LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2019

Bisakah Bukti Pembayaran Digital Jadi Faktur Pajak?

Redaksi DDTCNews
Jumat, 17 Januari 2020 | 10.30 WIB
ddtc-loaderBisakah Bukti Pembayaran Digital Jadi Faktur Pajak?
Nathasya Marta Ningrum
Kota Bekasi,
Jawa Barat

TRANSAKSI dalam jaringan kian merebak seiring dengan perputaran ekonomi yang tidak berhenti mengikuti perkembangan teknologi. Perputaran ini mengakibatkan tidak sedikit pelaku e-commerce yang menawarkan promo diskon atau uang (cashback) demi memanjakan konsumen.

Tidak bisa dimungkiri transaksi online mempermudah manusia memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, kemudahan ini menimbulkan tanda tanya pada kewajiban perpajakannya, terutama pada konsumen yang sudah terbiasa berbelanja di berbagai platform e-commerce.

Pemerintah baru merilis Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) pada November 2019. Sayangnya, peraturan ini tidak membahas lebih lanjut mekanisme perpajakan atas pengusaha atau merchants yang berjualan melalui PMSE tersebut.

Jika ditelusuri rekam jejak aturan perpajakan tersebut, kewajiban perpajakan pada merchants pernah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 210/PMK.010/2018 yang dirilis akhir Desember 2018, Namun, pada Maret 2019 aturan ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Dirjen Pajak juga pernah melontarkan kewajiban perpajakan PMSE ini dalam Surat Edaran No. SE-62/PJ/2013. Hal ini tertera pada huruf A Lampiran yang menyatakan tidak ada perbedaan perlakuan perpajakan antara transaksi pada sistem PMSE dan transaksi perdagangan lain.

Polemik kemudian hadir ketika regulasi yang ada tersebut ternyata tidak sejalan dengan praktik yang terjadi. Pernyataan pada SE-62/PJ/2013 justru membatasi pilihan perlakuan perpajakan merchants. Secara praktik bisnis, merchants menghadapi dua permasalahan.

Pertama, merchants tetap perlu meminta nomor faktur pajak ke Ditjen Pajak. Kedua, merchants tidak mungkin membuat faktur pajak standar karena dalam faktur pajak itu perlu mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) lawan transaksi.

Tidak Efisien
DUA masalah ini akan membuat merchants kewalahan membuat faktur pajak di tengah derasnya arus jual-beli secara online. Cara pembuatan faktur pajak ini juga tidak efisien baik secara waktu maupun administrasi, mengingat tidak sedikit jumlah transaksi dalam PMSE.

Di sisi lain, merchants sebenarnya dapat masuk dalam kategori pedagang eceran melalui Pasal 20 PP No. 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Tahun 2009 yang juga berkaitan dengan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-58/PJ/2010.

Pedagang eceran adalah pengusaha kena pajak (PKP) yang dalam usahanya melakukan penyerahan barang kena pajak (BKP) dengan cara pertama, melalui tempat penjualan eceran seperti toko dan kios atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya.

Kedua, dilakukan langsung kepada konsumen akhir tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang. Ketiga, tunai dan penjual langsung menyerahkan BKP atau pembeli langsung membawa BKP yang dibelinya.

Namun, aturan ini masih konvensional, sehingga kurang sesuai dengan sistem perdagangan PMSE yang gencar dilakukan saat ini. Padahal, perbedaan mendasar pada PMSE dengan konvensional hanya di mana tempat berlangsungnya perdagangan tersebut.

Apabila telah tersedia aturan yang menyatakan merchants merupakan pedagang eceran, faktur pajak digunggung—yang tidak perlu diisi nama/identitas pembeli dan tanda tangan penjual—dan faktur pajak sederhana seharusnya bisa menjadi salah satu solusi untuk memecahkan dua masalah itu.

Faktur pajak digunggung merupakan kumpulan faktur yang digabung menjadi satu sebelum dihitung penghasilannya dari berbagai faktur baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Faktur pajak ini akan dilaporkan dalam Formulir 1111 AB Surat Pemberitahuan Masa PPN.

Di sisi lain, FP sederhana sesuai Pasal 3 Perdirjen No. PER-58/PJ/2010 perlu diisi nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP; jenis BKP; harga jual termasuk PPN atau PPN terpisah; pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang dipungut; kode, nomor seri dan tanggal pembuatan faktur pajak.

Faktur pajak ini dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis. Kelebihan dari penggunaan faktur pajak sederhana adalah kode dan nomor seri FP ditentukan sendiri oleh PKP.

Percepatan Restitusi
KOREA SELATAN Selatan adalah contoh negara yang sudah memanfaatkan bukti pembayaran baik secara langsung maupun digital (electronic invoice/e-invoice) untuk proses administrasi perpajakan, salah satunya restitusi pajak (tax refund).

Bukti pembayaran itu mampu mempercepat proses restitusi di kantor pajak atau di bandara bagi turis yang membeli barang di Korea Selatan untuk dimanfaatkan ke negara lain. Nilai PPN yang dipungut penjual secara otomatis terekam pada sistem eletronik yang dimiliki kantor pajak di Korea Selatan.

Proses yang cepat ini berguna bagi penjual karena akan meminimalisasi biaya kepatuhan (compliance cost) dalam melaporkan transaksi terutang pajak. Lagi pula, hal ini mampu meningkatkan kepercayaan konsumen pada kantor pajak bahwa pengembalian pajak bukanlah proses yang rumit.

Jika melihat kondisi saat ini, banyak orang yang terlalu menggantungkan diri pada teknologi, sehingga tidak heran segala proses hidupnya diselesaikan melalui teknologi. Karena itu, pemerintah harus siap dengan perubahan gaya hidup wajib pajak yang bergantung pada teknologi.

Perlu diakui pihak swasta justru selangkah lebih maju dalam hal memuaskan keinginan konsumen, seperti bukti pembayaran digital yang terintegrasi dengan alat pembayaran dengan metode online pula, seperti electronic banking, mobile banking, sampai penggunaan dompet elektronik.

Bahkan, para pelaku usaha tidak segan memberikan cashback hingga 100% kepada konsumennya di tengah maraknya dompet elektronik, seperti dilakukan oleh Dana, Go-Pay, OVO, dan sebagainya. Alat pembayaran ini bisa langsung terintegrasi dengan bukti pembayaran.

Inilah wujud nyata di mana swasta telah mengintegrasikan sistemnya demi menyambut konsumen. Di sisi lain, pelaku usaha tentu berharap pemerintah mempercepat langkahnya demi beriringan dengan gaya hidup wajib pajak. Meski, pemerintah tetap harus hati-hati dengan risiko kejahatan virtual.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.