Dwiki Agung Pebrianda,
REZIM pajak penghasilan (PPh) Indonesia mengenal mekanisme PPh final, yakni perhitungan pajak tanpa memperhitungkan nominal total yang diterima wajib pajak. Akibatnya, PPh final tidak mengenal perhitungan pajak selama satu tahun sehingga pajak yang ditanggung wajib pajak hanyalah pajak yang telah dipotong (final) di saat tertentu.
Salah satu jenis penghasilan yang dikenakan PPh final adalah pengalihan hak atas saham yang listing di bursa saham. Transaksi ini dikenakan tarif PPh sebesar 0,1% dari nilai transaksi bruto. Dengan mengesampingkan potensi gain/loss karena objeknya berupa bruto, tarif ini tentu jauh lebih kecil dari tarif reguler yang bisa mencapai 35%.
Dengan begitu, kombinasi absennya perhitungan penghasilan setahun dan pengenaan atas bruto berujung sulitnya menilai apakah tarif ini terbilang rendah atau tinggi, adil atau tidak adil. Satu-satunya hal yang pasti adalah PPh akan selalu dikenakan, terlepas kondisi subjek dan objek transaksi.
Seorang wajib pajak bisa saja meraup untung sebesar 50% tetapi hanya membayar pajak dengan tarif 0,1% dari bruto. Artinya, praktis tarif pajaknya hanyalah 0,3% dari keuntungan (0,1% X 150% / 50%). Di sisi lain, wajib pajak yang menanggung rugi sebesar 50% pun tetap harus membayar 0,1% dari bruto atau 0,05% dari harga beli.
Ketidakseimbangan pun terjadi saat pembayaran pajak tidak mengikuti kemampuan. Selain itu, secara riil tarif berubah-ubah sesuai dengan kondisi gain/loss wajib pajak. Di satu hari tarif terbilang kecil, tapi di hari berikutnya bisa tiba-tiba melonjak.
Kabar baiknya adalah kemajuan teknologi membuka ruang untuk memperbaiki mekanisme ini. Pertama, pencatatan keuntungan dan kerugian otomatis atas transaksi emiten di bursa saham ialah hal yang mungkin dilakukan. Kedua, sinkronisasi database Ditjen Pajak (DJP) dengan pihak ketiga memungkinkan penghasilan yang diperoleh wajib pajak diketahui secara akurat.
Di zaman sekarang, mayoritas transaksi saham dilakukan via aplikasi, baik mobile-based ataupun web-based. Salah satu fitur yang ditawarkan melalui platform ini ialah informasi untung/rugi berdasarkan selisih harga beli dan harga pasar emiten di saat tertentu.
Jika informasi untung/rugi setiap transaksi dapat diketahui, ada 2 hal yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perpajakan. Kedua hal tersebut ialah pemotongan penghasilan sebagai kredit pajak dan informasi penghasilan perhitungan PPh tahunan.
Informasi transaksi dapat digunakan sebagai dasar dilakukan pemotongan atau tidak. Jika transaksi bersifat untung, nilai keuntungan tersebut dikalikan dengan tarif berlaku untuk dilakukan pemotongan pajak dan nantinya diperlakukan sebagai kredit pajak. Jika rugi, tidak ada pemotongan yang dilakukan.
Selanjutnya, akumulasi informasi transaksi dapat dijadikan sebagai salah satu komponen dalam pengisian SPT Tahunan. Jika akumulasi transaksi dalam satu tahun bernilai positif, terdapat tambahan penghasilan yang harus diperhitungkan wajib pajak. Sedangkan jika akumulasi bernilai negatif, wajib pajak berhak memperlakukannya sebagai pengurang penghasilan terutang.
Penerapan kedua aspek ini akan memperkuat keadilan sistem pajak. Melalui kredit pajak, penghasilan hanya akan dipotong saat wajib pajak benar-benar merealisasikan gain. Di sisi lain, akumulasi untung/rugi dapat memastikan wajib pajak membayar sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Potensi penerimaan dari kenaikan valuasi saham ini sendiri juga tidak kecil. Menurut data Google Finance, tercatat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada tahun 2021 mengalami kenaikan sebesar 8,3% dari level Rp6.000-an pada Januari ke Rp6.500-an pada Desember.
Sisi positif lainnya, mekanisme ini akan membawa kesetaraan bagi transaksi saham perusahaan privat. Seperti diketahui, saham perusahaan yang tidak listing dikenakan pajak progresif sesuai dengan Pasal 17 UU PPh dan dihitung berdasarkan nilai netto sehingga perbedaannya dengan perusahaan publik cukup terlihat.
Kesetaraan ini bermanfaat jika pemerintah ingin membangun iklim investasi yang lebih kondusif, terutama bagi perusahaan privat. Naiknya tarif bagi transaksi di bursa saham secara tidak langsung berpotensi mendongkrak daya tarik perusahaan privat yang notabene merupakan bentuk awal saat semua perusahaan didirikan.
Namun, terlepas dari potensi keuntungannya mekanisme ini juga berisiko mendatangkan tantangan baru. Yang paling pasti adalah bertambahnya beban administrasi, baik bagi DJP sebagai otoritas maupun pialang saham selaku penyedia platform, untuk mengakomodasi sinkronisasi data pemotongan pajak dan transaksi wajib pajak.
Risiko selanjutnya adalah naiknya kemungkinan restitusi wajib pajak karena perlakuan rugi sebagai pengurang penghasilan. Kondisi ini akan makin marak saat ekonomi sedang lemah dan harga saham anjlok, seperti saat mula wabah Covid-19 pada Maret 2020. Saat itu, IHSG jatuh sebesar 32% ke level Rp 4.200-an dari Rp 6.200-an pada Januari 2020.
Hal ini tentu menyulitkan karena DJP kehilangan sumber penerimaan tepat di saat belanja pemerintah sedang sangat dibutuhkan, baik sebagai bantuan sosial maupun stimulan ekonomi. Program counter-cyclical seperti subsidi dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) pun akan terganggu.
Implikasi lanjutan dari risiko restitusi adalah mekanisme restitusi itu sendiri. Wajib pajak dengan restitusi sekecil apapun tetap dapat memilih prosedur biasa yang bisa memakan waktu hingga satu tahun walaupun ada fasilitas pendahuluan dengan maksimal satu bulan.
Kondisi ini diakibatkan pendahuluan itu sendiri merupakan fasilitas yang bisa dipilih atau tidak oleh wajib pajak. Ketidaktahuan wajib pajak seringkali berujung pemilihan prosedur biasa. Hal ini membuat DJP yang mengeluarkan effort dan resources lebih untuk kasus yang sebenarnya berisiko rendah.
Setiap kebijakan pasti akan menelurkan pros and cons. Terkait dengan isu pajak, ada satu hal yang perlu digarisbawahi, yakni pajak bukan isu statis. Pajak adalah isu dinamis yang harus terus disesuaikan dengan keperluan dan kemajuan zaman.
Terakhir, pekerjaan rumah terberat pemerintah ialah analisa kebijakan mendalam. Pemerintah harus melihat semua aspek terkait dan jika kebijakan ini hendak diterapkan, pemerintah perlu memastikan bahwa net effect-nya ialah positif serta berkontribusi bagi pembangunan bangsa. (sap)