulai dari kita official assesment sampai self assesment, saya merasa ada ketimpangan sosial, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.

Ada dua fungsi pajak, bujeter dan reguleren. Pada masa pandemi seperti ini, menjalankan fungsi bujeter itu susah setengah mati. Pada saat yang sama ada insentif yang banyak sekali. Untuk fungsi reguleren saya melihat kesejangan kian melebar. Karena itu, fungsi mengatur perlu dilakukan.

Doni Budiono (kedua kiri) menjadi narasumber dalam satu seminar bertajuk Evaluasi UU Kepailitan yang diselenggarakan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Maksudnya?
Pemerintah harus konsisten, berani. Misalnya kewajiban faktur pajak wajib pakai KTP, itu sudah diatur UU. Ketika mau diterapkan didemo, terus enggak jadi. Akhirnya, kebijakan yang bagus malah mundur. Ini membuat orang tidak tertib. Rusaknya regulasi ini karena pemerintah tidak tegas.

Orang enggan jadi pengusaha kena pajak (PKP). Pengusaha itu kalau kecil tidak perlu PKP, setelah jadi besar baru PKP. Kenapa enggak dibalik, semua pengusaha PKP, yang kecil boleh ajukan pencabutan? Kalau sekarang, orang malas menjadi PKP. Ini jadi sumber masalah.

Kalau tidak bisa ekstensifikasi misalnya, sistem PPN itu dikembalikan saja ke pajak penjualan. Orang tidak pusing dengan pajak masukan dan pajak keluaran. Tapi kalau lanjut PPN, ya benahi. Kemudian PKP UMKM, itu banyak tax planing-nya. Lalu pajak warisan. Ini perlu dipikirkan supaya fair.

Di luar rutinitas kerja, apa kegiatan Anda?
Hobi saya jalan-jalan sama keluarga. Setiap kegiatan, anak selalu ikut. Makanya sering saya ajak ke mana-mana bergantian. Saya ingin hidup ini imbang antara pekerjaan dan keluarga, antara kesehatan dan keuangan.

Kebahagiaan itu bukan cuma uang berlimpah, kesehatan juga penting. Saya juga hobi bergaul. Yang penting kerja halal, jadi kebaikan. Hasilnya sedikit juga harus kita syukuri, karena dengan itu kita bisa berhati-hati. (Rig/Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.