Nugraha Dwiyanto,
TAHUN 2020 merupakan tahun yang kompleks bagi seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Akibat pandemi Covid-19, Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia telah memasuki era resesi, pada kuartal II minus 5,32% dan kuartal III minus 3,49%.
Dampak penurunan pertumbuhan ekonomi ini mengakibatkan penurunan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Hingga Juli 2020, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp601,8 triliun atau minus 14,7% dibandingkan dengan periode yang sama 2019.
Pajak sebagai pos penerimaan pajak terbesar memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia. Peran pajak di Indonesia antara lain perubahan paradigma dari fungsi budgeter menjadi regulerend, dan hukum pajak harus menyesuaikan diri menjadi sasaran ekonomi, serta pemberian insentif.
Sejak Maret 2020 sampai Agustus 2020, banyak insentif yang diberikan pemerintah. Insentif itu antara lain relaksasi pajak penghasilan (PPh) Pasal 21, penurunan angsuran PPh Pasal 25, pembebasan PPh Pasal 22, percepatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN), dan lainnya.
Dalam pemberian insentif itu, tentu ada dilema yang dirasakan pemerintah. Di satu sisi pemerintah wajib mangalokasikan dana untuk menangani pandemi Covid-19, tetapi di sisi pemerintah harus melakukan mobilisasi penerimaan untuk mencegah shortfall pajak kembali terulang.
Namun, kebijakan fiskal saat pandemi berlangsung harus berperan sebagai bantuan kepada pihak-pihak yang mengalami perlemahan ekonomi. Fungsi regulerend harus dikedepankan di kala pandemi ini (Blanchard dalam Darussalam, 2020).
Tax morale sebagai suatu konsep yang mengedepankan moral dan sentimen masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya bisa menjadi salah satu alternatif kebijakan di kala pandemi ini (Ortega, et al, 2015).
Konsep ini melihat masyarakat akan patuh pada kewajibannya ketika mereka melihat pemerintah telah melakukan tugasnya dengan baik dalam melakukan pelayanan dan penyediaan barang publik. Jika melihat konsep tersebut, sepertinya terdapat pertentangan dengan definisi pajak.
Menurut UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung.
Karena itu, yang menjadi kunci kebangkitan ekonomi dari pandemi ini adalah sosialisasi masif dan terorganisasi atas tax morale tersebut. Mengubah paradigma masyarakat sangat penting untuk membangun kesadaran bahwa pajak adalah usaha bersama untuk mensejahterakan masyarakat.
Sosialisasi Masif
SOSIALISASI masif bisa dilakukan dengan melibatkan media dan bekerja sama dengan satgas Covid-19. Pemerintah perlu menekankan semua bantuan penanganan Covid-19 ini bersumber dari pajak. Hal ini diperlukan untuk membangun persepsi positif masyarakat terhadap pajak.
Persepsi positif ini akan membangun kepercayaan yang nantinya menjadi voluntary tax compliance. Hal ini senada dengan keniscayaan bahwa dimensi kepercayaan (trust) akan menciptakan kepatuhan yang tinggi (Kirchler et al dalam Djajanti, 2019).
Sosialisasi yang terstruktur diperlukan untuk menghindari ketidakseragaman informasi dan menjamin informasi itu disampaikan merata ke semua kalangan. Perlu ada tim khusus untuk menyosialisasikan pajak ini kepada masyarakat guna menciptakan masyarakat yang sadar dan taat pajak.
Jika dua dimensi di atas sudah terpenuhi, diharapkan masyarakat dengan sukarela membayar pajak karena mereka mengetahui manfaat dari pajak yang mereka bayarkan tersebut. Cita-cita bersama untuk bangkit kembali di tengah pandemi diharapkan akan segera terwujud.
Hal ini perlu disinergikan dengan dimensi lain seperti kualitas aparatur pajak, akses informasi, dan infrastruktur digital. Harapannya, akan tercipta kontrak sosial yang membawa pemahaman ketika masyarakat menagih pelayanan dari negara, masyarakat harus membayar pajak. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.