Dian Anggraeni,
OPTIMISME muncul pada akhir 2019. Pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir terus meningkat hingga mencapai 5,07% pada 2019. Rasio pengangguran juga secara konsisten turun hingga mencapai 5,29% pada tahun tersebut. Kondisi ini memantapkan langkah memasuki 2020.
Sayangnya, virus Corona mulai terdeteksi masuk Indonesia pada 2 Maret 2020. Alhasil, sumber daya pemerintah lebih banyak dipakai untuk penanganan pandemi. Ibarat pesawat yang baru lepas landas dihadang turbulensi sehingga semua upaya dilakukan agar tidak terjadi hard landing.
Seluruh negara jelas memahami diperlukannya dana yang tidak sedikit untuk penanganan kesehatan serta pemulihan ekonomi. Keduanya bak dua sisi mata uang. Upaya pencegahan penyebaran virus Corona โ yang dilakukan dengan pembatasan kegiatan โ pada gilirannya menekan perekonomian.
Pada penghujung Maret 2020, pemerintah mengambil upaya luar biasa melalui penerbitan Perpu 1/2020 yang kemudian disahkan menjadi UU 2/2020. Beleid ini menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk memperlebar ruang defisit anggaran lebih dari 3% produk domestik bruto (PDB).
Jika belanja penanganan pandemi tidak diikuti dengan ketersediaan ruang fiskal maka utang memang menjadi alternatif pendanaan. Kendati demikian, ruang pelebaran deficit anggaran itu diberikan terbatas. Pada 2023, pemerintah harus mengembalikan batas maksimal defisit ke 3% PDB.
Sebagai sumber terbesar penerimaan negara, pajak menjadi senjata yang paling ampuh untuk memenangkan battle ini. Konsolidasi fiskal perlu dilakukan untuk memastikan ketersediaan amunisi. Akhir dari pandemi belum dapat diprediksi sehingga terobosan keberlangsungan fiskal diperlukan.
Konsolidasi fiskal dilakukan untuk mengurangi sekat-sekat yang mempersempit ruang fiskal. Jika dipetakan, keterbatasan fiskal paling besar disebabkan dari terbatasnya sisi administrasi perpajakan dan basis pajak, masih rendahnya kepatuhan perpajakan, serta belum tercapainya keadilan dan kesetaraan dalam pengenaan pajak.
Keterbatasan administrasi perpajakan antara lain bisa dilihat dari masih sempitnya jangkauan administrasi pajak Indonesia dalam menangani aggressive tax planning. Administrasi perpajakan yang ada belum mencakup general anti-avoidance rule (GAAR).
Selain itu, hingga saat ini, belum ada ketentuan domestik yang mengatur mengenai penagihan antaryurisdiksi. Setiap penagihan yang dilakukan dengan melibatkan aset milik penanggung pajak yang berada di luar negeri diangap pelanggaran.
Keterbatasan basis pajak juga dipengaruhi fenomena banyaknya korporasi yang mengaku mengalami kerugian bertahun-tahun. Korporasi tersebut pada akhirnya absen membayar pajak meskipun operasional usahanya masih berlangsung, bahkan berkembang.
Hal lain adalah masih rendahnya rasio C-Efficiency di Indonesia yang hanya sebesar 63,58 %. Artinya, masih banyak potensi pajak pertambahan nilai (PPN) yang belum tergarap. Penyebab utama masalah ini adalah banyaknya pengecualian pengenaan PPN dalam administrasi pajak.
Selain itu, jika dibandingkan dengan tarif pada negara lain, tarif PPN Indonesia sebesar 10% masih relatif rendah. Padahal, penerimaan pajak dari PPN diharapkan dapat mengimbangi pengurangan penerimaan akibat penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan.
Kemudian, masih terkait dengan basis, jenis pajak baru yang sudah diterapkan di berbagai negara maju untuk menekan emisi gas rumah kaca juga belum ada. OECD menyatakan negara-negara berkembang dapat menjadikan pajak ini sebagai penerimaan yang cukup potensial.
Adapun rendahnya kepatuhan wajib pajak, baik kepatuhan formal maupun kepatuhan materiel, merupakan masalah utama administrasi perpajakan sejak bertahun-tahun lalu. Dalam upaya mengisi pundi-pundi APBN maka kepatuhan materiel merupakan titik berat yang harus ditangani.
Dengan demikian, perlu dirumuskan suatu program yang mendorong wajib pajak mengungkapkan harta-harta yang berasal dari penghasilan yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) disertai dengan konsekuensi berupa pembayaran sejumlah tertentu.
Selain itu, pendekatan keadilan perlu dilakukan dalam meracik tarif dan lapisan penghasilan kena pajak atas pengenaan PPh orang pribadi. Sebanyak 4 lapisan tarif yang berlaku saat ini belum cukup optimal dan belum mampu memberikan keadilan.
Jika orang pribadi yang berpenghasilan sampai 10 kali lipat dari batas atas lapisan penghasilan yang berlaku sekarang dikenakan tarif yang sama, tentu aspek keadilan belum terpenuhi. Dengan demikian, perlu diatur pengenaan tarif yang lebih tinggi bagi orang pribadi tergolong crazy rich Indonesians.
Untuk mengakomodasi hal-hal tersebut, pemerintah telah mengajukan revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Parlemen juga sudah mulai melakukan pembahasan dan beberapa kali menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) mengenai RUU KUP.
Kembali lagi, agar dapat menjalankan normalisasi defisit anggaran kembali ke maksimal 3% PDB pada 2023, penerimaan negara harus digenjot. Konsolidasi fiskal yang tertuang dalam RUU KUP merupakan game changerย untukย membantu otoritas pajak memenuhi target penerimaannya.
Rasio utang Indonesia saat ini sudah mencapai 41% dari PDB. Apakah menambah utang lagi merupakan pilihan yang bijaksana?
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalamย lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaanย HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 jutaย di sini.