LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2019

Memaksimalkan Dampak Penurunan De Minimis

Redaksi DDTCNews
Rabu, 15 Januari 2020 | 19.30 WIB
ddtc-loaderMemaksimalkan Dampak Penurunan De Minimis
Endiyanto Yoga Prasetya
Surakarta,
Jawa Tengah

LESUNYA penerimaan pajak tahun 2019 juga diikuti penerimaan bea dan cukai yang turun jauh bila dibandingkan dengan tahun 2018. Pada 2018, sumbangan bea dan cukai melampaui target dengan meraih pendapatan Rp205,35 triliun. Sangat berbanding terbalik dengan penerimaan 2019.

Laporan itu menjadi tamparan keras bagi pemerintahan Joko Widodo yang berusaha melakukan reformasi perpajakan. Akhirnya, di penghujung 2019, Kementerian Keuangan membuat keputusan menurunkan de minimis bea masuk impor barang kiriman dari semula US$75 menjadi US$3.

Penurunan de minimis yang dibarengi dengan penurunan pajak impor ini adalah upaya melindungi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. Selama ini, sebagian besar barang kiriman yang masuk ke Indonesia memiliki nilai dibawah US$75, sehingga tidak terkena bea masuk dan pajak.

Kondisi tersebut dipandang merugikan pelaku industri lokal yang kewalahan bersaing dengan barang impor yang lebih murah. Langkah ini tentu patut diapresiasi. Sebagai regulator kebijakan fiskal, di satu sisi Kementerian Keuangan berhasil memberi kekuatan bagi UMKM untuk bersaing di negeri sendiri.

Sementara di sisi lain, Kemenkeu membuat kebijakan yang dapat memperbaiki capaian penerimaan tahun mendatang mengingat besarnya shortfall yang diraih pada 2019. Akan tetapi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Kemenkeu untuk memaksimalkan kebijakan ini.

Pertama, memastikan harga barang UMKM tidak naik. Tidak sedikit UMKM yang mengandalkan bahan baku impor. Memang, pemerintah telah merilis KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor). Namun, KITE tidak berjalan optimal karena ketentuan yang mengharuskan impor dalam volume tertentu.

Kemampuan UMKM yang terbatas mengakibatkan UMKM tetap membeli barang impor dari distributor yang dikenai bea masuk dan pajak. Hambatan lain adalah permasalahan administrasi di mana UMKM enggan melaporkan penggunaan barang impor karena dianggap rumit dan berbelit.

Menghadapi temuan tersebut, Kemenkeu beserta Kementerian Perindustrian dan Kementerian Koperasi dasn UMKM dapat meningkatkan kapasitas koperasi kelompok. Peningkatan kapasitas mutlak dilaksanakan untuk meminimalisasi hambatan administrasi.

Kemudian, koperasi kelompok tersebut perlu dibantu untuk mengekspor produknya tanpa keterlibatan pihak ketiga. Dengan demikian, harga yang ditetapkan UMKM dapat bersaing dengan produk serupa dari luar negeri.

Kedua, memastikan penurunan bea masuk dan pajak disertai penegakan hukum atas penyelundupan. Pada 2019 Indonesia mengalami kerugian R 42,1 miliar dari penyelundupan pakaian bekas. Kerugian ini belum diakumulasi dengan penyelundupan barang lain seperti tas, sepatu, dan lainnya.

Pemalsuan Barang
PENEGAKAN hukum atas penyelundupan ini penting dalam meminimalisasi kejahatan yang berkaitan dengan penyelundupan, seperti pemalsuan barang. Menurut Badan Ekonomi Kreatif, Indonesia berpotensi merugi puluhan triliun rupiah setiap tahun sebagai akibat penjualan barang palsu.

Untuk menghadapi masalah tersebut, Kemenkeu dapat mendorong Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) untuk lebih sering mengadakan pemusnahan barang sitaan. Pemusnahan ini selain menimbulkan efek jera, juga menciptakan pasar yang sehat utamanya bagi industri lokal.

Kemenkeu juga dapat bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan dalam menutup akses pelabuhan-pelabuhan tikus yang dinilai rawan terhadap aksi penyelundupan dan memaksa kapal-kapal bersandar di pelabuhan-pelabuhan resmi.

Akhir kata, kebijakan penurunan batas bea masuk de minimis dan pajak impor barang kiriman tidak bisa berdiri sendiri. Sinergi adalah kata kunci yang akan menentukan berhasil tidaknya sebuah kebijakan. Periode 5 tahun masih panjang, sinergi kebijakan adalah keharusan.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.