DIRECTOR OF DDTC FISCAL RESEARCH AND ADVISORY B. BAWONO KRISTIAJI:

‘Solusi Pajak Seharusnya Didiskusikan dalam Ruang yang Tidak Tertutup’

Redaksi DDTCNews
Selasa, 06 Agustus 2024 | 09.20 WIB
ddtc-loader‘Solusi Pajak Seharusnya Didiskusikan dalam Ruang yang Tidak Tertutup’

PAJAK merupakan multidisplin ilmu. Perkembangannya juga sangat dinamis karena tidak dapat dipisahkan dari kondisi perekonomian serta transformasinya. Oleh karena itu, perumusan kebijakan dan administrasi pajak harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders).

Director of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji mengungkapkan karakteristik pajak itu memengaruhi ‘kualifikasi’ profesionalnya. Bagi peraih CFE Award Albert J. Radler Medal atas tesis perpajakan terbaik se-Eropa pada 2016 ini, kunci pentingnya adalah terus membaca.

Menurut Bawono, lingkungan yang dibangun di DDTC sangat mendukung hal tersebut. Konsistensi memperbarui pengetahuan lewat membaca sekaligus berdiskusi sangat berguna ketika stakeholders, termasuk pembuat kebijakan, meminta pandangannya atas berbagai isu pajak.

Tidak mengherankan jika dalam ajang Asia-Pacific Tax Awards 2024 yang digelar International Tax Review (ITR), dia menjadi salah satu nominator. Kali ini, dia masuk nominasi Indirect Tax Practice Leader of the Year. Simak ‘DDTC Masuk 12 Nominasi Penghargaan ITR Asia-Pacific Tax Awards 2024’.

DDTCNews berkesempatan mewawancarai Bawono untuk mencari tahu awal perjalanan karier dan masukan untuk para profesional pajak muda. DDTCNews juga berdiskusi mengenai beberapa aspek terkait dengan pajak tidak langsung (indirect tax) di Indonesia. Berikut kutipannya.

Anda masuk nominasi Indirect Tax Practice Leader of the Year dalam Asia-Pacific Tax Awards 2024. Bagaimana Anda memaknai hal ini?

Tentu saja ini merupakan pencapaian dan pengakuan terhadap DDTC, bukan saya pribadi semata. Mengapa? Karena saya berproses di DDTC dengan berbagai tanggung jawab serta kepercayaan memimpin tim, menyelesaikan permasalahan pajak, serta berinteraksi dengan stakeholders.

Saya mendapatkan banyak kesempatan untuk mengasah kemampuan dan keahlian dalam berbagai aspek pajak, termasuk terkait dengan indirect tax, seperti PPN, cukai, dan lainnya. Saya menyadari majunya seorang profesional kan dari keahlian dan pengalaman. Itu semua saya dapatkan di DDTC.

Untuk itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Founder DDTC, Bapak Darussalam dan Bapak Danny Septriadi. Selain itu, saya juga berterima kasih kepada seluruh tim, keluarga besar DDTC. Environment di DDTC sangat mendukung para profesionalnya untuk terus berkembang.

Bagaimana sebenarnya awal mula karier Anda pada bidang pajak, terutama di DDTC?

Awal masuk DDTC, saya berada pada divisi Consulting. Setelah studi di Tilburg University Belanda melalui program Human Resource Program Development (HRDP) DDTC pada 2014-2015, saya mendapat tanggung jawab baru bidang riset, yang saat ini adalah divisi Fiscal Research & Advisory.

Saya tidak pernah menyangka kecebur di sektor pajak. Saya belajar ekonomi serta pajak itu dari sisi makro, fiskal, public finance, dan sejenisnya. Namun, hal itu ternyata sangat penting karena saya bisa mempunyai perspektif makro yang melibatkan multidisplin ilmu dan berbagai sudut pandang.

Perspektif tersebut ternyata juga penting bagi profesional pajak. Jadi, ketika masuk ke hal yang sifatnya practical atau teknis, saya tetap bisa melihat dari sisi lebih luas.

Kemampuan seperti itu yang sangat dibutuhkan seorang pemimpin (leader) …

Betul. Artinya, bisa melihat secara komprehensif. Terlebih, pencarian solusi terkait persoalan pajak seharusnya didiskusikan dalam ‘ruang yang tidak tertutup’. Artinya, stakeholders yang beragam. Terlebih, pajak itu multidisplin ilmu sehingga banyak hal-hal yang saling memengaruhi. Itu pasti.

Menurut Anda, memahami pajak itu sejatinya sulit atau tidak?

Pajak memang mempunyai beragam istilah teknis dan bahasa hukumnya sehingga perlu dipelajari. Sayangnya, dalam konteks Indonesia, pajak itu terlihat sulit karena bukan isu keseharian. Orang-orang tidak membicarakan pajak setiap hari.

Menurut saya, dibilang sulit atau enggak itu resepnya cuma 1, yakni baca. Jadi, baca untuk melihat perkembangan terkini atau update di sektor pajak domestik maupun internasional. Baca juga hal-hal yang bersifat keilmuan. Selain itu, perlu terus berinteraksi dengan stakeholders.

Tingkat kesulitan memang terletak pada dinamisnya perkembangan sektor pajak. Oleh karena itu, saya setuju sekali dengan tema HUT ke-17 DDTC tahun ini, yakni Reinforcing Tax Philosophy and Elevating Values. Ada kata kunci kembali ke filosofinya.

Jadi, kalau kita sudah memahami beyond the rules-nya itu apa, logic-nya, atau konsepnya, ya akhirnya memahami aturan bisa lebih mudah. Misal, kalau kita bicara soal PPN, ada deviasi-deviasi dalam situasi di Indonesia. Kita bisa melihat itu jika sudah mengetahui filosofi PPN.

Artinya aspek fundamental dari pajak itu perlu dipahami terlebih dahulu …

Iya karena kita akhirnya lebih mudah untuk menganalisis beyond the rules-nya. Ibaratnya, aturan itu pasti akan diubah. Namun, dengan mengetahui logic dan filosofinya, kita bisa melihat ‘bagaimana yang seharusnya’.

Sudah sekitar 15 tahun menjadi profesional DDTC, menurut Anda, bagaimana sistem pajak di Indonesia?

Saya sebenarnya cukup beruntung karena bisa melihat transformasi begitu hebat di sektor pajak selama 15 tahun ini. Ketika saya mendalami pertama kali, sektor pajak itu relatif elitis. Seolah-olah ini adalah ilmu atau isu yang berdiri sendiri dalam konteks economic development di Indonesia.

Nah, seiring dengan berjalannya waktu kan kita melihat transformasinya. Misal, transparansi atau keterbukaan mengenai bagaimana reformasi organisasi terus dilakukan. Kemudian, kita juga melihat bagaimana isu pajak dibicarakan.

Ada edukasi yang lebih bagus. Jadi, kembali lagi, saya sebenarnya bisa bilang beruntung melihat transformasi pajak dari awalnya sebagai isu elitis menjadi isu publik yang akan menjadi salah satu penentu perjalanan pembangunan Indonesia ke depan.

Saya makin merasa beruntung lagi karena menjadi bagian dari DDTC yang turut berperan dalam perjalanan reformasi pajak itu. Terlebih, DDTC memiliki visi sebagai institusi pajak berbasis riset, teknologi, dan ilmu pengetahuan yang menetapkan standar tinggi dan berkelanjutan.

Apakah artinya pajak di Indonesia sudah berkembang ke arah yang lebih baik?

Iya. Kalau yang saya pelajari selama ini, apakah itu berjalan ke arah yang lebih baik atau tidak, masalahnya setiap zaman itu punya titik atau point mana yang paling ideal. Jadi, ketika bicara pajak 5 tahun mendatang, titik optimal atau arah benarnya mungkin bukan seperti sistem sekarang.

Namun, yang menariknya, Indonesia itu tidak pernah berhenti untuk mencari atau menyelaraskan dengan international best practice atau kembali ke konsep dan segala macam. Benchmarking itu sangat penting.

Misal, kita ambil contoh dalam konteks PPN. Trennya, PPN itu makin menjadi andalan penerimaan di banyak negara. Nah, ketika menjadi andalan di banyak negara, akhirnya banyak diskursus mengenai sistem yang paling ideal, deviasinya, dan praktiknya sesuai konsep atau belum. Ini harus menjadi perhatian pemerintah dan stakeholders lainnya.

Anda menyebut tentang PPN. Dalam konteks konteks Indonesia, menurut Anda, bagaimana kondisi dan tantangan pengenaan indirect tax?

Ulasan mengenai ini sebenarnya juga sudah masuk dalam buku Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Bab 4 buku ini berjudul Meninjau (Deviasi) Sistem Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia.

Konsep PPN kan memang seharusnya berlaku umum karena menjunjung tinggi asas netralitas dan efisiensi. Jadi, fasilitas seperti pengecualian, pemberian threshold pengusaha kena pajak (PKP), dan segala macamnya itu cenderung membuat sistem PPN di Indonesia masih belum netral.

Selain itu, dalam sejumlah sengketa, ada pengaruh dari skema pencairan restitusi pajak yang belum bersifat real time. Dalam konteks administrasi PPN, ada VAT compliance cost yang salah satunya menyangkut seberapa lama wajib pajak bisa menerima restitusi pajak.

Kemudian, indirect tax lain misalnya cukai. Saya melihat di Indonesia masih belum optimal karena memang narrow-based excise. Jadi, objeknya sedikit sekali. Selain itu, ada juga faktor sistem cukai yang relatif kompleks. Contoh, banyaknya golongan hasil tembakau dan tarif cukainya.

Ditjen Pajak tengah membangun coretax administration system (CTAS). Apakah ini juga akan membawa dampak dari sisi keadilan karena ada berbagai kemudahan administrasi?

Dengan dominasi PPN yang makin tinggi, akhirnya prinsip-prinsip pajak seperti keadilan tidak lagi hanya dilihat dari per jenis pajak. Contoh, kalau kita dulu bilang keadilan, selalu dilimpahkan pada PPh. Namun, prinsip yang sama seharusnya diterapkan pada PPN karena porsinya makin dominan.

Ibaratnya, kalau kita mengesampingkan prinsip keadilan dalam PPN, itu sama saja berarti sistem kita mungkin makin lama makin enggak adil. Situasi ini bisa terjadi karena PPN-nya kan memang lebih banyak ke efisiensi dan netralitas.

Nah, kalau dari sisi administrasi, tentu prinsip yang pertama sebenarnya segala sesuatu lebih mudah. Ada data matching dan semua itu berbasis real time. Kemungkinan kebocoran dari sistem PPN juga makin bisa diantisipasi.

Adanya coretax ini akhirnya soal bagaimana menciptakan kepastian. Seperti kita ketahui, salah satu aspek kepastian yang sering berkaitan dengan PPN itu ya masalah restitusi. Tingkat kemudahan dan waktu pencairan restitusi sangat berpengaruh karena berkaitan dengan cash flow perusahaan.

Jadi, dengan adanya coretax, pengembangan selanjutnya justru menyangkut bagaimana upaya membentuk atau mewujudkan sistem tax refund atau restitusi pajak yang lebih cepat dan berkepastian bagi wajib pajak.

Adakah saran untuk kebijakan atau administrasi terkait dengan PPN atau indirect tax lain di Indonesia?

PPN itu by nature pasti bisa menjadi andalan di Indonesia karena consumption-based economy. Selain itu, sifatnya memang relatif lebih mudah untuk diadministrasikan dibandingkan jika kita bicara tentang PPh atau jenis pajak lain.

Namun, hal itu tidak boleh serta-merta menjustifikasi adanya kebijakan optimalisasi penerimaan PPN tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Jika mau mengoptimalkan penerimaan PPN, pemerintah juga harus siap dengan konsekuensi dari sistemnya supaya lebih netral.

Misal, manajemen restitusinya harus makin baik sehingga hak-hak wajib pajak tidak terhambat. Selain itu, pemerintah harus berupaya membenahi aspek pencegahan sengketa, bahkan untuk kasus serupa yang berulang. Perjelas aspek-aspek yang selama ini menjadi ruang munculnya sengketa.

Sama juga terkait dengan cukai. Intinya, pemerintah perlu melihat 2 aspek, yakni producer behaviour dan consumer behaviour. Pemerintah harus bisa memprediksi dampak dari sisi demand dan supply dari setiap kebijakan yang ditempuh. Hal ini perlu ditempuh dengan riset yang baik.

Terkait dengan riset, tesis Anda berjudul Incentives and Disincentives of Profit Shifting in Developing Countries memenangkan CFE Albert J. Radler Medal. Menurut Anda, seberapa penting riset untuk para praktisi pajak?

Sangat penting. Hal ini juga menjadi bagian dari visi DDTC. Tidak mengherankan juga jika DDTC memenangkan Pro bono Firm of the Year dalam Asia-Pacific Tax Awards 2022. Tahun ini, DDTC kembali masuk dalam nominasi serupa.

Dengan riset, banyak aspek yang dapat dilihat sebelum pengambilan keputusan. Dalam konteks riset pajak, praktisi harus mempunyai beragam perspektif. Ibaratnya, sebagai peneliti, seseorang harus mengetahui bagaimana praktiknya, bagaimana dari sisi kebijakannya, dan sebagainya.

Open minded sehingga akan memperkaya perspektif. Perspektif yang kaya juga akan memberikan guidance cara yang paling tepat untuk menyampaikan atau men-deliver sesuatu. Pada akhirnya, semua pihak di sektor pajak, dasarnya perlu melakukan riset dalam melakukan pekerjaannya.

Bagaimana memulai riset yang baik?

Intinya perlu memadukan aspek keilmuan dan kreativitas. Maksud dari kreativitas di sini terkait dengan literatur yang digunakan, metodologi yang dipakai, serta solusi yang ditawarkan. Tentu saja perlu didukung dengan environment dan tim yang baik. Itulah tujuan DDTC juga mendirikan DDTC Library.

Adakah pesan untuk praktisi muda pada bidang pajak?

Jangan gampang berada di zona nyaman. Jangan lupa untuk ‘berpikir liar’. Maksud saya, pajak ini kan sesuatu yang sudah diatur (by rules). Namun, kadang-kadang jawabannya beyond the rules-nya itu. Itu yang perlu untuk terus digali dengan terus membaca.

Kemudian, jangan berhenti belajar. Ya, belajar itu sebenarnya bukan hanya didapat dari buku, tempat kuliah, atau kursus, melainkan juga orang-orang sekeliling kita. Orang itu baik yang lebih senior, sejawat, dan juga mungkin junior kita. (kaw)

Simak profil B. Bawono Kristiaji di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.